Eropa Siaga Ancaman Teror

Senin, 26 Januari 2015 - 12:46 WIB
Eropa Siaga Ancaman...
Eropa Siaga Ancaman Teror
A A A
Memasuki 2015, warga Eropa bukan menikmati ketenangan dan kebahagiaan. Mereka justru menghadapi ancaman teror yang semakin meningkat. Uni Eropa pun menyatakan wilayahnya siaga teror.

Negara-negara di Eropa menuai “hasil” setelah mereka menebar benih-benih permusuhan di negara- negara berkonflik seperti di Irak dan Suriah. Teror justru terjadi di negara- negara Eropa. Radikalisme bukan hanya terjadi di negara konflik seperti Timur Tengah, tetapi juga meluas di Eropa. Uni Eropa (UE) sebagai aliansi 28 negara Eropa telah menyusun berbagai langkah untuk mencegah dan menghadapi serangan teror.

Aliansi itu bukan hanya dalam politik dan ekonomi, tetapi juga dalam keamanan dalam negeri anggota UE yang selama ini terkesan diabaikan. Pertanyaannya, kenapa mereka baru tersadar? Padahal mereka sudah mengampanyekan perang melawan teror sejak lama dengan aliansi perang di Irak, Afghanistan, Libya, hingga Suriah. Serangan teror di Eropa berawal di Prancis pada Rabu (7/1), ketika dua bersaudara, Cherif dan Said Kouachi, menyerang kantor majalah satir Charlie Hebdo .

Sebanyak 12 orang-termasuk delapan jurnalis dan dua polisi- tewas dan 11 terluka dalam serangan itu. Keesokan harinya seorang polisi tewas ketika pria bernama Amedy Coulibaly mengeluarkan tembakan di lokasi kecelakaan lalu lintas di Montrouge, pinggiran ibu kota Paris. Berikutnya, Jumat (9/1), Amedy Coulibaly menyandera beberapa orang di pasar swalayan di Paris timur.

Empat sandera kemudian ditemukan tewas. Polisi berhasil menewaskan seluruh pelaku penyerangan. UE juga sedang menyusun kebijakan untuk berbagi data penumpang pesawat antarnegara UE. Mekanisme itu dapat digunakan untuk mendeteksi individuindividu berbahaya yang sering bepergian dengan pesawat. Selain itu, negaranegara anggota UE juga sedang menyusun proposal tentang kebijakan internal antarnegara anggota UE untuk berbagi informasi intelijen.

Hanya, kebijakan itu dinilai melanggar kebebasan hakhak privasi warga Eropa. Namun, kebijakan UE itu akan memudahkan seluruh lembaga intelijen untuk mengakses data rahasia. Eropa juga membutuhkan negaranegara lain untuk menghadapi serangan teror. Mereka mengajak negara-negara Arab untuk menyatukan persepsi tentang pencegahan teror.

Selama ini ada persepsi bahwa sumber teror berasal dari negara-negara Arab. Seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah. Kemudian Al-Qaeda Semenanjung Arab (AQAP) yang bercokol di Yaman dan mengklaim bertanggung jawab dalam serangan di majalah Charlie Hebdo di Paris. Beberapa waktu lalu Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Federica Mogherini menyerukan kerja sama dengan semua negara-negara Arab untuk berbagi informasi lebih dalam dan kerja sama yang lebih erat.

Sekjen Liga Arab Nabil al- Arabi juga memberikan sinyal persetujuannya. Aliansi Eropa dan Timur Tengah akan memperkuat kedua belah pihak dalam pemberantasan terorisme. Terorisme di dalam negeri bukan hanya urusan kepolisian. Militer yang berurusan dengan peperangan dan pertahanan juga dilibatkan dalam pencegahan serangan teror. Itu sudah dilakukan Prancis yang melibatkan prajurit militer dalam membantu kepolisian memberikan jaminan keamanan.

