Lantik Budi Gunawan, Jokowi Harus Siap Tak Populer
A
A
A
JAKARTA - Setelah DPR menyetujui Komjen Pol Budi Gunawan menjadi calon Kapolri sebagaimana yang diusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Maka haus siap menerima konsekuensi politik untuk melantiknya menjadi Kapolri definitif.
"Desakan publik untuk mengganti nama calon Kapolri harus dilihat sebagai masukan. Namun proses pengajuan nama dan pada akhirnya harus dilantik, ini agar wibawa lembaga kepresidenan tidak terdikte karena proses pengajuan Budi Gunawan sebagai calon kapolri telah berjalan," tegas Pengajar Politik dan Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Muradi di Jakarta, Kamis (15/1/2015).
Sementara langkah KPK menjadikan Budi sebagai tersangka, menurut Muradi, dianggap saja sebagai preseden politik yang tidak boleh terjadi lagi di masa datang. Karena tindakan KPK membuat proses tersebut terinterupsi.
"KPK seharusnya bisa melakukan pengumuman tersangka sebelum pengajuan atau saat tengah menjabat, apabila dirasakan figur tersebut tidak bersih," kata Muradi.
Dia melanjutkan, ada empat alasan mengapa Presiden Jokowi harus melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri definitif setelah proses politik telah selesai di DPR.
Pertama, secara politik Presiden Jokowi telah mengajukan nama Budi Gunawan sebelum diinterupsi dengan penetapan tersangka oleh KPK. Artinya proses itu coba digagalkan dengan menggunakan pendekatan hukum yang dipolitisasi.
"Jikapun kemudian KPK ingin terus memproses kasus ini, maka dapat dilakukan saat Budi Gunawan telah definitif menjadi Kapolri dengan syarat ada alat bukti yang sahih," ujarnya.
Kedua, Presiden Jokowi harus teguh dalam menentukan pilihan atas kebijakan yang dibuatnya. Artinya, proses pengayaan agar tidak mengajukan nama calon Kapolri harusnya dilakukan saat presiden belum mengajukan nama ke DPR.
"Bila presiden tidak meneruskan hasil paripurna DPR, maka akan menjadi preseden bagi Presiden dinilai tidak memiliki keajegan pilihan atas kebijakan yang dipilihnya," imbuhnya.
Ketiga, sebagai pemimpin, Jokowi harus secara kesatria mengambil tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang tidak sekehendak dengan publik. Artinya dia harus siap tidak populer.
Keempat, secara legitimasi politik, pemilihan Budi Gunawan sebagai Kapolri sangat kuat legitimasinya. Karena diusulkan oleh eksekutif, disokong oleh DPR, Kompolnas serta internal Polri yang solid.
Artinya Jokowi tidak ada pilihan untuk tidak melantik dan mendefinitifkan Budi Gunawan sebagai Kapolri. "Sedangkan masalah hukumnya bisa dilanjutkan manakala KPK memiliki alat bukti yang memperkuat sangkaan tersebut," jelas Muradi.
"Dengan begitu, langkah ini dapat memberikan stimulasi politik yang terstruktur dan sistematis tanpa mengurangi ataupun menghilangkan pendekatan penegakan hukum yang disematkan KPK pada calon Kapolri pilihan Presiden Jokowi tersebut," tandasnya.
"Desakan publik untuk mengganti nama calon Kapolri harus dilihat sebagai masukan. Namun proses pengajuan nama dan pada akhirnya harus dilantik, ini agar wibawa lembaga kepresidenan tidak terdikte karena proses pengajuan Budi Gunawan sebagai calon kapolri telah berjalan," tegas Pengajar Politik dan Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Muradi di Jakarta, Kamis (15/1/2015).
Sementara langkah KPK menjadikan Budi sebagai tersangka, menurut Muradi, dianggap saja sebagai preseden politik yang tidak boleh terjadi lagi di masa datang. Karena tindakan KPK membuat proses tersebut terinterupsi.
"KPK seharusnya bisa melakukan pengumuman tersangka sebelum pengajuan atau saat tengah menjabat, apabila dirasakan figur tersebut tidak bersih," kata Muradi.
Dia melanjutkan, ada empat alasan mengapa Presiden Jokowi harus melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri definitif setelah proses politik telah selesai di DPR.
Pertama, secara politik Presiden Jokowi telah mengajukan nama Budi Gunawan sebelum diinterupsi dengan penetapan tersangka oleh KPK. Artinya proses itu coba digagalkan dengan menggunakan pendekatan hukum yang dipolitisasi.
"Jikapun kemudian KPK ingin terus memproses kasus ini, maka dapat dilakukan saat Budi Gunawan telah definitif menjadi Kapolri dengan syarat ada alat bukti yang sahih," ujarnya.
Kedua, Presiden Jokowi harus teguh dalam menentukan pilihan atas kebijakan yang dibuatnya. Artinya, proses pengayaan agar tidak mengajukan nama calon Kapolri harusnya dilakukan saat presiden belum mengajukan nama ke DPR.
"Bila presiden tidak meneruskan hasil paripurna DPR, maka akan menjadi preseden bagi Presiden dinilai tidak memiliki keajegan pilihan atas kebijakan yang dipilihnya," imbuhnya.
Ketiga, sebagai pemimpin, Jokowi harus secara kesatria mengambil tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang tidak sekehendak dengan publik. Artinya dia harus siap tidak populer.
Keempat, secara legitimasi politik, pemilihan Budi Gunawan sebagai Kapolri sangat kuat legitimasinya. Karena diusulkan oleh eksekutif, disokong oleh DPR, Kompolnas serta internal Polri yang solid.
Artinya Jokowi tidak ada pilihan untuk tidak melantik dan mendefinitifkan Budi Gunawan sebagai Kapolri. "Sedangkan masalah hukumnya bisa dilanjutkan manakala KPK memiliki alat bukti yang memperkuat sangkaan tersebut," jelas Muradi.
"Dengan begitu, langkah ini dapat memberikan stimulasi politik yang terstruktur dan sistematis tanpa mengurangi ataupun menghilangkan pendekatan penegakan hukum yang disematkan KPK pada calon Kapolri pilihan Presiden Jokowi tersebut," tandasnya.
(kri)