Penjual Miras Diancam 15 Tahun
A
A
A
PONOROGO - Pengecer atau penjual minuman keras (miras) oplosan harus berhati- hati. Di Ponorogo, Jawa Timur, orang yang terlibat miras oplosan dikenakan pasal pidana dengan hukuman 15 tahun.
Penjualan miras oplosan yang marak di berbagai tempat tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran tindak pidana ringan (tipiring). Efek miras oplosan yang bisa mematikan menjadi pertimbangan untuk menerapkan peraturan yang tegas dan bisa menyelamatkan masyarakat. Mujiono, 48, warga Dusun Besukih, Desa/Kecamatan Sambit, Ponorogo, kedapatan menjual miras oplosan secara eceran pada Selasa (3/6) lalu.
Pria buta huruf yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas 2 SD itu kini telah menjadi tersangka dan diancam jeratan Pasal 204 ayat 1 KUHP karena menjual miras jenis arak jowo yang dicampur ginseng dan orok kijang alias cemceman ginseng- kijang. Pasal ini pada intinya mengatur perbuatan melawan hukum menjual barang-barang yang membahayakan bagi jiwa dan kesehatan orang. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.
“Kami upayakan miras, termasuk miras oplosan, hilang dari Ponorogo. Selama ini para penjual, seperti tersangka Mujiono, hanya kena pasal tipiring dan ternyata tidak memiliki efek jera,” ujar Kapolres Ponorogo AKBP Iwan Kurniawan, kemarin. AKBP Iwan menyatakan, denganhanyadikenaitipiring, para penjual miras cenderung mengulangi perbuatannya.
Penjual miras baru juga bermunculan. Tipiring yang sering dikenakan setiap kali razia miras antara lain Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36/2009. Hukumannya rata-rata denda antara Rp50.000-Rp100.000 dan hukuman percobaan hingga enam bulan penjara yang kemudian hanya menjadi wajib lapor tiap Senin dan Kamis.
Menurut AKBP Iwan, pengenaan Pasal 204 ayat 1 KUHP terhadap Mujiono tidak lepas dari analisis terhadap berbagai aturan hukum yang ada. Termasuk, rancangan perda yang telah diusulkan, tetapi tidak pernah dibahas di DPRD Kabupaten Ponorogo. “Peristiwa di Garut dan wilayah lain yang sampai merenggut nyawa, lalu berbagai tindak kriminal yang diawali konsumsi miras adalah bukti miras membahayakan,” tandasnya.
Pengenaan pasal pidana umum bagi peredaran miras di Ponorogo bisa jadi yang pertama kali diterapkan di Indonesia. Karena itu, AKBP Iwan berharap jaksa dan pengadilan lebih jeli dan mengadili kasus ini secara komprehensif. “Harapannya, vonis setimpal sesuai jeratan pasal. Putusannya bisa jadi yurisprudensi (rujukan hukum). Ke depan kalau ada penjual yang tertangkap lagi, akan dikenakan pasal ini juga biar jera,” ujarnya.
Sementara itu, Mujiono mengaku menyesal telah menyediakan miras oplosan yang kini disita polisi. Saat ditangkap, Mujiono memang memiliki satu jeriken arak jowo, belasan botol plastik kemasan 1,5 liter arak jowo, dan stoples arak jowo cemceman ginseng orok kijang. Dia berdalih, semua itu adalah obat untuk obat beberapa penyakit seperti pegal-pegal dan sakit gigi.
“Ada resep dari orang tua soal cemceman yang katanya manjur. Yang butuh biasanya nelpon saya, lalu saya antar karena saya tidak buka kios,” ujarnya. Mujiono mengaku hampir tiga tahun berjualan arak jowo dan cemceman. Dia juga sudah dua kali ditangkap polisi karena aktivitas bisnisnya itu. Pada 2011, diatertangkapdanterkena tipiring.
Hal ini terulang pada akhir 2012, juga terkena tipiring. Mujiono dihukum membayar denda Rp100.000 dan hukuman percobaan selama empat bulan. Hukuman ini dijalani sebagai hukuman percobaan wajib laportiapSenindanKamis. Sejak kemarin, berkas kasus Mujiono telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo. Dia pun langsung ditahan di Rutan Kelas II Ponorogo sambil menunggu proses hukum selanjutnya.
