Nafas Realisme sang Dokter
A
A
A
Hampir semua sisi kehidupan terpajang di pameran ini. Berbagai keindahan hidup seperti pemandangan alam yang begitu indah, rumah di pedesaan yang asri nan teduh, sawah menghijau sekaligus menguning, aliran air terjun yang jernih dan menenangkan, serta pegunungan yang menjulang tinggi. Tak lupa warna-warni bunga pun ikut memeriahkan.
Inilah gaya seniman bergenre realisme Djoko Simbardjo. Melalui pamerannya ke-12, lelaki yang bergelar dokter spesialis ortopedi (tulang) dan bedah, serta profesor, ingin membuktikan, waktu bukanlah kambing hitam dalam hidupnya. Dia tetap bisa melukis kapan pun panggilan itu, tapi tetap memprioritaskan menangani keselamatan jiwa seseorang di atas segalanya.
Bertajuk Apresiasi Kreativitas, pameran tunggal ini memang menekankan pada apresiasi atau penghargaan yang dirasa kurang di dunia seni dan budaya. Sang seniman tak ingin menggunakan tema khusus, karena bagi dia seni bersifat bebas, bisa dipahami dan dinikmati semua kalangan, tanpa perbedaan apa pun.
Dari 200 lukisan beraliran realisme, hanya sekitar 139 karya lukisan yang bisa dipajang di Graha Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), karena faktor sempitnya ruangan. “Saya sebetulnya sedih dan kecewa karena masih banyak lukisan saya yang tidak bisa dipajang dan akhirnya harus ditinggal di rumah. Tapi ya mau bagaimana lagi, ini saja masih syukur bisa pameran, karena susahnya mencari tempat pameran di kita,” ungkapnya membuka wawancara.
Sang dokter memang patut kecewa karena untuk melakukan pameran ini dia harus bersabar menunggu setahun terlebih dahulu. Mengapa harus keukeuh di TIM? Karena menurut sang dokter, hanya TIM yang bisa merepresentasikan segala kalangan. Mulai dari tukang becak, seniman jalanan, anak-anak sekolahan, hingga orang berdasi. Pameran ini juga sekaligus sebagai media kritik bagi pemerintah.
Dia sungguh tegas menilai pemerintah yang tidak memberikan penghargaan yang cukup bagi dunia seni dan budaya. Anggapannya itu terbukti dari sulitnya mencari tempat pameran di Jakarta. Padahal, di luar negeri berbagai tempat pameran mudah dijumpai.
“Pemerintah tidak menaruh perhatian yang besar di sini. Kita hanya sekarang sibuk mengurus masalah duit, masalah perut, demo setiap hari, macet, begitu saja urusannya. Tidak ada lagi mengurusi masalah sikap dan mental kita dalam berkehidupan yang lebih baik,” tegasnya dengan mata memandang lurus ke depan, dan jarang melihat ke samping, ke arah pewawancara.
Mengenai lukisannya, hampir semua sisi kehidupan terpajang di sini. Berbagai keindahan hidup seperti pemandangan alam yang begitu indah, rumah di pedesaan yang asri nan teduh. Lalu sawah yang menghijau sekaligus menguning. Aliran air terjun yang jernih dan menenangkan, serta pegunungan yang menjulang tinggi.
Tak lupa warnawarni bunga pun ikut memeriahkan. Djoko menuangkannya di atas kanvas dengan cat minyak yang menggunakan serangkaian warna cerah dan hidup. Selain pemandangan, berbagai kejadian di tanah air juga dituangkannya dalam kanvas. Seperti karya lukisan soal Lapindo dan Kerusuhan Mei 1998. Terkait lukisan Kerusuhan Mei 1998, ada dua lukisan besar yang berukuran 125x125 sentimeter.
Lalu ada empat karya berukuran sedang, yakni 50x40 sentimeter. Semua lukisan memakai latar berwarna hitam. Figur-figur di dalam lukisan memakai warna putih serta sedikit cokelat terang. Mereka terlihat tidak begitu jelas, ada yang hanya terlihat tangan atau kaki, atau wajah dengan kaki.
