Bagi-Bagi Kursi di Istana Presiden
A
A
A
Belum hilang dari ingatan publik tentang janji manis kampanye calon Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membangun kabinet ramping dan profesional.
Namun, dalam hitungan 100 hari pemerintahan, semua janji itu seolah hanya menjadi sebuah kenangan. Yang kentara malah kesan bagi-bagi kursi.
Mulai dari memilih menteri, staf ahli, hingga sekretaris pribadi, mayoritas didominasi oleh teman dekat yang sejak lama telah mendampingi Jokowi. Tidak ada dasar hukumnya memang untuk menyalahkan kebijakan tersebut.
Namun, satu per satu kursi di kabinet dan posisi pejabat di seputar lingkungan Istana cukup menjadi saksi bahwa janji kabinet profesional dan ramping itu tinggal cerita. Kalangan istana merespons dingin penilaian ini. “Kalau ada (orang) terdekat (yang tepat untuk menjabat), kenapa harus memilih yang jauh,” kata salah satu orang terdekat Jokowi, Andi Widjajanto.
Menurut Andi, dirinya tak khawatir dengan opini berbagai pihak yang mengkritisi pengangkatan mantan tim sukses atau relawan untuk membantu pemerintahan. “Kalau ada kesan seperti itu, lalu apa masalahnya,” ujarnya. Selain bagi-bagi kursi menteri untuk para partai pendukungnya, Jokowi juga mengangkat tokoh-tokoh yang menjadi relawan dan pendukung.
Akhir November mantan wali Kota Solo itu menunjuk Franky Sibarani sebagai kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Nusron Wahid sebagai kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Tak berselang lama, Presiden juga mengangkat Luhut Panjaitan sebagai kepala staf kepresidenan, sebuah lembaga baru yang belum pernah ada dalam pemerintahan sebelumnya.
Memasuki bulan ketiga pemerintahan, Presiden Jokowi kembali memilih tokoh dari partai yang tergabung dalam mitra koalisi untuk menduduki jabatan penasihat Presiden. Beberapa tokoh senior partai yang populer mendapat kursi Wantimpres adalah Subagyo Hadisiswoyo (Hanura), Sidarto Danusubroto (PDI Perjuangan), Rusdi Kirana (PKB), dan Jan Darmadi (NasDem).
Merasa belum semua mendapatkan posisi, Jokowi kembali mengangkat pengusaha periklanan Triawan Munaf menjadi kepala Badan Ekonomi Kreatif. Mengikuti atasannya, Mensesneg Pratikno juga merekrut mantan tim sukses Jokowi untuk masuk Istana dan bekerja membantu menyelesaikan tugastugasnya. Mereka adalah Aria Dwipayana yang menjabat sebagai staf khusus bidang politik pemerintahan serta Refly Harun sebagai staf khusus bidang hukum.
“Kita sedang memikirkan beberapa hal yang penting di Sekretariat Negara misalnya programuntukmengawalapa yangkitasebut e-goverment, electronicgovernment . Itu kan menjadi sesuatu yang penting untuk menopang kerja Presiden,” ungkap mantan Rektor Universitas Gadjah Mada itu. Tak hanya masukkan para tim sukses untuk mengangkat pejabat dari lingkungannya, Jokowi juga memilih pejabat penegak hukum atas rekomendasi pendiri partai politik yang mengusungnya sebagai presiden.
Mereka adalah pendiri Partai Nasdem Surya Paloh yang mengajukan Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Politikus PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan, jika mau menilai secara fair, sebenarnya tidak tepat menganggap ada politik balas budi ataupun akomodatif yang diterapkan Jokowi. Jika ada beberapa posisi kabinet diisi orang partai, itu justru untuk memastikan apa yang menjadi visi-misi Presiden bisa terkawal implementasinya.
“Tentunya hal wajar ketika Presiden menunjuk orang dari partai yang dianggap punya kompetensi tepat dalam ikut merealisasikan Nawacita,” katanya. Menurut dia, ada jabatan untuk kader partai maupun relawan tak bisa semata dilihat dari sisi kedekatan atau kerja-kerja dalam upaya pemenangan saat pilpres lalu. Namun, pengangkatan tersebut sebagai bagian mempercepat pencapaian program dan janji kampanye.
Akomodasi yang Overdosis
Direktur Eksekutif Pol Tracking Hanta Yuda menilai Jokowi sudah masuk kategori overdosis dalam mengakomodasi kepentingan dan keinginan parpol. Itu terlihat dari postur para menteri dan jabatanjabatan strategis lain. Wantimpres pun menggunakan logika jatah partai.