Dili eyato
Penjualan miras oplosan yang marak di berbagai tempat tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran tindak pidana ringan (tipiring). Efek miras oplosan yang bisa mematikan menjadi pertimbangan untuk menerapkan peraturan yang tegas dan bisa menyelamatkan masyarakat. Mujiono, 48, warga Dusun Besukih, Desa/Kecamatan Sambit, Ponorogo, kedapatan menjual miras oplosan secara eceran pada Selasa (3/6) lalu.
Pria buta huruf yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas 2 SD itu kini telah menjadi tersangka dan diancam jeratan Pasal 204 ayat 1 KUHP karena menjual miras jenis arak jowo yang dicampur ginseng dan orok kijang alias cemceman ginseng- kijang. Pasal ini pada intinya mengatur perbuatan melawan hukum menjual barang-barang yang membahayakan bagi jiwa dan kesehatan orang. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.
“Kami upayakan miras, termasuk miras oplosan, hilang dari Ponorogo. Selama ini para penjual, seperti tersangka Mujiono, hanya kena pasal tipiring dan ternyata tidak memiliki efek jera,” ujar Kapolres Ponorogo AKBP Iwan Kurniawan, kemarin. AKBP Iwan menyatakan, denganhanyadikenaitipiring, para penjual miras cenderung mengulangi perbuatannya.
Penjual miras baru juga bermunculan. Tipiring yang sering dikenakan setiap kali razia miras antara lain Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36/2009. Hukumannya rata-rata denda antara Rp50.000-Rp100.000 dan hukuman percobaan hingga enam bulan penjara yang kemudian hanya menjadi wajib lapor tiap Senin dan Kamis.
Menurut AKBP Iwan, pengenaan Pasal 204 ayat 1 KUHP terhadap Mujiono tidak lepas dari analisis terhadap berbagai aturan hukum yang ada. Termasuk, rancangan perda yang telah diusulkan, tetapi tidak pernah dibahas di DPRD Kabupaten Ponorogo. “Peristiwa di Garut dan wilayah lain yang sampai merenggut nyawa, lalu berbagai tindak kriminal yang diawali konsumsi miras adalah bukti miras membahayakan,” tandasnya.
Pengenaan pasal pidana umum bagi peredaran miras di Ponorogo bisa jadi yang pertama kali diterapkan di Indonesia. Karena itu, AKBP Iwan berharap jaksa dan pengadilan lebih jeli dan mengadili kasus ini secara komprehensif. “Harapannya, vonis setimpal sesuai jeratan pasal. Putusannya bisa jadi yurisprudensi (rujukan hukum). Ke depan kalau ada penjual yang tertangkap lagi, akan dikenakan pasal ini juga biar jera,” ujarnya.
Sementara itu, Mujiono mengaku menyesal telah menyediakan miras oplosan yang kini disita polisi. Saat ditangkap, Mujiono memang memiliki satu jeriken arak jowo, belasan botol plastik kemasan 1,5 liter arak jowo, dan stoples arak jowo cemceman ginseng orok kijang. Dia berdalih, semua itu adalah obat untuk obat beberapa penyakit seperti pegal-pegal dan sakit gigi.
“Ada resep dari orang tua soal cemceman yang katanya manjur. Yang butuh biasanya nelpon saya, lalu saya antar karena saya tidak buka kios,” ujarnya. Mujiono mengaku hampir tiga tahun berjualan arak jowo dan cemceman. Dia juga sudah dua kali ditangkap polisi karena aktivitas bisnisnya itu. Pada 2011, diatertangkapdanterkena tipiring.
Hal ini terulang pada akhir 2012, juga terkena tipiring. Mujiono dihukum membayar denda Rp100.000 dan hukuman percobaan selama empat bulan. Hukuman ini dijalani sebagai hukuman percobaan wajib laportiapSenindanKamis. Sejak kemarin, berkas kasus Mujiono telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo. Dia pun langsung ditahan di Rutan Kelas II Ponorogo sambil menunggu proses hukum selanjutnya.
Dili eyato
(bbg)