Padahal, penempatan prajurit tempur di kawasan masyarakat merupakan hal yang jarang terjadi di Prancis, bahkan di Eropa. Mereka membedakan antara kepentingan publik yang menjadi domain polisi dan kepentingan pertahanan yang menjadi tugas militer. Situasi darurat menjadi alasan penting militer perlu diterjunkan. Polisi dianggap tidak terlalu tanggap dan bergerak cepat dalam menangani serangan teror yang bergerak sangat cepat.

Tentara juga dianggap memiliki keberanian dan strategi yang lebih matang dalam memerangi teror. Apalagi teror kini bukan lagi masuk dalam ranah sipil, tetapi juga telah menjadi hal yang membutuhkan penanganan cepat karena menyangkut keselamatan masyarakat.

Tidak kalah penting adalah peningkatan anggaran. Prancis menganggarkan USD490 juta dalam tiga tahun mendatang untuk melaksanakan kontraterorisme. Anggaran itu untuk memperkuat persenjataan aparat keamanan. Inggris pun demikian. Hampir seluruh negara UE meningkatkan anggaran keamanan untuk mencegah serangan teror.

Pengawasan terhadap warga Eropa yang pernah bergabung dengan kelompok gerilyawan di Suriah dan Irak juga perlu ditingkatkan. Prancis akan mengawasi sekitar 1.200 warganya yang pernah berjuang di Timur Tengah dan memiliki afiliasi dengan kelompok teror. Sebanyak 200 di antaranya telah kembali dari Irak dan Suriah di Prancis. Bukan hanya Prancis, Inggris dan Belgia juga melakukan hal yang sama.

Mereka melaksanakan operasi intelijen terhadap warga yang mencurigakan. Berbagai serangan teror yang dilancarkan di Barat dalam beberapa tahun terakhir membuktikan semua pelakunya memiliki hubungan dengan kelompok ekstremis yang menggiatkan jihad secara global. “Serangan pembunuhan di Paris dan aksi baku tembak di Belgia sekali lagi membuktikan gagasan pelaku teror tunggal adalah mitos yang salah,” kata Jean-Pierre Filiu, pakar terorisme dari Science Po University, di Paris.

Menurut Filiu, gagasan pelaku tunggal merupakan rekayasa intelektual yang muncul pada 2001 di Amerika Serikat sebagai bagian dari perang melawan teror yang dicanangkan pemerintahan George W Bush. Gagasan semacam itu menjadi kebijakan politik yang lebih gampang dijual kepada publik sebagai tindakan keamanan yang lebih ketat.

“Faktanya di balik setiap serangan teror, selalu ada dalang yang memberikan perintah baik langsung maupun tidak langsung,” ungkap Filiu, dikutip kantor berita China, Xinhua . Para pakar juga menilai, teroris lahir, tumbuh besar, dan direkrut di Eropa. Negara-negara Eropa seharusnya fokus dalam pembenahan permasalahan keamanan internal, bukan fokus pada permasalahan eksternal.

Selama ini negara-negara Eropa menganggap permasalahan terorisme dan radikalisme itu berada di negara lain seperti Timur Tengah. Tapi, mereka lupa dengan radikalisme juga tumbuh pesat di negaranegara Eropa. Kini negara-negara sudah terlambat melihat permasalahan itu. Mereka baru sadar bahwa rakyat mereka terancam dengan teror yang mematikan.

Francois Godement, peneliti senior pada Dewan Eropa Hubungan Luar Negeri, mengusulkan ada perubahan kebijakan pada negara-negara Eropa. Kebijakan itu termasuk dalam reformasi pendidikan yang lebih menekankan pada toleransi dan solidaritas. “Selain itu, perlunya reformasi penjara karena rumah tahanan kerap dijadikan lokasi pilihan dalam rekrutmen pelaku teror,” ungkap Godement.

Lebih lanjut pemanfaatan teknologi modern dan internet harus menjadi instrumen yang memudahkan dalam pencegahan serangan teror harus lebih mudah. “Sepertinya jumlah orang yang ingin melakukan terorisme semakin banyak,” kata Marcin Zaborowski, direktur Polish Institute of International Affairs.

Andika hendra m
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0806 seconds (0.1#10.140)