Menurut Hanta, dalam sistem presidensialisme memang sulit diterapkan secara murni untuk tidak melibatkan unsur partai. Apalagi dengan konteks multipartai ekstrem yang ada di Indonesia. Kondisi itu semakin kompleks lantaran Jokowi bukan ketua umum atau veto player parpol seperti presiden-presiden sebelumnya. “Sehingga potensi kekuasaan presiden tereduksi kian besar,” ucapnya.
Dengan posisi seperti itu, kata Hanta, sudah tentu koalisi tanpa syarat mustahil bisa diimplementasikan. Itulah yang menurut Hanta kurang disadari sehingga Jokowi terkesan kurang realistis dan tersandera dengan janjinya sendiri. “Itu terbukti. Lain ceritanya jika Jokowi sejak awal tidak pernah menjanjikan koalisi tanpa syarat,” ungkapnya.
Saat ini Jokowi harus memelihara dua relasi politik yang sama-sama penting. Pertama, dukungan publik (vertikal) karena sejak awal dia menjadikan dukungan publik sebagai fondasi utama. Jika ini terganggu, akan menyulitkan Jokowi mengingat posisinya di parpol tidak sekokoh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati, dan Gus Dur selaku presiden pendahulunya. Kedua, relasi horizontal berupa dukungan politik dari parpol.
“Parlemen juga penting. Inilah dilema Jokowi. Bukan balas budi, melainkan konsekuensi logisnya karena presidensialisme kita beroperasi atas struktur politik multipartai, di mana partai ada 10,” kata dia.
Dengan fakta bahwa tidak ada kekuatan mayoritas, untuk mengamankan agenda-agenda Presiden dalam memenuhi janji politiknya sudah tentu perlu dukungan mayoritas sederhana: 50%+1 di parlemen. Artinya, koalisi sulit dihindari, bahkan bisa menjadi keniscayaan dan hampir mutlak diperlukan.
“Itulah realitas politik. Nah, persoalannya bagaimana cara Presiden membangun dukungan politik tersebut? Bisakah koalisi tanpa syarat? Nah, mengakomodasi parpol ke dalam kabinet adalah salah satu cara. Jadi perspektifnya ke depan untuk amankan agenda Presiden. Kalau balas budi, itu perspektif ke belakang,” kata mantan Presiden Mahasiswa UGM itu.
Rarasati syarief/ Rahmat sahid/Sucipto
Namun, dalam hitungan 100 hari pemerintahan, semua janji itu seolah hanya menjadi sebuah kenangan. Yang kentara malah kesan bagi-bagi kursi.
Mulai dari memilih menteri, staf ahli, hingga sekretaris pribadi, mayoritas didominasi oleh teman dekat yang sejak lama telah mendampingi Jokowi. Tidak ada dasar hukumnya memang untuk menyalahkan kebijakan tersebut.
Namun, satu per satu kursi di kabinet dan posisi pejabat di seputar lingkungan Istana cukup menjadi saksi bahwa janji kabinet profesional dan ramping itu tinggal cerita. Kalangan istana merespons dingin penilaian ini. “Kalau ada (orang) terdekat (yang tepat untuk menjabat), kenapa harus memilih yang jauh,” kata salah satu orang terdekat Jokowi, Andi Widjajanto.
Menurut Andi, dirinya tak khawatir dengan opini berbagai pihak yang mengkritisi pengangkatan mantan tim sukses atau relawan untuk membantu pemerintahan. “Kalau ada kesan seperti itu, lalu apa masalahnya,” ujarnya. Selain bagi-bagi kursi menteri untuk para partai pendukungnya, Jokowi juga mengangkat tokoh-tokoh yang menjadi relawan dan pendukung.
Akhir November mantan wali Kota Solo itu menunjuk Franky Sibarani sebagai kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Nusron Wahid sebagai kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Tak berselang lama, Presiden juga mengangkat Luhut Panjaitan sebagai kepala staf kepresidenan, sebuah lembaga baru yang belum pernah ada dalam pemerintahan sebelumnya.
Memasuki bulan ketiga pemerintahan, Presiden Jokowi kembali memilih tokoh dari partai yang tergabung dalam mitra koalisi untuk menduduki jabatan penasihat Presiden. Beberapa tokoh senior partai yang populer mendapat kursi Wantimpres adalah Subagyo Hadisiswoyo (Hanura), Sidarto Danusubroto (PDI Perjuangan), Rusdi Kirana (PKB), dan Jan Darmadi (NasDem).
