Bincang Politik di Panggung Puisi

Minggu, 08 Maret 2015 - 10:02 WIB
Bincang Politik di Panggung Puisi
Bincang Politik di Panggung Puisi
A A A
Sejumlah tokoh; sosiolog, budayawan, sastrawan, dan pengamat politik duduk bersama mendengar lantunan syair dan diskusi Manusia Istana; Sekumpulan Puisi Politik karya Radhar Panca Dahana. Mereka berupaya menarik benang merah puisi dan politik.

Acara diskusi yang digelar di Galeri Cipta II, TIM, Rabu (4/3) itu dibuka artis Olivia Zalianty dengan membacakan puisi berjudul Warisan Akhirmu, Soekarno, karya Radhar.

Beberapa pembicara hadir pada diskusi antara lain peneliti senior Pusat Studi Strategis dan Internasional (Centre for Strategic and International Studies/CSIS) Joseph Kristiadi, budayawan Abdul Hadi Wiji Muthari, sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola, penyair Floribertus Rahardi, dan Toeti Heraty. J Kristiadi membuka diskusi dengan pernyataan yang cukup menggelitik. Menurut dia, lebih sulit memahami puisi dan lebih mudah memahami polisi.

Dia mengaku kesulitan memahami isi puisi milik Radhar. Namun, setelah dibantu kata pengantar, Kris akhirnya bisa sedikit memahami isi puisi Radhar. “Mas Radhar prihatin dengan yang terjadi saat ini, sama seperti kita,” ungkapnya. Kris mengungkapkan keprihatinan Radhar tidak hanya terjadi pendangkalan di dunia politik, tapi juga pemujaan terhadap pendangkalan itu. Ini bisa dilihat dari “kelakuan” manusia saat ini, terutama politisi yang kerap berbicara tentang Pancasila, tapi tidak bisa menampilkan arti Pancasila tersebut atau disebut sebagai kemunafikan.

“Kader-kader partai tidak ditempatkan dalam posisi mulia, tapi dijadikan pesuruh atau jongos,” katanya. Karena itu, Kris menilai kehadiran buku Radhar mampu membangunkan kita semua dari amnesia kolektif dan bius-bius atau canducandu atau uap-uap kekuasaan. Selama ini masyarakatlah yang kerap menjadi sasaran biusbius kekuasaan tersebut. Mencari benang merah politik dalam puisi sebenarnya tak sulit-sulit amat. Puisi-puisi bisa merepresentasi realitas yang ada saat ini.

Budayawan Abdul Hadi WM misalnya berpendapat para penyair yang selalu mempresentasikan suaranya berdasarkan situasi dan kondisi pada zamannya. Dia mencontohkan sastrawan legendaris Chairil Anwar melalui karyanya Derai-Derai Cemara yang memunculkan satu kutipan terkenal yakni “hidup hanya menunda kekalahan”.

Saat itu, lanjut Hadi, Chairil menyuarakan keputusasaan, putus harapan, dan tidak bergairah terhadap kondisi saat itu. Begitu pula yang dirasakan Radhar saat ini. Lebih tajam lagi Hadi bahkan menilai saat ini bukan hanya proses pendangkalan yang terjadi, melainkan kekacauan atau chaos. Nah, sebetulnya, dia melihat Radhar ingin menyurutkan kondisi perpolitikan yang terjadi sejak kerusuhan 1998 hingga sekarang.

“Puisi itu bersandar pada imej, begitu pula dengan hidup yang hanya bertaburan imej-imej seperti film Hong Kong, India, Turki, Amerika, dan lainnya. Akibatnya, hidup kita akan terkuras dan menjadi meaningless. Semua yang ada di diri kita itu selera luarnegeri. Selera film, makan, hingga seks kita. Pikiran kita sosialis, tapi perut kita kapitalis. Semua pun menjadi bergantung pada pasar. Kita adalah manusia pasar,” urainya.

Kekacauaninilah yang dinilai Hadi coba diangkat dalam buku milik Radhar. Lalu bagaimana sosiolog Thamrin melihat buku Manusia Istana ini? Bagi Thamrin buku Radhar bisa dilihat dari tiga sisi yakni teks atau analisa wacana kritis, konteks, dan kalau begitu jalan keluarnya bagaimana. Dari segi teks, kata per kata yang ditulis Radhar sangat ekspresif, meledak-ledak, katakatanya keras.

Sayangnya, Thamrin menilai bahasa puisi tidakbisa“nyambung” kepolitisi. Mengapa? Karena, para politisi ini dinilai terlalu bebal. Apalagi latar belakang mereka yang lebih banyak mencari pekerjaan menjadi politisi daripada benarbenar berkarya untuk rakyat. Terhadap politisi ini, bahasa yangdigunakanharuslahbahasa merekayaknibahasakekuasaan. “Bahasa itu juga mengikuti tingkatan- tingkatan kelas sosial. Ada bahasa kelas bawah, menengah, dan atas,” ungkapnya.

Dari segi konteks, Thamrin menggarisbawahi dari konteks puisi Radhar dapat dilihat jika segala sesuatu itu bergantung pada pasar. Di sanalah proses pendangkalan itu terjadi. Contohnya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Kesimpulannya, Thamrin setuju saat ini telah terjadi pendangkalan yang memprihatinkan.

Solusinya? Thamrin menuturkan jangan menyuruh politisi baca puisi. Tapi, harus lewat bahasa kekuasaan, bukan bahasa puisi pencerahan seperti yang diinginkan Radhar. Sedangkan pembicara lain, F Rahardi, menegaskan sastra itu bukan untuk dipahami. Puisi itu bukan untuk dipahami. Karya sastra ini bukan pengumuman atau berita dalam koran.

“Ini untuk dibaca dan dirasakan. Bagaimana rasanya? Ya, akan berbeda untuk setiap orang. Ini menginspirasi sedikit orang, tapi berdampak besar ke kemanusiaan,” ucapnya.

Menurut dia, setiap seniman mengetahui betul konsekuensi atau harga dari pengorbanan yangmerekalakukanmelaluikaryanya. Rahardi bahkan beranggapan dirinya tidak akan mampu hidup seperti penyair yang kerap bersinggungan dengan dunia politik WS Rendra atau Sutardji Calzoum Bachri yang hidupnya diabadikan hanya untuk puisi.

Susi susanti
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4003 seconds (0.1#10.140)