Seolah-olah menunjukkan betapa chaos-nya kondisi dan situasi kala itu. Kecintaannya terhadap dunia hewan pun digambarkan di sini. Berbagai lukisan kuda yang sedang berperang, sapi yang menarik pedati, serta ayam jago yang sedang disabung. Tak lupa sisi religi dilukiskan dari kegiatan berhaji di Mekkah, seperti Kakbah, tawaf, sujud.
Di sisi paling depan ruang pameran terpampang berbagai gambar pahlawan. Bagi sang seniman, kehadiran pahlawan Pangeran Diponegoro, Pangeran Diponegoro Bertopeng, dan Raden Saleh, menjadi titik penting akan pembelajaran sejarah. “Bangsa yang besarlah yang mengenal sejarah dan para pahlawannya. Kita harus mengenal pahlawan di Tanah Air, kalau tidak kita ini bangsa tempe,” ungkap lelaki 72 tahun ini.
Lahir di Salatiga dan besar di Pekalongan membuat Djoko lebih banyak menggambar pahlawan yang berasal dari tanah Jawa. Dunia lukis sendiri sudah dijalaninya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Dosen pengajar di bagian bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini mengaku merekam semua kejadian yang terjadi di dalam hidupnya.
Terutama, kejadian yang menggetarkan jiwa dan sisi humanismenya untuk kemudian ketika memiliki waktu cukup, dia akan langsung menuangkannya di atas kanvas. “Semua kehidupan yang saya alami saya rekam, kemudian saya lukis dengan kreativitas saya. Ini masalah kreativitas, menghargai kreativitas,” paparnya.
Dia menampik anggapan bahwa pekerjaan utamanya sebagai dokter membuatnya tak memiliki banyak waktu untuk menumpahkan hobinya pada lukisan. “Bohong itu kalau bilang waktu itu tak pernah cukup. Tinggal bagaimana kita mensyukuri pemberian waktu oleh Tuhan dan mengaturnya dengan benar,” tegasnya dengan nada tinggi.
Susi susanti
Inilah gaya seniman bergenre realisme Djoko Simbardjo. Melalui pamerannya ke-12, lelaki yang bergelar dokter spesialis ortopedi (tulang) dan bedah, serta profesor, ingin membuktikan, waktu bukanlah kambing hitam dalam hidupnya. Dia tetap bisa melukis kapan pun panggilan itu, tapi tetap memprioritaskan menangani keselamatan jiwa seseorang di atas segalanya.
Bertajuk Apresiasi Kreativitas, pameran tunggal ini memang menekankan pada apresiasi atau penghargaan yang dirasa kurang di dunia seni dan budaya. Sang seniman tak ingin menggunakan tema khusus, karena bagi dia seni bersifat bebas, bisa dipahami dan dinikmati semua kalangan, tanpa perbedaan apa pun.
Dari 200 lukisan beraliran realisme, hanya sekitar 139 karya lukisan yang bisa dipajang di Graha Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), karena faktor sempitnya ruangan. “Saya sebetulnya sedih dan kecewa karena masih banyak lukisan saya yang tidak bisa dipajang dan akhirnya harus ditinggal di rumah. Tapi ya mau bagaimana lagi, ini saja masih syukur bisa pameran, karena susahnya mencari tempat pameran di kita,” ungkapnya membuka wawancara.
Sang dokter memang patut kecewa karena untuk melakukan pameran ini dia harus bersabar menunggu setahun terlebih dahulu. Mengapa harus keukeuh di TIM? Karena menurut sang dokter, hanya TIM yang bisa merepresentasikan segala kalangan. Mulai dari tukang becak, seniman jalanan, anak-anak sekolahan, hingga orang berdasi. Pameran ini juga sekaligus sebagai media kritik bagi pemerintah.
