Bakso Murni ala Bakso Kumis
A
A
A
Sudah 45 tahun berdiri, kelezatan Bakso Kumis tidak diragukan lagi. Bakso berukuran besar ini disajikan tanpa mi, bihun, ataupun tahu. Yang pasti amat mengenyangkan. Penasaran?
Hujan yang mengguyur Ibu Kota sejak siang hari beberapa waktu lalu membawa KORAN SINDO ke selatan Jakarta untuk mencari makanan yang bisa menghangatkan badan.
Kebetulan ada teman yang merekomendasikan Bakso Kumis di kawasan pujasera Blok S. Langsung saja meluncur ke Jalan Birah 3 yang memang sudah terkenal akan tempat jajannya. Kedai bakso tersebut berada di hampir paling ujung deretan kedai yang ada dan bertuliskan Bakso Kumis Blok S Sejak 1970, berikut foto seorang bapak berkumis di sampingnya. ”Bakso satu bang,” ujar KORAN SINDO.
”Langsung saja diracik dulu Mbak,” jawab si abang. Rupanya di meja sudah tersedia kecap manis, kecapasin, saussambal, garam, dan sebaskom sambal bakso berwarna hijau serta potongan kecil-kecil daun seledri. Usai diracik, barulah mangkuk tersebut diberikan kepada si penjual dan dengan sigap segera menuangkan bakso tiga butir beserta kuahnya dari dua buah panci berukuran besar yang masih mengebul panas.
Tidak ada mi atau bihun, apalagi tahu yang disediakan. Bakso cukup besar ukurannya sehingga ketika tiga butir bakso ditempatkan di mangkuk, tak ada lagi ”ruang” yang tersisa di dalamnya. ”Sebelumnya kami sediakan mi dan bihun, tapi jarang dihabiskan pelanggan. Apalagi memang baksonya besar,” kata Hidayatullah, putra M Zein-sang pemilik Bakso Kumis. Ada dua bakso yang ditawarkan: bakso kasar dan bakso halus.
Bakso halusnya amat empuk, sementara bakso kasar alias bakso urat mengandung urat dan jeroanjeroan sapi. Keduanya terasa enak, terlebih lagi tidak ada bau prengus dan cita rasa dagingnya benar-benar terasa. Tidak hanya tepung yang tebal seperti di bakso-bakso kebanyakan. Ukurannya yang besar juga tidak sampai memberikan kesan enek untuk dinikmati.
Kuahnya pun enak, tidak terlalu berminyak keruh karena tidak mengandalkan rebusan gajih, namun lebih mengandalkan rebusan tulang dan tetelan sapi sehingga kaldu lebih ringan, tapi rasa lebih tajam. Kuah bakso yang hangat dan baksonya yang juga masih panas segera saja menghangatkan perut. Ditambah teh tawar hangat, ampuh mengusir hawa dingin meski gerimis masih membasahi tanah.
Usai mencicipi bakso, KORAN SINDO sempat mengobrol sebentar dengan Hidayatullah, generasi kedua dari usaha bakso tersebut. ”Awalnya bapak dagang bakso pikulan selama 15 tahun. Lalu, lanjut jualan dengan gerobak. Kemudian ditawari tempat di Dharmawangsa 8 sekitar tahun ‘90. Baru dapat tempat di Blok S sini dua tahun kemudian,” ungkapnya. M Zein kini sudah almarhum. Bakso seharga Rp8.000 per butir itu dalam sehari bisa terjual hingga 500 buah.
”Kalau hari libur Sabtu-Minggu, bisa sampai 1.000 butir,” sambung putra Betawi itu. Banyak pelanggan bakso ini yang merupakan pelanggan lama. Sebut saja dari zaman pacaran hingga akhirnya mempunyai anak. Tak heran, pelanggannya pun bukan hanya datang dari bilangan selatan Jakarta, namun beberapa orang juga ada yang datang dari Bogor.
Agar tidak terlalu jauh, Bakso Kumis lantas membuka cabang di daerah Pasar Minggu sejak tiga tahun lalu, tak jauh dari Universitas Nasional. Bagi yang ingin mencicipi kelezatan Bakso Kumis, langsung saja meluncur ke Blok Satau PasarMinggu.
