Republik Wayang Sindir Politisi

Minggu, 16 November 2014 - 09:02 WIB
Republik Wayang Sindir Politisi
Republik Wayang Sindir Politisi
A A A
Pementasan Teater Koma produksi ke-136 berjudul Republik Cangik menyajikan tontonan sarat pesan dunia politik di Indonesia saat ini. Sebuah tontonan yang menyentil sekaligus menghibur dengan sudut pandang khas Teater Koma.

Apa yang dibutuhkan rakyat? Kemerdekaan yang menyatukan /Kemerdekaan yang merdeka/Kemerdekaan yang merdeka/ Rakyatlah penentu kehidupan.

Pesan tersebut dinyanyikan seluruh wayang di Republik Cangik. Pesan yang menyentil sebagaimana harapan rakyat selama ini. Adalah Cangik tokoh wayang yang dalam lakon ini mewakili kaum perempuan berpengaruh merasa punya andil untuk memilih calon Maharaja Suranesia yang mangkat tiba-tiba. Tahta negara yang juga dikenal sebagai Old Mandura itu harus segera diisi dengan memilih memimpin baru.

Cangik yang diberi wewenang untuk mencari calon maharaja kebingungan. Hingga akhirnya dia mengundang tokoh wayang berpengaruh seperti Gatotkaca, Semar, Batara Narada, hingga tokoh setan, Pramoni, untuk menjadi juri mencari calon maharaja. Ringkas cerita, enam calon akhirnya ikut mendaftar, Santunu Garu, Dundung Bikung, Burama-rama, Graito Bakari, Binanti Yugama, dan Jaka Wisesa.

Namun, setelah mereka melakukan fit and propertest, empat calon mundur, hingga dua calon Jaka Wisesa dan Santunu Guru bertarung memperebutkan kursi maharaja. Dalam pencarian Maharaja Old Mandura inilah kisah berjalan semakin menarik. Sentilan demi sentilan terlontar menyinggung situasi politik saat ini. Persoalan demi persoalan disampaikan dalam satir yang kerap membuat gelak tawa.

Bagaimana perilaku anggota Dewan yang kerap mengatasnamakan rakyat justru saling berebut kekuasaan digambarkan Teater Koma dengan simbol puluhan monyet yang saling berkelahi. Ironisnya, monyetmonyet politik ini pada dasarnya memang menentukan nasib bangsa ke depan lewat aturan- aturan yang mereka buat.

Dari sisi kemasan, sutradara Teater Koma Nano Riantiarno semakin kaya menghadirkan cerita dan musikalitas. Beberapa aktor senior seperti Rita Matu Mona (Cangik), Tuti Hartati (Limbuk), Budi Ros (Jaka Wisesa), Subarkah (Burama-rama) masih mampu menghidupkan pentas dengan akting prima dan guyonan yang disajikan baik lewat dialog kata-kata dan mimik gerakan mereka.

Aktoraktor muda yang terlibat juga tampil cukup apik membuat keseluruhan pertunjukan menjadi lebih berwarna. Lewat lakon istimewa ini, Nano Riantiarno seperti ingin mengajak semua penonton untuk berpikir mau dibawa ke mana masa depan bangsa Indonesia ini. Tak ketinggalan terselip pula sebuah pertanyaan dan refleksi bagi kita untuk melihat diri secara jujur.

Pesan yang disampaikan Nano lewat pertunjukan yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta 13-22 November 2014 ini tersampaikan melalui naskah yang mengalir dan membuat gelak tawa. Apa harapan dan keinginan rakyat, mereka sajikan melalui simbol dan lagu dalam pertunjukan ini.

Semar Mendem

Sementara itu, kisah dalam pewayangan juga coba diangkat oleh trio Butet Kertaredjasa selaku produser dan Agus Noor serta Bre Redana selaku penulis naskah yang mengangkat kisah Semar Mendem yang digelar Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 7-8 November 2014.

Pertunjukan Semar Mendemini bisa dikatakan bentuk kesenian hibrida antara ketoprak dan drama dan musik yang hidup di zaman populer. Secara kritis dan cerdas, trio Butet Kertaredjasa selaku produser Agus Noor dan Bre Redan selaku penulis naskah mampu mengemas pentas teater ini memasukan unsur kekinian ke dalam sebuah lakon yang segar dan tak menggurui yang membuat kita sadar tentang betapa ruwetnya apa yang telah terjadi saat ini, tentu dalam konteks etika dan iklim politik dan sosial.

Semar Mendem secara garis besar menceritakan kemelut masapemiluterutamasaatmasa kampanye. Cerita dibuat seolah menggambarkan berbagai kisah rivalitas antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo memperebutkan kursi presiden. Janganlah Anda membayangkan pentas ini disajikan dalam bentuk serius formal.

Segala sesuatu dalam Semar Mendem ini sifatnya plesetan, guyon, dan penuh dengan canda tawa yang mengocok perut penonton. Meski tersegmentasi dari segi gaya bahasa yang digunakan karena menggunakan bahasa Jawa tetap saja pesan dan alur cerita dapat dicerna dengan baik oleh penonton.

Inovasi yang baik dilakukan oleh rombongan Semar Mendemdengan memadukan unsur musik modern yang menggunakan beat-boxsebagai musik pengiring, juga penampilan Jogja Hip-hop Foundation yang membuat lakon ini tampak sebagai drama musikal. Semar merupakan tokoh dalam pewayangan yang sudah sangat mendarah daging dalam tradisi Jawa di mana dia ayah dari Petruk, Bagong, dan Gareng.

Banyak tafsir mengenai tokoh Semar dalam dunia pewayangan, namun pada lakon Semar Mendem ini dikisahkan Semar adalah sosok dewa yang sakti. Saking saktinya, dalam pentas ini Semar mengendarai Lamborghini dan terkadang truk.

Secara umum, lakon Semar Mendem dan Republik Cangik adalah contoh sukses masyarakat zaman sekarang menyikapi tradisi dalam kemasan yang segar dan menarik. Budaya terus berkembang dari zaman ke zaman, tradisi tidak melulu dikemas sama persis seperti zaman dulu, tetapi mampu menyesuaikan kondisi tiap zamannya.

Ketika semua orang menyadari hal itu, pentas teater maupun seni tradisi lainnya yang terinspirasi dari wayang akan menjadi pertunjukkan yang menyenangkan untuk ditonton. Lebih jauh dari itu, industri seni kreatif di Indonesia dapat tumbuh dan menjadi ekosistem yang ideal.

Sofiandwi/ Thomasmanggalla
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4546 seconds (0.1#10.140)