Gaya Kepemimpinan Jokowi Kamuflase
A
A
A
JAKARTA - Kinerja 100 hari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dinilai belum sesuai dengan harapan publik. Gaya kepemimpinan Jokowi yang tidak tegas telah berdampak pada jalannya pemerintahan yang makin tidak efektif.
“Pelajaran yang bisa kita tarik dari Jokowi adalah pemimpin yang kurang tegas dari awal. Tidak boleh ada negeri dipimpin dengan kamuflase,” ujar peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro saat menjadi pembicara diskusi berkala Partai Persatuan Indonesia (Perindo) di Kantor DPP Perindo Jalan Diponegoro Jakarta semalam.
Gaya kepemimpinan kamuflase menurut dia sangat tidak tepat diterapkan di tingkat nasional. Sebab yang dibutuhkan ketika sudah berada pada tataran atas adalah melakukan kerja nyata. “Kalau di tingkat kota, provinsi mungkin, tapi di tingkat nasional tidak bisa (kamuflase),” tuturnya. Dia mencontohkan, program kartu sakti yang pada waktu kampanye menjadi alat menarik simpati masyarakat justru ketika pemerintah baru berjalan tidak sukses.
Hal itu karena dalam menjalankan sebuah program tidak hanya membutuhkan rencana yang bagus, tapi juga komitmen yang kuat di lapangan. “Negara ini memerlukan kerja, rencana program bagus, tapi harus juga didukung pemimpin yang strong leadership . Bukan berarti harus seorang tentara, tapi tegas dan konsisten,” jelasnya. Dia menambahkan, gambaran pemimpin dalam konteks Indonesia adalah yang bisa memberikan inspirasi, mampu memotivasi, dan berjiwa pemimpin.
“Persoalan mendasar negeri ini adalah membangun demokrasi, tapi tidak tahu demokrasi apa yang kita bangun,” ucapnya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi mendapat rapor merah dari masyarakat. Sejumlah kebijakan negatif mengemuka meliputi perjalanan pemerintahan yang awalnya dibentuk untuk kerja tersebut.
“Di dalam pemerintahan ini tidak ada pakem. Semua berjalan atas sikap sendiri atas hasrat dan keinginan sendiri dengan mengatasnamakan negara,” ucap Rofiq. Menurut Rofiq, Presiden Jokowi gagal menjalankan proses bernegara dengan landasan hukum yang kuat. Akibatnya semua kebijakan hanya dilandasi kepentingan dan fundamental yang tidak strategis yang justru tidak langsung berhubungan dengan rakyat secara keseluruhan.
“Kita tidak menemukan satu bangunan demokrasi yang disusun secara sehat, tapi dibangun berdasarkan kepentingan kekuatan-kekuatan yang mem-back-up selama ini,” tuturnya. Rofiq menyarankan agar Jokowi juga mau mengevaluasi kinerja kabinetnya yang gagal menyokong dirinya. Karena dari setiap kebijakan yang dikeluarkan seorang presiden, menterilah yang nantinya akan menindaklanjutinya di lapangan.
“Tapi mau bagaimana, menteri yang diangkat berdasarkan kepentingan politik, jadi tidak dihitung berdasarkan kapasitas orang per orang,” jelasnya. Lebih lanjut Rofiq pun mempertanyakan komitmen koalisi tanpa syarat yang dikemukakan Presiden dalam janji politiknya. Menurut dia, saat ini justru ketidaksuksesan 100 hari pemerintah dikarenakan banyaknya tekanan dari partai-partai pengusungnya.
“Jadi publik jangan diombang-ambingkan dengan kekuasaan. Publik harus dibela, didewasakan, dan disejahterakan atas nama bangsa dan negara,” ucapnya. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indobarometer M Qodari menjelaskan, untuk menjadi seorang pemimpin tidak hanya cukup dibutuhkan niat dan orang yang baik, tetapi juga kekuasaan yang baik. Intinya, seorang presiden harus mampu mengendalikan kekuasaan.