Merasa belum semua mendapatkan posisi, Jokowi kembali mengangkat pengusaha periklanan Triawan Munaf menjadi kepala Badan Ekonomi Kreatif. Mengikuti atasannya, Mensesneg Pratikno juga merekrut mantan tim sukses Jokowi untuk masuk Istana dan bekerja membantu menyelesaikan tugastugasnya. Mereka adalah Aria Dwipayana yang menjabat sebagai staf khusus bidang politik pemerintahan serta Refly Harun sebagai staf khusus bidang hukum.
“Kita sedang memikirkan beberapa hal yang penting di Sekretariat Negara misalnya programuntukmengawalapa yangkitasebut e-goverment, electronicgovernment . Itu kan menjadi sesuatu yang penting untuk menopang kerja Presiden,” ungkap mantan Rektor Universitas Gadjah Mada itu. Tak hanya masukkan para tim sukses untuk mengangkat pejabat dari lingkungannya, Jokowi juga memilih pejabat penegak hukum atas rekomendasi pendiri partai politik yang mengusungnya sebagai presiden.
Mereka adalah pendiri Partai Nasdem Surya Paloh yang mengajukan Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Politikus PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan, jika mau menilai secara fair, sebenarnya tidak tepat menganggap ada politik balas budi ataupun akomodatif yang diterapkan Jokowi. Jika ada beberapa posisi kabinet diisi orang partai, itu justru untuk memastikan apa yang menjadi visi-misi Presiden bisa terkawal implementasinya.
“Tentunya hal wajar ketika Presiden menunjuk orang dari partai yang dianggap punya kompetensi tepat dalam ikut merealisasikan Nawacita,” katanya. Menurut dia, ada jabatan untuk kader partai maupun relawan tak bisa semata dilihat dari sisi kedekatan atau kerja-kerja dalam upaya pemenangan saat pilpres lalu. Namun, pengangkatan tersebut sebagai bagian mempercepat pencapaian program dan janji kampanye.
Akomodasi yang Overdosis
Direktur Eksekutif Pol Tracking Hanta Yuda menilai Jokowi sudah masuk kategori overdosis dalam mengakomodasi kepentingan dan keinginan parpol. Itu terlihat dari postur para menteri dan jabatanjabatan strategis lain. Wantimpres pun menggunakan logika jatah partai.
Menurut Hanta, dalam sistem presidensialisme memang sulit diterapkan secara murni untuk tidak melibatkan unsur partai. Apalagi dengan konteks multipartai ekstrem yang ada di Indonesia. Kondisi itu semakin kompleks lantaran Jokowi bukan ketua umum atau veto player parpol seperti presiden-presiden sebelumnya. “Sehingga potensi kekuasaan presiden tereduksi kian besar,” ucapnya.
Dengan posisi seperti itu, kata Hanta, sudah tentu koalisi tanpa syarat mustahil bisa diimplementasikan. Itulah yang menurut Hanta kurang disadari sehingga Jokowi terkesan kurang realistis dan tersandera dengan janjinya sendiri. “Itu terbukti. Lain ceritanya jika Jokowi sejak awal tidak pernah menjanjikan koalisi tanpa syarat,” ungkapnya.
Saat ini Jokowi harus memelihara dua relasi politik yang sama-sama penting. Pertama, dukungan publik (vertikal) karena sejak awal dia menjadikan dukungan publik sebagai fondasi utama. Jika ini terganggu, akan menyulitkan Jokowi mengingat posisinya di parpol tidak sekokoh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati, dan Gus Dur selaku presiden pendahulunya. Kedua, relasi horizontal berupa dukungan politik dari parpol.
“Parlemen juga penting. Inilah dilema Jokowi. Bukan balas budi, melainkan konsekuensi logisnya karena presidensialisme kita beroperasi atas struktur politik multipartai, di mana partai ada 10,” kata dia.
Dengan fakta bahwa tidak ada kekuatan mayoritas, untuk mengamankan agenda-agenda Presiden dalam memenuhi janji politiknya sudah tentu perlu dukungan mayoritas sederhana: 50%+1 di parlemen. Artinya, koalisi sulit dihindari, bahkan bisa menjadi keniscayaan dan hampir mutlak diperlukan.
“Itulah realitas politik. Nah, persoalannya bagaimana cara Presiden membangun dukungan politik tersebut? Bisakah koalisi tanpa syarat? Nah, mengakomodasi parpol ke dalam kabinet adalah salah satu cara. Jadi perspektifnya ke depan untuk amankan agenda Presiden. Kalau balas budi, itu perspektif ke belakang,” kata mantan Presiden Mahasiswa UGM itu.
Rarasati syarief/ Rahmat sahid/Sucipto
(ars)