Koalisi Penyeimbang Baik untuk Pemerintahan

Kamis, 18 Desember 2014 - 12:27 WIB
Koalisi Penyeimbang...
Koalisi Penyeimbang Baik untuk Pemerintahan
A A A
JAKARTA - Keberadaan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai kekuatan penyeimbang yang dominan di parlemen tidak perlu dikhawatirkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menyatakan, pengelompokan dua kubu politik di DPR yakni KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah hal yang bagus untuk menjalankan sistem presidensial yang lebih kuat dan parlemen yang lebih efektif. “Presiden tidak menguasai dukungan mayoritas di parlemen, tidak apa-apa. Di Amerika biasa seperti itu. Dua setengah abad begitu, efektif, sistemnya kuat, maju, jadi model di manamana,” ucap Jimly pada diskusi bertema “Politik Indonesia 100 Hari Jokowi” di Jakarta kemarin.

Menurut ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini, meski dukungan di parlemen minim, Presiden tetap akan kuat jika tetap berpihak kepada kepentingan rakyat. Kendati mendukung penguatan sistem presidensial, Jimly menolak jika Indonesia hanya memiliki dua partai seperti Amerika.

“Tidak bisa, kita terlalu plural,” ujarnya. Karena itu, untuk jangka panjang satu-satunya jalan terbaik adalah membiarkan partai banyak, tapi di akhir akan membuat pengelompokan partai menjadi dua. Ini membuat negara akan efektif dan membuat sistem yang kuat.

“Saya berharap pada 2019 partai banyak, capres banyak, tapi pada ronde kedua pengelompokan kedua kubu tetap terjadi. Tapi, ketegangan jangan sampai seperti kemarin,” tuturnya. Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mampu menyelesaikan polarisasi di parlemen pada 2015. Jika tidak, pemerintahan yang dijalankan akan terus terhambat.

Pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto mengatakan, Jokowi belum terlambat untuk melakukan perbaikan dan mencegah jangan sampai polarisasi parlemen di pusat merambah hingga daerah. “Perpolitikan Indonesia ke depan akan terpolarisasi terus. Lalu perpecahan di parlemen ini akan berlanjut dan meluas ke daerah. Jokowi harus membenahi ini,” ungkapnya di tempat yang sama.

Nico juga menjelaskan ke depan jika perang koalisi terus berlanjut, bisa saja terjadi politik dominasi mayoritarian di mana suara mayoritas selalu merasa lebih memiliki kekuasaan. “Politik seperti itu tidak sehat,” ujarnya. Jokowi juga harus tetap mengontrol koalisi internalnya.

Sebagai presiden, dia diminta tidak ragu melakukan reshuffle kabinet jika ada menteri yang kinerjanya dinilai kurang baik. Jokowi tidak perlu khawatir akan terjadi gesekan-gesekan kecil di koalisi pendukungnya jika ada menteri yang dicopot.

Menurut Nico, pada 2015 tantangan yang dihadapi Jokowi cukup kompleks. Selain perlu menggalang dukungan parlemen untuk mendukung kebijakannya, Jokowi juga perlu melakukan reformasi birokrasi, reorganisasi, dan mengganti posisiposisi strategis seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan TNI.

Mula akmal
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0091 seconds (0.1#10.140)