Estetika Kehidupan (Bagian I)
A
A
A
Ketika Eep Saefulloh mengomentari 100 hari Presiden Jokowi di majalah Tempo, 2-8 Februari 2015, ia memakai istilah sastra untuk merangkumnya.
Jokowi dalam episode Joko sewaktu walikota Solo dan gubernur DKI menuliskan kerjanya ibarat kumpulan cerpen. Namun, kini sebagai Presiden RI, ia mesti menulis novel! “Dulu menulis puisi, kini harus berprosa”. Ketika hiruk pikuk kehidupan bernegara dihadapkan pada ramai gaduh wacana keras dan ‘permusuhan’ KPK versus Polri, orang tidak cukup lagi memakai bahasa riil, sehari-hari lalu mengambil metafora cicak versus buaya atau Daud versus Goliath.
Dua gejala di depan sudah langsung membawa kita ke fenomena renung seni sebagai ranah yang sumbernya dari penghayatan hidup untuk daya kreatif merawatnya, memperdalam laku atau kerja penghayatannya sebagai daya hidup untuk jalan peradaban dan bukannya sebagai daya rusak anti kehidupan. Seni yang mempunyai rahimnya pada life wisdom inilah yang selalu berhadapan dengan musuh-musuh kehidupan bahkan daya-daya chaos perusak kehidupan.
Inilah penjelasan awal mengapa kehidupan berbangsa dalam ranah kultural seni yang memperjuangkan proses pemuliaan kehidupan dengan memberi makna yang memihak pada beautifying life: ‘memayu hayuning urip lan bawana’ selalu akan berperang dan berhadap-hadapan daya rusak, pecah belah, kalah menang kuasa politik, kuasa ekonomi yang mengecilkan dan mengerdilkan manusia dan kehidupan hanya dalam kalkulasi untung dan rugi; menguasai dan dikalahkan serta mengalkulasi manusia hanya dengan uang?
Ketika kehidupan dengan dimensi peradaban yang mencari terus dan mengembangkan apa yang benar dalam daya-daya kognisi rasional manusia, di sanalah dirajut kebenaran kognitif, ilmu pengetahuan atau epistemologi (epistem adalah pengetahuan hasil proses sadar budi manusia).
Kehidupan yang mau dirawat dengan harmoni alam semesta dan tata gaul sesama manusia berharkat ini diproses dalam ranah etika karena apa yang baik dan berharga dijadikan pedoman hidup bersama sesama manusia dan alam.
Dengan kata lain, yang baik dari kehidupan itulah sumber etika yang dalam ungkapanungkapan ‘cerlang budaya’ terendap dan dihayati sebagai petunjuk panduan hidup melalui life wisdom : kearifan-kearifan hidup. Wujudnya adalah peribahasa, pantun, gurindam, pepatah, yang dalam sejarah kita fase Nusantara itu menjadi oaseoase identitas kultural sukusuku majemuk dan tari serta petuah-petuah dalam saga, narasi-narasi lokal Nusantara.
Maka amat menarik merenungi fakta pengapnya diskursus politik yang berciri memecah dalam kubu menang versus kalah; kawan versus lawan, orangorang sadar diri dan sehat budi diajak ke metafora seni sastra dan memakainya untuk menganalisis hiruk pikuk situasi polusi kata-kata makian dan benci antar sesama sampai lupa tujuan kultural pendidikan berbangsa dan bernegara kita untuk jalan peradaban yang mengolah dan bersumber kekayaan tradisi-tradisi kearifan yang bhineka untuk ika sebagai bangsa Indonesia.
Lebih menarik lagi bila kejenuhan cekcok berkepanjangan ini harus disadarkan melalui metafora merajut Indonesia beradab adalah merajut episode penulisan cerpen namun harus bertransformasi menjadi menulis novel.
Karena itulah kearifan hidup yang ditulis Jokowi dalam satu kalimat di media canggih digitalnya: ‘sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti’, yang maknanya: segala kemarahan, kejahatan akan dikalahkan, dilebur oleh kesabaran, kebaikan hati, konteksnya ada dalam tanggapan atas perang mulut (dalam wayang masih perang kembang) antar kita saat ini!
Namun pertanyaannya, proses sabar yang diandaikan arif berhadap-hadapan dengan nilai tegas, cepat, efektif yang selalu berlawanan dengan proses hidup? Bisakah penghayatan waktu (kini) dan ruang (di sini) atau now dan here (hic et nunc) juga menjadi disposisi seni kultural warga masyarakat yang terlanjur disempitkan cara pandang dan cara menghayati hidup secara cepat versus lambat; menang versus kalah; perang total ‘zero zum’ habishabisan?
Untuk menjawabnya, di sinilah lupa kita pada oase Nusantara dalam estetika mesti dibawa dari bawah sadarnya ke tingkat kesadaran? Mengapa? Karena bangsa ini dalam alam bawah sadar dan sadarnya adalah estetis dan religius! Estetis karena berusaha menghayati hidup dalam gendang tari dan nyanyi hati.