Dia sungguh tegas menilai pemerintah yang tidak memberikan penghargaan yang cukup bagi dunia seni dan budaya. Anggapannya itu terbukti dari sulitnya mencari tempat pameran di Jakarta. Padahal, di luar negeri berbagai tempat pameran mudah dijumpai.
“Pemerintah tidak menaruh perhatian yang besar di sini. Kita hanya sekarang sibuk mengurus masalah duit, masalah perut, demo setiap hari, macet, begitu saja urusannya. Tidak ada lagi mengurusi masalah sikap dan mental kita dalam berkehidupan yang lebih baik,” tegasnya dengan mata memandang lurus ke depan, dan jarang melihat ke samping, ke arah pewawancara.
Mengenai lukisannya, hampir semua sisi kehidupan terpajang di sini. Berbagai keindahan hidup seperti pemandangan alam yang begitu indah, rumah di pedesaan yang asri nan teduh. Lalu sawah yang menghijau sekaligus menguning. Aliran air terjun yang jernih dan menenangkan, serta pegunungan yang menjulang tinggi.
Tak lupa warnawarni bunga pun ikut memeriahkan. Djoko menuangkannya di atas kanvas dengan cat minyak yang menggunakan serangkaian warna cerah dan hidup. Selain pemandangan, berbagai kejadian di tanah air juga dituangkannya dalam kanvas. Seperti karya lukisan soal Lapindo dan Kerusuhan Mei 1998. Terkait lukisan Kerusuhan Mei 1998, ada dua lukisan besar yang berukuran 125x125 sentimeter.
Lalu ada empat karya berukuran sedang, yakni 50x40 sentimeter. Semua lukisan memakai latar berwarna hitam. Figur-figur di dalam lukisan memakai warna putih serta sedikit cokelat terang. Mereka terlihat tidak begitu jelas, ada yang hanya terlihat tangan atau kaki, atau wajah dengan kaki.
Seolah-olah menunjukkan betapa chaos-nya kondisi dan situasi kala itu. Kecintaannya terhadap dunia hewan pun digambarkan di sini. Berbagai lukisan kuda yang sedang berperang, sapi yang menarik pedati, serta ayam jago yang sedang disabung. Tak lupa sisi religi dilukiskan dari kegiatan berhaji di Mekkah, seperti Kakbah, tawaf, sujud.
Di sisi paling depan ruang pameran terpampang berbagai gambar pahlawan. Bagi sang seniman, kehadiran pahlawan Pangeran Diponegoro, Pangeran Diponegoro Bertopeng, dan Raden Saleh, menjadi titik penting akan pembelajaran sejarah. “Bangsa yang besarlah yang mengenal sejarah dan para pahlawannya. Kita harus mengenal pahlawan di Tanah Air, kalau tidak kita ini bangsa tempe,” ungkap lelaki 72 tahun ini.
Lahir di Salatiga dan besar di Pekalongan membuat Djoko lebih banyak menggambar pahlawan yang berasal dari tanah Jawa. Dunia lukis sendiri sudah dijalaninya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Dosen pengajar di bagian bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini mengaku merekam semua kejadian yang terjadi di dalam hidupnya.
Terutama, kejadian yang menggetarkan jiwa dan sisi humanismenya untuk kemudian ketika memiliki waktu cukup, dia akan langsung menuangkannya di atas kanvas. “Semua kehidupan yang saya alami saya rekam, kemudian saya lukis dengan kreativitas saya. Ini masalah kreativitas, menghargai kreativitas,” paparnya.
Dia menampik anggapan bahwa pekerjaan utamanya sebagai dokter membuatnya tak memiliki banyak waktu untuk menumpahkan hobinya pada lukisan. “Bohong itu kalau bilang waktu itu tak pernah cukup. Tinggal bagaimana kita mensyukuri pemberian waktu oleh Tuhan dan mengaturnya dengan benar,” tegasnya dengan nada tinggi.
Susi susanti
(bbg)