Komunikasi Jokowi-KIH Masih Lemah
A
A
A
JAKARTA - Kegaduhan politik pada 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak hanya karena dominannya kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai penyeimbang pemerintahan.
Hal itu juga dipicu faktor lemahnya komunikasi antara pemerintah dan partai pendukung. “Seratus hari ini menunjukkan ketidakmampuan Jokowi mengelola anggota koalisinya, terutama partai pengusung utamanya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH),” kata analis politik dari CSIS Arya Fernandes di Jakarta kemarin.
Pada sisi lain, kata Arya, partai pemerintah tidak menunjukkan komitmen yang kuat untuk mendukung agenda-agenda pemerintahan. Hal itu terlihat dalam beberapa kasus di mana Jokowi justru tersandera oleh partai pengusungnya. Padahal, mereka yang tergabung dalam KIH telah berkomitmen menopang kesuksesan pemerintahan.
“Setidaknya dalam 100 hari saya kira tidak tampak ada perantara dari pemerintah yang dapat membangun komunikasi yangbaikdengananggotakoalisi,” ungkapnya. Atas kelemahan itu, Arya menyarankan Jokowi untuk menugasi seseorang secara khusus yang bisa menjadi perantara agar komunikasi antara pemerintahan dan partai pendukung efektif. Dengan begitu, kegaduhan yang cenderung liar dalam menyikapi berbagai isu dari pemerintahan bisa diminimalisasi.
“Saya kira Jokowi harus memikirkan orang yang bisa diterima anggota koalisi. Karena tidak adanya pembawa pesan Jokowi ke partai-partai pemerintah yang bisa diterima, makanya beberapa kebijakan terlihat liar,” ucapnya. Seperti diketahui, belakangan ini kritik keras terhadap Jokowi justru datang dari partai pendukungnya.
Hal itu antara lain disampaikan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon yang mempertanyakan bagaimana Jokowi bisa menjalankan programsesuaidengannawacitadan konsep trisakti? Selain Effendi, Ketua DPP Partai Hanura Syarifuddin Sudding juga menyampaikan penilaian keras terhadapJokowi. Menurut Sudding, apa yang dilakukan Jokowi dalam 100 hari pertamanya seperti blusukan tidak jelas orientasinya.
“Orientasi kerjanya enggak jelas, sekadar blusukan ke sana-kemari, tidak jelas apa yang dilakukan Jokowi,” katanya. Sementara itu, Plt Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengajak semua pihak, khususnya kalangan internal partai pendukung pemerintahan, untuk tidak ikut larut dalam suasana dinamika politik yang memanas.
Menurut Hasto, apa yang disampaikan kalangan internal partai pendukung atas kerja-kerja pemerintahan justru akan dapat mengganggu keutuhan negeri yang sedang tumbuh kembang ini.
“Semua pihak harus bisa menahan diri. Bangsa ini memiliki kearifan dan tradisi musyawarah mufakat. Itu yang harus kita jalankan,” ujar Hasto;. Hasto mengingatkan bahwa mengelola negara yang begitu besar seperti Indonesia memerlukan cara berpikir, cara bertindak, dan cara berucap secara benar.
Indonesia, menurut dia, tidak bisa dipimpin dengan emosional dan serampangan bak anak muda yang baru belajar mengelola kekuasaan. Atas komunikasi yang dianggap belum efektif antara pemerintahan dengan partai pendukung, Hasto mengatakan PDIP akan terus melakukan dialog dan mencari solusi terbaik bersama seluruh komponen bangsa atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa.
Prinsipnya, pemerintahan membutuhkan dukungan dari semua pihak agar program-program yang sudah disiapkan bisa berjalan efektif sesuai dengan harapan. Direktur Eksekutif PolcoMM Institute Heri Budianto berpendapat, situasi rumit ini membuktikan bahwa terdapat banyak kekurangan mengenai koordinasi dan komunikasi antara partai pengusung dan presiden yang diusung.
Dalam 100 hari kerja pemerintahan Jokowi ini semakin terbukti bahwa KIH seperti tidak siap melihat pergerakan politik pemerintahan. “Dalam konteks ini saya melihat ada beberapa alasan, pertama , bisa saja Jokowi mulai meninggalkan partai pengusung dan lebih memercayai orang-orang dekatnya,” kata Heri.
Kemudian, lanjutnya, suasana saling serang ini membuktikan koordinasi dan komunikasi KIH dengan Presiden lemah lantaran struktur koalisi dan aturan main tidak disusun secara jelas. Akibatnya dalam perjalanannya menjadi kehilangan kendali. Ditambah lagi polemik ini dimanfaatkan orang-orang dalam KIH yang tidak puas dengan keputusankeputusan Jokowi, mulai penentuan kabinet hingga kebijakan lain yang dinilai tidak menguntungkan mereka.
“Ini potensi konflik yang luas. Jika Jokowi tidak hati-hati bisa kehilangan dukungan politik. Akibatnya bisa berbahaya, (bisa menjadi) pintu masuk pemakzulan,” tandas pakar komunikasi politik Universitas Mercu Buana itu.
Menurut Heri, Jokowi tidak boleh menganggap ringan situasi ini. Sebab jika KIH marah dan mulai bermanuver, akan sangat berbahaya bagi stabilitas pemerintahan Jokowi. Dengan situasi sekarang, tidak akan mungkin Presiden hanya didukung publik tanpa didukung oleh kekuatan politik. Karena itu, Jokowi harus mengubah 360 derajat cara menghadapi partai dan membangun soliditas di KIH.
“Saya melihat Jokowi baru merasakan sulitnya panggung politik nasional. Ternyata berat menghadapi pergerakan politik nasional yang sangat cepat berubah,” sebutnya.