“Problem Jokowi bukan dalam hal teknis karena dia mengawali dari bawah mulai dari (sebagai) wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta hingga menjadi presiden. Tapi soal konsolidasi power atau kekuasaan, Jokowi fakir dalam pengalaman dan kekuasaan,” katanya. Memang, menurut Qodari, sebagai presiden Jokowi tidak memegang penuh kendali partai.
Akibatnya, fraksi dalam meminta arahan bukan lagi ke Jokowi, melainkan ke ketua partai. Karena itu, yang bersangkutan tidak leluasa dalam mengambil keputusan yang pada akhirnya selalu mengambil jalan tengah. Di satu sisi langkah tersebut baik, tapi di sisi lain dinilai tidak tegas.
“Kekhawatiran ke Jokowi bukan karena tidak mampu mendengarkan dan memahami rakyat kecil. Tapi, dalam mengelola kekuasaan, Jokowi harus belajar konsolidasi power kalau mau dia betul-betul ingin menjadi presiden untuk kedua kalinya,” jelasnya. Menurut Qodari, tantangan yang dihadapi Jokowi bukan hanya datang dari luar partai pendukungnya, tetapi juga dari dalam, yakni partai pendukung dan koalisinya yang semestinya tidak terjadi.
“Bila tantangan datang dari oposisi tentu wajar. Partai pendukung semestinya meringankan. Ketika dianalisis itu memberatkan, Pak Jokowi dalam posisi yang sangat sulit. Artinya, di luar belum bisa didukung, di dalam juga belum bisa didukung,” ucapnya. Agar Jokowi memiliki kekuasaan yang penuh, sistem presidensial harus benar-benar dijalankan.
Dalam sistem presidensial, presiden adalah the king dari monarki yang konstitusional di mana semua persoalan dan permasalahanselesaidanberhentidi presiden. Saat ini sistem politik Indonesia menganut presidensialyangpadakenyataannyalebih bercita rasa parlementer.
“Menurut saya pertemuan dengan Prabowo mungkin sedang melakukan penjajakan dan kalkulasi politik yang lain. Ini merupakan satu sinyal bahwa Jokowi mulai menyadari bahwa dia harus memikirkan juga persoalan pengelolaan kekuasaan,” ujarnya.
Dian ramdhani /Sucipto
“Pelajaran yang bisa kita tarik dari Jokowi adalah pemimpin yang kurang tegas dari awal. Tidak boleh ada negeri dipimpin dengan kamuflase,” ujar peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro saat menjadi pembicara diskusi berkala Partai Persatuan Indonesia (Perindo) di Kantor DPP Perindo Jalan Diponegoro Jakarta semalam.
Gaya kepemimpinan kamuflase menurut dia sangat tidak tepat diterapkan di tingkat nasional. Sebab yang dibutuhkan ketika sudah berada pada tataran atas adalah melakukan kerja nyata. “Kalau di tingkat kota, provinsi mungkin, tapi di tingkat nasional tidak bisa (kamuflase),” tuturnya. Dia mencontohkan, program kartu sakti yang pada waktu kampanye menjadi alat menarik simpati masyarakat justru ketika pemerintah baru berjalan tidak sukses.
Hal itu karena dalam menjalankan sebuah program tidak hanya membutuhkan rencana yang bagus, tapi juga komitmen yang kuat di lapangan. “Negara ini memerlukan kerja, rencana program bagus, tapi harus juga didukung pemimpin yang strong leadership . Bukan berarti harus seorang tentara, tapi tegas dan konsisten,” jelasnya. Dia menambahkan, gambaran pemimpin dalam konteks Indonesia adalah yang bisa memberikan inspirasi, mampu memotivasi, dan berjiwa pemimpin.
“Persoalan mendasar negeri ini adalah membangun demokrasi, tapi tidak tahu demokrasi apa yang kita bangun,” ucapnya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi mendapat rapor merah dari masyarakat. Sejumlah kebijakan negatif mengemuka meliputi perjalanan pemerintahan yang awalnya dibentuk untuk kerja tersebut.
