Ibu dan Pendekar Anak yang Tangguh
A
A
A
ENERGI ibu dari dua orang anak dan nenek dengan empat cucu ini seolah tak ada habisnya. Menyongsong usia kepala tujuh pada tahun ini, Utami justru semakin getol mengampanyekan hak-hak ibu dan anak terkait ASI ekslusif, IMD, dan makanan bayi berstandar emas hingga usia dua tahun lebih.
Tak hanya berkeliling Indonesia, Utami juga kerap diundang menjadi pembicara terkait ASI dan IMD di berbagai belahan dunia. Antara lain menjadi salah satu pembicara di Clinton Global Initiative’s di Washington DC pada 2008, Global Health Forum di New York, dan Kongres IBCLC Perth di Australia. Berbagai penghargaan pun disematkan kepada alumnus Universitas Padjadjaran ini atas dedikasinya mengampanyekan pentingnya pemberian ASI eksklusif.
Utami dinobatkan sebagai ”Pendekar Anak” dari UNICEF Indonesia pada 2010. Utami juga mendapatkan tanda kehormatan Satya Lancana Karya 20 tahun dari Presiden RI pada Juli 1999 dan tanda penghargaan Bakti Karya Husada Tri Windu dari Menteri Kesehatan RI pada Agustus 1999. Kontribusi nyata yang diberikan Utami kepada masyarakat Indonesia tentu menginspirasi orang-orang yang berada di sekitarnya.
Termasuk salah satu putranya, Andy Sjarief. Sebagai anak, Andy sangat memahami karakter sang ibu. Dia tak heran jika di usia hampir 70 tahun, energi Utami untuk terus melanjutkan apa yang dia mulai berpuluh tahun lalu tak memudar. Hal yang membuat semangat Utami kian membara mengampanyekan ASI ekslusif, IMD, dan asupan standar emas bagi bayi adalah karena yang dilakukannya merupakan cara membuka mata mereka yang sebelumnya tidak atau kurang memahami.
”Ibu pernah bilang, kalau masih ada bayi di Indonesia yang mengonsumsi susu formula, beliau merasa masih kalah dalam pertempuran,” kata Andy. Dia melanjutkan, keteladanan yang selama ini ditunjukkan oleh sang ibu lewat aktivitas dan tindakannya merupakan contoh bagaimana seharusnya orang tua mengajar dan mendidik anak.
Selaku ayah dari dua orang anak, Andy menyadari bahwa pendidikan dengan memberi contoh akan lebih melekat dibanding sekadar lewat kata-kata. Dari sosok ibunya pula Andy belajar banyak nilai kehidupan. ”Begitu banyak nilai-nilai hidup yang harus dilihat dari kacamata akhirat karena kehidupan tak berhenti saat kita masuk kubur,” ungkap Andy.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Selasi Wiyarni Pambudi. Dia mengatakan, nilai yang paling sering ditanamkan oleh Utami adalah bekerja karena Allah. Dengan begitu, apapun hasilnya entah sukses atau gagal tidak akan membuat kita menjadi sombong ataupun kecewa.
”Beliau menanamkan bahwa jika mengalami keberhasilan, hal itu karena ridha dan pertolongan Allah dengan diberikan kemudahan. Sebaliknya, jika tidak berhasil berarti memang belum jalannya. HaI seperti itu yang selalu ditanamkan sehingga tidak mudah patah semangat,” ujar Wiyarni.
Dia menambahkan, Utami adalah sosok perempuan yang tangguh. Saat ini, informasi mengenai ASI eksklusif relatif mudah didapatkan dan sudah banyak lembaga atau rumah sakit yang pro ASI. Utami mulai mengampanyekan ASI di awal 1990-an yang saat itu informasi soal ASI notabene belum begitu banyak. Bahkan, saat itu belum ada informasi ASI di internet yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
”Saya yakin beliau sudah mengalami jatuh bangun berkali-kali tapi tidak kapok. Beliau juga menjalani proses yang bukan main perjuangannya,” ungkap Wiyarni.
Ema malini/ Dina angelina
Tak hanya berkeliling Indonesia, Utami juga kerap diundang menjadi pembicara terkait ASI dan IMD di berbagai belahan dunia. Antara lain menjadi salah satu pembicara di Clinton Global Initiative’s di Washington DC pada 2008, Global Health Forum di New York, dan Kongres IBCLC Perth di Australia. Berbagai penghargaan pun disematkan kepada alumnus Universitas Padjadjaran ini atas dedikasinya mengampanyekan pentingnya pemberian ASI eksklusif.
Utami dinobatkan sebagai ”Pendekar Anak” dari UNICEF Indonesia pada 2010. Utami juga mendapatkan tanda kehormatan Satya Lancana Karya 20 tahun dari Presiden RI pada Juli 1999 dan tanda penghargaan Bakti Karya Husada Tri Windu dari Menteri Kesehatan RI pada Agustus 1999. Kontribusi nyata yang diberikan Utami kepada masyarakat Indonesia tentu menginspirasi orang-orang yang berada di sekitarnya.
Termasuk salah satu putranya, Andy Sjarief. Sebagai anak, Andy sangat memahami karakter sang ibu. Dia tak heran jika di usia hampir 70 tahun, energi Utami untuk terus melanjutkan apa yang dia mulai berpuluh tahun lalu tak memudar. Hal yang membuat semangat Utami kian membara mengampanyekan ASI ekslusif, IMD, dan asupan standar emas bagi bayi adalah karena yang dilakukannya merupakan cara membuka mata mereka yang sebelumnya tidak atau kurang memahami.
”Ibu pernah bilang, kalau masih ada bayi di Indonesia yang mengonsumsi susu formula, beliau merasa masih kalah dalam pertempuran,” kata Andy. Dia melanjutkan, keteladanan yang selama ini ditunjukkan oleh sang ibu lewat aktivitas dan tindakannya merupakan contoh bagaimana seharusnya orang tua mengajar dan mendidik anak.
Selaku ayah dari dua orang anak, Andy menyadari bahwa pendidikan dengan memberi contoh akan lebih melekat dibanding sekadar lewat kata-kata. Dari sosok ibunya pula Andy belajar banyak nilai kehidupan. ”Begitu banyak nilai-nilai hidup yang harus dilihat dari kacamata akhirat karena kehidupan tak berhenti saat kita masuk kubur,” ungkap Andy.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Selasi Wiyarni Pambudi. Dia mengatakan, nilai yang paling sering ditanamkan oleh Utami adalah bekerja karena Allah. Dengan begitu, apapun hasilnya entah sukses atau gagal tidak akan membuat kita menjadi sombong ataupun kecewa.
”Beliau menanamkan bahwa jika mengalami keberhasilan, hal itu karena ridha dan pertolongan Allah dengan diberikan kemudahan. Sebaliknya, jika tidak berhasil berarti memang belum jalannya. HaI seperti itu yang selalu ditanamkan sehingga tidak mudah patah semangat,” ujar Wiyarni.
Dia menambahkan, Utami adalah sosok perempuan yang tangguh. Saat ini, informasi mengenai ASI eksklusif relatif mudah didapatkan dan sudah banyak lembaga atau rumah sakit yang pro ASI. Utami mulai mengampanyekan ASI di awal 1990-an yang saat itu informasi soal ASI notabene belum begitu banyak. Bahkan, saat itu belum ada informasi ASI di internet yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
”Saya yakin beliau sudah mengalami jatuh bangun berkali-kali tapi tidak kapok. Beliau juga menjalani proses yang bukan main perjuangannya,” ungkap Wiyarni.
Ema malini/ Dina angelina
(ars)