Religius dalam arti, proklamasi merdekanya RI didasarkan atas syukur terhadap bekerjanya rahmat dan berkat Tuhan.
Mudji Sutrisno S.J
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
Jokowi dalam episode Joko sewaktu walikota Solo dan gubernur DKI menuliskan kerjanya ibarat kumpulan cerpen. Namun, kini sebagai Presiden RI, ia mesti menulis novel! “Dulu menulis puisi, kini harus berprosa”. Ketika hiruk pikuk kehidupan bernegara dihadapkan pada ramai gaduh wacana keras dan ‘permusuhan’ KPK versus Polri, orang tidak cukup lagi memakai bahasa riil, sehari-hari lalu mengambil metafora cicak versus buaya atau Daud versus Goliath.
Dua gejala di depan sudah langsung membawa kita ke fenomena renung seni sebagai ranah yang sumbernya dari penghayatan hidup untuk daya kreatif merawatnya, memperdalam laku atau kerja penghayatannya sebagai daya hidup untuk jalan peradaban dan bukannya sebagai daya rusak anti kehidupan. Seni yang mempunyai rahimnya pada life wisdom inilah yang selalu berhadapan dengan musuh-musuh kehidupan bahkan daya-daya chaos perusak kehidupan.
Inilah penjelasan awal mengapa kehidupan berbangsa dalam ranah kultural seni yang memperjuangkan proses pemuliaan kehidupan dengan memberi makna yang memihak pada beautifying life: ‘memayu hayuning urip lan bawana’ selalu akan berperang dan berhadap-hadapan daya rusak, pecah belah, kalah menang kuasa politik, kuasa ekonomi yang mengecilkan dan mengerdilkan manusia dan kehidupan hanya dalam kalkulasi untung dan rugi; menguasai dan dikalahkan serta mengalkulasi manusia hanya dengan uang?
Ketika kehidupan dengan dimensi peradaban yang mencari terus dan mengembangkan apa yang benar dalam daya-daya kognisi rasional manusia, di sanalah dirajut kebenaran kognitif, ilmu pengetahuan atau epistemologi (epistem adalah pengetahuan hasil proses sadar budi manusia).
Kehidupan yang mau dirawat dengan harmoni alam semesta dan tata gaul sesama manusia berharkat ini diproses dalam ranah etika karena apa yang baik dan berharga dijadikan pedoman hidup bersama sesama manusia dan alam.
Dengan kata lain, yang baik dari kehidupan itulah sumber etika yang dalam ungkapanungkapan ‘cerlang budaya’ terendap dan dihayati sebagai petunjuk panduan hidup melalui life wisdom : kearifan-kearifan hidup. Wujudnya adalah peribahasa, pantun, gurindam, pepatah, yang dalam sejarah kita fase Nusantara itu menjadi oaseoase identitas kultural sukusuku majemuk dan tari serta petuah-petuah dalam saga, narasi-narasi lokal Nusantara.
Maka amat menarik merenungi fakta pengapnya diskursus politik yang berciri memecah dalam kubu menang versus kalah; kawan versus lawan, orangorang sadar diri dan sehat budi diajak ke metafora seni sastra dan memakainya untuk menganalisis hiruk pikuk situasi polusi kata-kata makian dan benci antar sesama sampai lupa tujuan kultural pendidikan berbangsa dan bernegara kita untuk jalan peradaban yang mengolah dan bersumber kekayaan tradisi-tradisi kearifan yang bhineka untuk ika sebagai bangsa Indonesia.
Lebih menarik lagi bila kejenuhan cekcok berkepanjangan ini harus disadarkan melalui metafora merajut Indonesia beradab adalah merajut episode penulisan cerpen namun harus bertransformasi menjadi menulis novel.
Karena itulah kearifan hidup yang ditulis Jokowi dalam satu kalimat di media canggih digitalnya: ‘sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti’, yang maknanya: segala kemarahan, kejahatan akan dikalahkan, dilebur oleh kesabaran, kebaikan hati, konteksnya ada dalam tanggapan atas perang mulut (dalam wayang masih perang kembang) antar kita saat ini!
Namun pertanyaannya, proses sabar yang diandaikan arif berhadap-hadapan dengan nilai tegas, cepat, efektif yang selalu berlawanan dengan proses hidup? Bisakah penghayatan waktu (kini) dan ruang (di sini) atau now dan here (hic et nunc) juga menjadi disposisi seni kultural warga masyarakat yang terlanjur disempitkan cara pandang dan cara menghayati hidup secara cepat versus lambat; menang versus kalah; perang total ‘zero zum’ habishabisan?
Untuk menjawabnya, di sinilah lupa kita pada oase Nusantara dalam estetika mesti dibawa dari bawah sadarnya ke tingkat kesadaran? Mengapa? Karena bangsa ini dalam alam bawah sadar dan sadarnya adalah estetis dan religius! Estetis karena berusaha menghayati hidup dalam gendang tari dan nyanyi hati.
Religius dalam arti, proklamasi merdekanya RI didasarkan atas syukur terhadap bekerjanya rahmat dan berkat Tuhan.
Mudji Sutrisno S.J
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
(ars)