DPR Dukung Eksekusi Mati Napi Narkoba
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon tak mempersoalkan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mengatakan penolakan grasi 64 terpidana kasus narkoba bukan pelanggaran HAM.
"Oh saya setuju (dengan pernyataan Wapres JK)," kata Fadli Zon usai menghadiri acara lokakarya Hak Asasi Manusia (HAM) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (10/12/2014).
Wakil Ketua umum Partai Gerindra ini justru mengaku setuju dengan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menolak pemberian grasi kepada 64 terpidana kasus narkoba itu.
"Saya dari awal termasuk yang mendukung bahwa mereka pengedar yang sudah divonis mati itu dieksekusi. Dalam hal ini, saya mendukung Pak Jokowi," tutur Fadli Zon.
Menurut dia, keputusan Presiden Jokowi yang menolak pemberian grasi kepada 64 narapidana (napi) kasus narkoba itu tindakan yang sangat bagus.
"Kita sangat mendukung, kalau enggak salah, ada 64 orang, dan sebagian itu warga negara asing," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, para narapidana kasus narkoba itu sudah membunuh banyak warga Indonesia. Serta merusak generasi muda Indonesia dengan barang haram itu.
"Jadi menurut saya, ini sudah melalui proses hukum yang jelas, sudah inkrakh juga. Jadi kalau hukuman mati di Indonesia juga diakui. Saya kira tinggal dieksekusi. Jangan lagi uang pajak kita dikasih untuk beri makan mereka di penjara," pungkasnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Tony Tribagus Spontana mengatakan, sebanyak 20 terpidana mati tengah menunggu keputusan Presiden Jokowi terkait permohonan grasi.
"Catatan kami dari 64 orang vonis mati itu, yang sedang proses grasi 20 terpidana," ujar Tony di Kejagung, Jakarta Selatan.
Menurut Tony, Kejagung selaku eksekutor, akan mempersiapkan eksekusi putusan jika pada tahun 2015 mendatang Jokowi mengeluarkan Keppres menolak permohonan grasi ke-20 terpidana mati tersebut.
"Kita akan siapkan kembali semua aspek yuridisnya setelah turunnya grasi," ungkapnya.
Selain mempersiapkan aspek yuridis, jaksa eksekutor juga akan mempersiapkan aspek sosiologis, seperti memastikan ada tidaknya perkara lain terhadap yang bersangkutan dan memastikan kondisi kesehatan terpidana.
"Kalau perempuan, apakah tidak sedang hamil. Itu harus kita pastikan. Setelah itu kita pastikan, artinya kita akan segera tentukan tempat waktu pelaksanaanya," ujar Tony.
Tony mengatakan, untuk waktu dekat ini hanya 20 terpidana mati yang tengah menunggu grasi dari presiden.
"Yang lain belum sampai grasi, masih dalam tahap banding, kasasi, peninjauan kembali, dan bahkan masih dalam tahap yang belum menentukan sikap. Masin kita tunggu. Jadi bisa kita katakan, yang ready dalam waktu dekat ini adalah yang 20 dulu," tuturnya.
Sekadar diketahui, Belum lama ini, pemerintah menolak grasi yang diajukan 64 terpidana kasus narkoba. Menurut JK, penolakan grasi itu bukan sebuah pelanggaran HAM.
"Yang mana melanggar HAM? Bahwa semua orang harus mentaati hukum," kata Jusuf Kalla usai menghadiri acara lokakarya Hak Asasi Manusia (HAM) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
Dia menuturkan, narkoba yang justru menyebabkan kematian orang lain. "Melanggar HAM? Mana yang salah," tuturnya.
Pemberian grasi merupakan kewenangan presiden yang diberikan oleh UUD 1945, selanjutnya diatur UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana diubah UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
"Oh saya setuju (dengan pernyataan Wapres JK)," kata Fadli Zon usai menghadiri acara lokakarya Hak Asasi Manusia (HAM) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (10/12/2014).
Wakil Ketua umum Partai Gerindra ini justru mengaku setuju dengan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menolak pemberian grasi kepada 64 terpidana kasus narkoba itu.
"Saya dari awal termasuk yang mendukung bahwa mereka pengedar yang sudah divonis mati itu dieksekusi. Dalam hal ini, saya mendukung Pak Jokowi," tutur Fadli Zon.
Menurut dia, keputusan Presiden Jokowi yang menolak pemberian grasi kepada 64 narapidana (napi) kasus narkoba itu tindakan yang sangat bagus.
"Kita sangat mendukung, kalau enggak salah, ada 64 orang, dan sebagian itu warga negara asing," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, para narapidana kasus narkoba itu sudah membunuh banyak warga Indonesia. Serta merusak generasi muda Indonesia dengan barang haram itu.
"Jadi menurut saya, ini sudah melalui proses hukum yang jelas, sudah inkrakh juga. Jadi kalau hukuman mati di Indonesia juga diakui. Saya kira tinggal dieksekusi. Jangan lagi uang pajak kita dikasih untuk beri makan mereka di penjara," pungkasnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Tony Tribagus Spontana mengatakan, sebanyak 20 terpidana mati tengah menunggu keputusan Presiden Jokowi terkait permohonan grasi.
"Catatan kami dari 64 orang vonis mati itu, yang sedang proses grasi 20 terpidana," ujar Tony di Kejagung, Jakarta Selatan.
Menurut Tony, Kejagung selaku eksekutor, akan mempersiapkan eksekusi putusan jika pada tahun 2015 mendatang Jokowi mengeluarkan Keppres menolak permohonan grasi ke-20 terpidana mati tersebut.
"Kita akan siapkan kembali semua aspek yuridisnya setelah turunnya grasi," ungkapnya.
Selain mempersiapkan aspek yuridis, jaksa eksekutor juga akan mempersiapkan aspek sosiologis, seperti memastikan ada tidaknya perkara lain terhadap yang bersangkutan dan memastikan kondisi kesehatan terpidana.
"Kalau perempuan, apakah tidak sedang hamil. Itu harus kita pastikan. Setelah itu kita pastikan, artinya kita akan segera tentukan tempat waktu pelaksanaanya," ujar Tony.
Tony mengatakan, untuk waktu dekat ini hanya 20 terpidana mati yang tengah menunggu grasi dari presiden.
"Yang lain belum sampai grasi, masih dalam tahap banding, kasasi, peninjauan kembali, dan bahkan masih dalam tahap yang belum menentukan sikap. Masin kita tunggu. Jadi bisa kita katakan, yang ready dalam waktu dekat ini adalah yang 20 dulu," tuturnya.
Sekadar diketahui, Belum lama ini, pemerintah menolak grasi yang diajukan 64 terpidana kasus narkoba. Menurut JK, penolakan grasi itu bukan sebuah pelanggaran HAM.
"Yang mana melanggar HAM? Bahwa semua orang harus mentaati hukum," kata Jusuf Kalla usai menghadiri acara lokakarya Hak Asasi Manusia (HAM) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
Dia menuturkan, narkoba yang justru menyebabkan kematian orang lain. "Melanggar HAM? Mana yang salah," tuturnya.
Pemberian grasi merupakan kewenangan presiden yang diberikan oleh UUD 1945, selanjutnya diatur UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana diubah UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
(maf)