Keseimbangan Surga Dunia

Minggu, 23 November 2014 - 11:39 WIB
Keseimbangan Surga Dunia
Keseimbangan Surga Dunia
A A A
Semilir angin langsung menyapa dan menyegarkan tubuh saat memasuki halaman rumah Partner Kantor Akuntan Publik (KAP) Price Waterhouse Cooper Indonesia M Jusuf Wibisana.

Kicauan burung yang terbang bebas semakin menambah keasrian hunian di Jalan Regulus No 9, Kelurahan Telogomas, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur.

Keasrian dan keindahan alam di lingkungan rumah tersebut semakin lengkap dengan sikap ramah sang pemilik rumah.

Padatnya jadwal pekerjaan sebagai akuntan publik di sebuah perusahaan jasa akuntansi dan konsultasi tidak melunturkan sifat kekeluargaan dan keramahan Jusuf sebagai ciri khas anak Nusantara. Hunian megah yang berdiri di atas lahan seluas 13.000 meter persegi (m2) ini, menurut Jusuf, dibangun sebagai rumah tumbuh.

”Rumahnya tumbuh karena terus coba dikembangkan ke samping dan ke belakang,” ujar pria lulusan jurusan Akuntansi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini. Kompleks rumah ini awalnya tidak memiliki lahan seluas yang ada sekarang. Saat pertama kali dibangun pada tahun 1991, hanya ada rumah induk. Setelah itu terus dikembangkan lewat pembelian lahan persawahan yang ada di sekitarnya.

Lahan kompleks rumah ini terbelah oleh aliran Sungai Brantas. Satu bagian di sisi selatan dengan luas sekitar 7.000 m2, sementara bagian lain seluas 6.000 m2 berada di sisi utara Sungai Brantas. Meski Jusuf adalah seorang akuntan yang selalu bergelut dengan angka dan kepastian hitungan keuangan, tapi saat berada di kawasan rumah, ia tidak terkesan kaku.

Sikapnya terasa hangat, layaknya berada di rumah-rumah petani di pedesaan yang penuh rasa kekeluargaan. Area persawahan dan pohonpohon besar yang ada di lahan tersebut masih tetap dipertahankan oleh Jusuf. Kawasan persawahan ini terus dikembangkan dan dijadikan halaman rumahnya.

”Saya lahir dari desa di pinggiran Kabupaten Kediri, yang berbatasan dengan Kabupaten Blitar. Saya cinta semua kehidupan petani, juga sawah dan padi. Makanya, semua saya pertahankan menjadi satu kesatuan di rumah ini,” tuturnya. Jusuf mengaku tidak menerapkan konsep khusus dalam membangun rumah ini. Tetapi, satu yang pasti, rumah yang dibangunnya harus dekat dengan alam.

Konsep dekat dengan alam yang diterjemahkan sebagai bentuk cinta kelestarian alam itu diwujudkan dengan didirikannya kawasan rumah yang lebih banyak mengadopsi ruang terbuka hijau. Antara sawah, kebun, pohon, dan rumah menyatu dalam keserasian. Kompleks rumah anggota Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini terdiri dari empat bangunan utama, yakni Rumah Induk; Rumah Joglo Limasan; Rumah Joglo Pakudusan; dan Rumah Lumbung.

Di antara bangunan- bangunan rumah utama tersebut, selain persawahan dan pepohonan, juga terdapat dua kolam renang yang memanfaatkan sumber air alami yang mengalir di sekitarnya. Kondisi kontur tanah yang berpadu antara bentuk bukit dan lembah dimanfaatkan Jusuf untuk menata bangunan rumah sehingga tidak menjemukan dan selaras dengan alam.

Rumah induk yang dibangun tahun 1991 dan berada di bagian atas dijadikan pintu utama. Sementara, tiga rumah utama lain, berdiri di kawasan lembah yang menyatu dengan area persawahan. Pria yang kini juga menjabat Ketua Dewan Standar Akuntansi Syariah ini menyebutkan, Rumah Joglo Limasan merupakan ciri khas rumah dari Yogyakarta. Rumah ini sudah berusia ratusan tahun dan dibeli secara utuh dari daerah asalnya.

Rumah yang seluruh dinding dan rangkanya terbuat dari kayu jati tersebut bisa dibuka seluruh dindingnya menjadi rumah terbuka. Sementara, Rumah Joglo Pakudusan, menurut Jusuf, merupakan perwakilan dari daerah pesisir utara Jawa.

”Bentuknya lebih kokoh, dan setiap dindingnya memiliki ukiran-ukiran tiga dimensi yang sangat rumit serta detail. Rumah ini bekas milik saudagar, kami beli, lalu kami dirikan kembali di sini,” ujar Jusuf. Penyuka barang antik ini menjelaskan, Rumah Lumbung sengaja didirikan di tengah area persawahan untuk semakin menguatkan warna agraris di kompleks rumah ini.

Bukan hanya bangunan yang merupakan bangunan klasik Jawa, tetapi seluruh perabotnya juga merupakan barang antik. ”Seperti dipan dan almari, semua merupakan benda kuno. Kami sempat kesulitan mencarikan kasur untuk dipan-dipan itu, karena ukurannya tidak sama,” ungkap Jusuf. Bapak tiga anak yang sempat menjabat Ketua Dewan Standar Akuntansi Indonesia periode 2001-2009 ini juga merupakan penggemar segala jenis musik, terutama musik klasik Jawa.

Makanya, di Rumah Joglo Pakudusan sengaja dibuat ruang khusus untuk gamelan Jawa. Ruangan ini selalu digunakan untuk beramah-tamah saat menjamu tamu. ”Rasanya menenteramkan kalau sudah mendengarkan alunan gamelan,” ujar Jusuf. ”Hidup butuh keseimbangan. Selama lima hari kerja di Jakarta, sudah banyak kepadatan dan kepenatan yang dilalui.

Di akhir pekan waktunya kembali ke rumah di Kota Malang untuk beristirahat, berkumpul dengan keluarga, menyatu dengan alam melalui bertani, serta menikmati alunan gamelan,” sambungnya. Rumah bagi Jusuf menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupnya.

Bahkan, dia menganut pemahaman baitii jannatii , yang artinya rumahku adalah surgaku. Rumah yang menyatu dengan alam ini selalu membuat Jusuf kangen untuk pulang.

Yuswantoro
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2458 seconds (0.1#10.140)