Telat Tetapkan APBD, Daerah Kena Sanksi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan mengkaji pemberian sanksi bagi daerah yang belum menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Sebagaimana diketahui, seharusnya provinsi maupun kabupaten/ kota sudah menetapkan APBD paling lambat Desember tahun lalu. ”Sedang dilakukan pendalaman dan pengkajian apa dan bagaimana menerapkan sanksi ini nantinya,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek kepada KORAN SINDOkemarin.
Mantan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri tersebut mengatakan, dari 34 provinsiyangseharusnya memasukkan RAPBD ke Kemendagri untuk dievaluasi, masih tersisa dua provinsi yang hingga Januari ini belum juga menyerahkan. Dua daerah itu adalah DKI Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
”Intinya, sudah 32 provinsi yang menyampaikan dan dievaluasi oleh Kemendagri. Sudah ditetapkan Kepmendagri untuk selanjutnya diserahkan ke daerah untuk disesuaikan dan diperbaiki. Selanjutnya ditetapkan sebagai perda APBD. Yang belum melakukan pembahasan, persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD, sehingga belum disampaikan ke Kemendagri, adalah Aceh dan Jakarta,” paparnya.
Artinya, Aceh dan DKI Jakarta adalah dua provinsi yang terancam terkena sanksi. Hal ini seperti yang diatur dalam UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 321 ayat 2. Pasal itu menyebutkan, ”DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hakhak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan selama 6 bulan.”
Namun, sanksi tersebut tidak berlaku bagi DPRD jika kepala daerah terlambat menyampaikan raperda kepada DPRD. Hal ini disebutkan dalam Pasal 312 ayat 3, yaitu, ”Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh kepala daerah terlambat menyampaikan rancangan perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Kemendagri pun telah memberikan peringatan kepada daerah melalui Surat Edaran (SE) Nomor903/ 6865/SJtanggal24November 2014. Dalam SE tersebut Mendagri telah meminta kepala daerah untuk mempercepat penyelesaian Raperda APBD 2015.
”Nanti kita lihat. Intinya norma (aturan sanksi) sudah ada. Nanti menunggu petunjuk teknis. Apakah diatur dengan peraturan pemerintah (PP), permendagri, atau bagaimana? Kita masih kaji bagaimana memberlakukannya,” kata Reydonnyzar. Mengenai alasan kedua daerah tersebut kenapa belum juga menyelesaikan RAPBD, Donny menjawab karena pembentukan alat kelengkapan dewan (AKD) yang terlambat.
Karena itu, pembahasan dan persetujuan bersama RAPBD juga menjadi terlambat. ”Alasannya, kalau DKI karena AKD terlambat terbentuk. Lalu dari media katanya masih akan menunggu pejabat baru. Aceh alasannya sama. AKD Aceh baru terbentuk dan Desember lalu baru dilantik. Tidak cukup waktu untuk membahas APBD,” paparnya.
Meski demikian, Donny cukup senang dengan capaian saat ini. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah daerah yang tepat waktu dalam mengajukan RAPBD untuk dievaluasi meningkat. ”Dulu hanya 27 provinsi, sekarang 32, ini meningkat tajam,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng tidak mengetahui secara pasti apa yang tengah dikaji Kemendagri tentang pemberlakuan sanksi. Sebab, UU Nomor 23/2014 jelas menyebutkan sanksi keterlambatan APBD. ”Seharusnya jika melihat undang-undang kan sudah jelas sanksinya tidak digaji selama enam bulan. Seharusnya tinggal dipotong saja,” ujarnya.
Robert menilai kajian tersebut memberikan kesan pemerintah agak longgar dalam menerapkan sanksi. Meski demikian, dia cukup memahami kondisi pemerintah kalaupun nantinya sanksi belum dapat diberlakukan secara efektif pada tahun anggaran ini. ”Cukup bisa diterima karena memang pemerintah tetap membutuhkan aturan teknis dalam pemberlakuan sanksi ini.
Di sisi lain, ini masih masa transisi anggota DPRD baru dan transisi bagi implementasi UU Pemda. UU Pemda disahkan juga sangat mepet, di akhir tahun. Sosialisasi belum maksimal. Posisi pemerintah cukup dilematis,” paparnya. Meski belum dapat dijalankan efektif, Robert meminta pemerintah tegas menyelesaikan evaluasi APBD minimal Januari 2015. Sebab, jika semakin molor, ruang fiskal akan semakin sempit bagi daerah.
”Harus ditegaskan untuk segera diselesaikan. Nanti semakin molor anggaran malah tidak terserap dengan baik,” ungkapnya. Selain itu, dia meminta pemerintah pada tahun anggaran berikutnya harus tegas mengenai sanksi. Sebab, baik aturan teknis dan sosialisasi tentunya sudah berjalanefektif.
”Kedepannya harus tidak ada toleransi. Harus tegas diberlakukan sanksi tersebut. Ini harus disampaikan Mendagri mulai dari sekarang, sehingga daerah dapat mempersiapkan. UU Pemda ini babak baru hubungan pusat dan daerah, jadi harus maksimal sosialisasinya, termasuk soal sanksi,” katanya.