Sri noviarni
Hujan yang mengguyur Ibu Kota sejak siang hari beberapa waktu lalu membawa KORAN SINDO ke selatan Jakarta untuk mencari makanan yang bisa menghangatkan badan.
Kebetulan ada teman yang merekomendasikan Bakso Kumis di kawasan pujasera Blok S. Langsung saja meluncur ke Jalan Birah 3 yang memang sudah terkenal akan tempat jajannya. Kedai bakso tersebut berada di hampir paling ujung deretan kedai yang ada dan bertuliskan Bakso Kumis Blok S Sejak 1970, berikut foto seorang bapak berkumis di sampingnya. ”Bakso satu bang,” ujar KORAN SINDO.
”Langsung saja diracik dulu Mbak,” jawab si abang. Rupanya di meja sudah tersedia kecap manis, kecapasin, saussambal, garam, dan sebaskom sambal bakso berwarna hijau serta potongan kecil-kecil daun seledri. Usai diracik, barulah mangkuk tersebut diberikan kepada si penjual dan dengan sigap segera menuangkan bakso tiga butir beserta kuahnya dari dua buah panci berukuran besar yang masih mengebul panas.
Tidak ada mi atau bihun, apalagi tahu yang disediakan. Bakso cukup besar ukurannya sehingga ketika tiga butir bakso ditempatkan di mangkuk, tak ada lagi ”ruang” yang tersisa di dalamnya. ”Sebelumnya kami sediakan mi dan bihun, tapi jarang dihabiskan pelanggan. Apalagi memang baksonya besar,” kata Hidayatullah, putra M Zein-sang pemilik Bakso Kumis. Ada dua bakso yang ditawarkan: bakso kasar dan bakso halus.
Bakso halusnya amat empuk, sementara bakso kasar alias bakso urat mengandung urat dan jeroanjeroan sapi. Keduanya terasa enak, terlebih lagi tidak ada bau prengus dan cita rasa dagingnya benar-benar terasa. Tidak hanya tepung yang tebal seperti di bakso-bakso kebanyakan. Ukurannya yang besar juga tidak sampai memberikan kesan enek untuk dinikmati.
Kuahnya pun enak, tidak terlalu berminyak keruh karena tidak mengandalkan rebusan gajih, namun lebih mengandalkan rebusan tulang dan tetelan sapi sehingga kaldu lebih ringan, tapi rasa lebih tajam. Kuah bakso yang hangat dan baksonya yang juga masih panas segera saja menghangatkan perut. Ditambah teh tawar hangat, ampuh mengusir hawa dingin meski gerimis masih membasahi tanah.
Usai mencicipi bakso, KORAN SINDO sempat mengobrol sebentar dengan Hidayatullah, generasi kedua dari usaha bakso tersebut. ”Awalnya bapak dagang bakso pikulan selama 15 tahun. Lalu, lanjut jualan dengan gerobak. Kemudian ditawari tempat di Dharmawangsa 8 sekitar tahun ‘90. Baru dapat tempat di Blok S sini dua tahun kemudian,” ungkapnya. M Zein kini sudah almarhum. Bakso seharga Rp8.000 per butir itu dalam sehari bisa terjual hingga 500 buah.
”Kalau hari libur Sabtu-Minggu, bisa sampai 1.000 butir,” sambung putra Betawi itu. Banyak pelanggan bakso ini yang merupakan pelanggan lama. Sebut saja dari zaman pacaran hingga akhirnya mempunyai anak. Tak heran, pelanggannya pun bukan hanya datang dari bilangan selatan Jakarta, namun beberapa orang juga ada yang datang dari Bogor.
Agar tidak terlalu jauh, Bakso Kumis lantas membuka cabang di daerah Pasar Minggu sejak tiga tahun lalu, tak jauh dari Universitas Nasional. Bagi yang ingin mencicipi kelezatan Bakso Kumis, langsung saja meluncur ke Blok Satau PasarMinggu.
Sri noviarni
(ars)