Rahmat sahid/ Kiswondari
Hal itu juga dipicu faktor lemahnya komunikasi antara pemerintah dan partai pendukung. “Seratus hari ini menunjukkan ketidakmampuan Jokowi mengelola anggota koalisinya, terutama partai pengusung utamanya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH),” kata analis politik dari CSIS Arya Fernandes di Jakarta kemarin.
Pada sisi lain, kata Arya, partai pemerintah tidak menunjukkan komitmen yang kuat untuk mendukung agenda-agenda pemerintahan. Hal itu terlihat dalam beberapa kasus di mana Jokowi justru tersandera oleh partai pengusungnya. Padahal, mereka yang tergabung dalam KIH telah berkomitmen menopang kesuksesan pemerintahan.
“Setidaknya dalam 100 hari saya kira tidak tampak ada perantara dari pemerintah yang dapat membangun komunikasi yangbaikdengananggotakoalisi,” ungkapnya. Atas kelemahan itu, Arya menyarankan Jokowi untuk menugasi seseorang secara khusus yang bisa menjadi perantara agar komunikasi antara pemerintahan dan partai pendukung efektif. Dengan begitu, kegaduhan yang cenderung liar dalam menyikapi berbagai isu dari pemerintahan bisa diminimalisasi.
“Saya kira Jokowi harus memikirkan orang yang bisa diterima anggota koalisi. Karena tidak adanya pembawa pesan Jokowi ke partai-partai pemerintah yang bisa diterima, makanya beberapa kebijakan terlihat liar,” ucapnya. Seperti diketahui, belakangan ini kritik keras terhadap Jokowi justru datang dari partai pendukungnya.
Hal itu antara lain disampaikan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon yang mempertanyakan bagaimana Jokowi bisa menjalankan programsesuaidengannawacitadan konsep trisakti? Selain Effendi, Ketua DPP Partai Hanura Syarifuddin Sudding juga menyampaikan penilaian keras terhadapJokowi. Menurut Sudding, apa yang dilakukan Jokowi dalam 100 hari pertamanya seperti blusukan tidak jelas orientasinya.
“Orientasi kerjanya enggak jelas, sekadar blusukan ke sana-kemari, tidak jelas apa yang dilakukan Jokowi,” katanya. Sementara itu, Plt Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengajak semua pihak, khususnya kalangan internal partai pendukung pemerintahan, untuk tidak ikut larut dalam suasana dinamika politik yang memanas.
Menurut Hasto, apa yang disampaikan kalangan internal partai pendukung atas kerja-kerja pemerintahan justru akan dapat mengganggu keutuhan negeri yang sedang tumbuh kembang ini.
“Semua pihak harus bisa menahan diri. Bangsa ini memiliki kearifan dan tradisi musyawarah mufakat. Itu yang harus kita jalankan,” ujar Hasto;. Hasto mengingatkan bahwa mengelola negara yang begitu besar seperti Indonesia memerlukan cara berpikir, cara bertindak, dan cara berucap secara benar.
Indonesia, menurut dia, tidak bisa dipimpin dengan emosional dan serampangan bak anak muda yang baru belajar mengelola kekuasaan. Atas komunikasi yang dianggap belum efektif antara pemerintahan dengan partai pendukung, Hasto mengatakan PDIP akan terus melakukan dialog dan mencari solusi terbaik bersama seluruh komponen bangsa atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa.
Prinsipnya, pemerintahan membutuhkan dukungan dari semua pihak agar program-program yang sudah disiapkan bisa berjalan efektif sesuai dengan harapan. Direktur Eksekutif PolcoMM Institute Heri Budianto berpendapat, situasi rumit ini membuktikan bahwa terdapat banyak kekurangan mengenai koordinasi dan komunikasi antara partai pengusung dan presiden yang diusung.
Dalam 100 hari kerja pemerintahan Jokowi ini semakin terbukti bahwa KIH seperti tidak siap melihat pergerakan politik pemerintahan. “Dalam konteks ini saya melihat ada beberapa alasan, pertama , bisa saja Jokowi mulai meninggalkan partai pengusung dan lebih memercayai orang-orang dekatnya,” kata Heri.
Kemudian, lanjutnya, suasana saling serang ini membuktikan koordinasi dan komunikasi KIH dengan Presiden lemah lantaran struktur koalisi dan aturan main tidak disusun secara jelas. Akibatnya dalam perjalanannya menjadi kehilangan kendali. Ditambah lagi polemik ini dimanfaatkan orang-orang dalam KIH yang tidak puas dengan keputusankeputusan Jokowi, mulai penentuan kabinet hingga kebijakan lain yang dinilai tidak menguntungkan mereka.
“Ini potensi konflik yang luas. Jika Jokowi tidak hati-hati bisa kehilangan dukungan politik. Akibatnya bisa berbahaya, (bisa menjadi) pintu masuk pemakzulan,” tandas pakar komunikasi politik Universitas Mercu Buana itu.
Menurut Heri, Jokowi tidak boleh menganggap ringan situasi ini. Sebab jika KIH marah dan mulai bermanuver, akan sangat berbahaya bagi stabilitas pemerintahan Jokowi. Dengan situasi sekarang, tidak akan mungkin Presiden hanya didukung publik tanpa didukung oleh kekuatan politik. Karena itu, Jokowi harus mengubah 360 derajat cara menghadapi partai dan membangun soliditas di KIH.
“Saya melihat Jokowi baru merasakan sulitnya panggung politik nasional. Ternyata berat menghadapi pergerakan politik nasional yang sangat cepat berubah,” sebutnya.
Rahmat sahid/ Kiswondari
(ars)