Dita angga
Sebagaimana diketahui, seharusnya provinsi maupun kabupaten/ kota sudah menetapkan APBD paling lambat Desember tahun lalu. ”Sedang dilakukan pendalaman dan pengkajian apa dan bagaimana menerapkan sanksi ini nantinya,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek kepada KORAN SINDOkemarin.
Mantan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri tersebut mengatakan, dari 34 provinsiyangseharusnya memasukkan RAPBD ke Kemendagri untuk dievaluasi, masih tersisa dua provinsi yang hingga Januari ini belum juga menyerahkan. Dua daerah itu adalah DKI Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
”Intinya, sudah 32 provinsi yang menyampaikan dan dievaluasi oleh Kemendagri. Sudah ditetapkan Kepmendagri untuk selanjutnya diserahkan ke daerah untuk disesuaikan dan diperbaiki. Selanjutnya ditetapkan sebagai perda APBD. Yang belum melakukan pembahasan, persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD, sehingga belum disampaikan ke Kemendagri, adalah Aceh dan Jakarta,” paparnya.
Artinya, Aceh dan DKI Jakarta adalah dua provinsi yang terancam terkena sanksi. Hal ini seperti yang diatur dalam UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 321 ayat 2. Pasal itu menyebutkan, ”DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hakhak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan selama 6 bulan.”
Namun, sanksi tersebut tidak berlaku bagi DPRD jika kepala daerah terlambat menyampaikan raperda kepada DPRD. Hal ini disebutkan dalam Pasal 312 ayat 3, yaitu, ”Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh kepala daerah terlambat menyampaikan rancangan perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Kemendagri pun telah memberikan peringatan kepada daerah melalui Surat Edaran (SE) Nomor903/ 6865/SJtanggal24November 2014. Dalam SE tersebut Mendagri telah meminta kepala daerah untuk mempercepat penyelesaian Raperda APBD 2015.
”Nanti kita lihat. Intinya norma (aturan sanksi) sudah ada. Nanti menunggu petunjuk teknis. Apakah diatur dengan peraturan pemerintah (PP), permendagri, atau bagaimana? Kita masih kaji bagaimana memberlakukannya,” kata Reydonnyzar. Mengenai alasan kedua daerah tersebut kenapa belum juga menyelesaikan RAPBD, Donny menjawab karena pembentukan alat kelengkapan dewan (AKD) yang terlambat.
Karena itu, pembahasan dan persetujuan bersama RAPBD juga menjadi terlambat. ”Alasannya, kalau DKI karena AKD terlambat terbentuk. Lalu dari media katanya masih akan menunggu pejabat baru. Aceh alasannya sama. AKD Aceh baru terbentuk dan Desember lalu baru dilantik. Tidak cukup waktu untuk membahas APBD,” paparnya.
Meski demikian, Donny cukup senang dengan capaian saat ini. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah daerah yang tepat waktu dalam mengajukan RAPBD untuk dievaluasi meningkat. ”Dulu hanya 27 provinsi, sekarang 32, ini meningkat tajam,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng tidak mengetahui secara pasti apa yang tengah dikaji Kemendagri tentang pemberlakuan sanksi. Sebab, UU Nomor 23/2014 jelas menyebutkan sanksi keterlambatan APBD. ”Seharusnya jika melihat undang-undang kan sudah jelas sanksinya tidak digaji selama enam bulan. Seharusnya tinggal dipotong saja,” ujarnya.
Robert menilai kajian tersebut memberikan kesan pemerintah agak longgar dalam menerapkan sanksi. Meski demikian, dia cukup memahami kondisi pemerintah kalaupun nantinya sanksi belum dapat diberlakukan secara efektif pada tahun anggaran ini. ”Cukup bisa diterima karena memang pemerintah tetap membutuhkan aturan teknis dalam pemberlakuan sanksi ini.
Di sisi lain, ini masih masa transisi anggota DPRD baru dan transisi bagi implementasi UU Pemda. UU Pemda disahkan juga sangat mepet, di akhir tahun. Sosialisasi belum maksimal. Posisi pemerintah cukup dilematis,” paparnya. Meski belum dapat dijalankan efektif, Robert meminta pemerintah tegas menyelesaikan evaluasi APBD minimal Januari 2015. Sebab, jika semakin molor, ruang fiskal akan semakin sempit bagi daerah.
”Harus ditegaskan untuk segera diselesaikan. Nanti semakin molor anggaran malah tidak terserap dengan baik,” ungkapnya. Selain itu, dia meminta pemerintah pada tahun anggaran berikutnya harus tegas mengenai sanksi. Sebab, baik aturan teknis dan sosialisasi tentunya sudah berjalanefektif.
”Kedepannya harus tidak ada toleransi. Harus tegas diberlakukan sanksi tersebut. Ini harus disampaikan Mendagri mulai dari sekarang, sehingga daerah dapat mempersiapkan. UU Pemda ini babak baru hubungan pusat dan daerah, jadi harus maksimal sosialisasinya, termasuk soal sanksi,” katanya.
Dita angga
(ars)