“Di dalam pemerintahan ini tidak ada pakem. Semua berjalan atas sikap sendiri atas hasrat dan keinginan sendiri dengan mengatasnamakan negara,” ucap Rofiq. Menurut Rofiq, Presiden Jokowi gagal menjalankan proses bernegara dengan landasan hukum yang kuat. Akibatnya semua kebijakan hanya dilandasi kepentingan dan fundamental yang tidak strategis yang justru tidak langsung berhubungan dengan rakyat secara keseluruhan.
“Kita tidak menemukan satu bangunan demokrasi yang disusun secara sehat, tapi dibangun berdasarkan kepentingan kekuatan-kekuatan yang mem-back-up selama ini,” tuturnya. Rofiq menyarankan agar Jokowi juga mau mengevaluasi kinerja kabinetnya yang gagal menyokong dirinya. Karena dari setiap kebijakan yang dikeluarkan seorang presiden, menterilah yang nantinya akan menindaklanjutinya di lapangan.
“Tapi mau bagaimana, menteri yang diangkat berdasarkan kepentingan politik, jadi tidak dihitung berdasarkan kapasitas orang per orang,” jelasnya. Lebih lanjut Rofiq pun mempertanyakan komitmen koalisi tanpa syarat yang dikemukakan Presiden dalam janji politiknya. Menurut dia, saat ini justru ketidaksuksesan 100 hari pemerintah dikarenakan banyaknya tekanan dari partai-partai pengusungnya.
“Jadi publik jangan diombang-ambingkan dengan kekuasaan. Publik harus dibela, didewasakan, dan disejahterakan atas nama bangsa dan negara,” ucapnya. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indobarometer M Qodari menjelaskan, untuk menjadi seorang pemimpin tidak hanya cukup dibutuhkan niat dan orang yang baik, tetapi juga kekuasaan yang baik. Intinya, seorang presiden harus mampu mengendalikan kekuasaan.
“Problem Jokowi bukan dalam hal teknis karena dia mengawali dari bawah mulai dari (sebagai) wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta hingga menjadi presiden. Tapi soal konsolidasi power atau kekuasaan, Jokowi fakir dalam pengalaman dan kekuasaan,” katanya. Memang, menurut Qodari, sebagai presiden Jokowi tidak memegang penuh kendali partai.
Akibatnya, fraksi dalam meminta arahan bukan lagi ke Jokowi, melainkan ke ketua partai. Karena itu, yang bersangkutan tidak leluasa dalam mengambil keputusan yang pada akhirnya selalu mengambil jalan tengah. Di satu sisi langkah tersebut baik, tapi di sisi lain dinilai tidak tegas.
“Kekhawatiran ke Jokowi bukan karena tidak mampu mendengarkan dan memahami rakyat kecil. Tapi, dalam mengelola kekuasaan, Jokowi harus belajar konsolidasi power kalau mau dia betul-betul ingin menjadi presiden untuk kedua kalinya,” jelasnya. Menurut Qodari, tantangan yang dihadapi Jokowi bukan hanya datang dari luar partai pendukungnya, tetapi juga dari dalam, yakni partai pendukung dan koalisinya yang semestinya tidak terjadi.
“Bila tantangan datang dari oposisi tentu wajar. Partai pendukung semestinya meringankan. Ketika dianalisis itu memberatkan, Pak Jokowi dalam posisi yang sangat sulit. Artinya, di luar belum bisa didukung, di dalam juga belum bisa didukung,” ucapnya. Agar Jokowi memiliki kekuasaan yang penuh, sistem presidensial harus benar-benar dijalankan.
Dalam sistem presidensial, presiden adalah the king dari monarki yang konstitusional di mana semua persoalan dan permasalahanselesaidanberhentidi presiden. Saat ini sistem politik Indonesia menganut presidensialyangpadakenyataannyalebih bercita rasa parlementer.
“Menurut saya pertemuan dengan Prabowo mungkin sedang melakukan penjajakan dan kalkulasi politik yang lain. Ini merupakan satu sinyal bahwa Jokowi mulai menyadari bahwa dia harus memikirkan juga persoalan pengelolaan kekuasaan,” ujarnya.
Dian ramdhani /Sucipto
(ars)