Serba-Rupa Sei Mahakam
A
A
A
Festival Budaya Sei Mahakam yang digelar selama sepuluh hari, yakni 6-16 November di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) seolah hendak memuaskan dahaga pengunjung yang begitu haus dengan beragam informasi di sepanjang Sungai Mahakam, Kalimantan.
Sungai (dalam bahasa Dayak Kutai: sei ) Mahakam. Dua nama yang memiliki daya magis tersendiri. Identitasnya terletak pada Sungai Mahakam yang begitu panjang, yakni sekitar 920 kilometer serta bumbu-bumbu cerita di sepanjang sungai itu.
Salah satunya, keberadaan buaya yang sudah menjadi sosok misterius yang begitu ditakuti. Begitu pun pernak pernik kehidupan budaya Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Suku Pedalaman (Suku Dayak), dan Suku Pesisir (Suku Kutai), tersaji di festival ini. Dimulai di gedung tengah dari pintu masuk, pengunjung akan disambut dengan sederetan ciri khas kehidupan di sepanjang Sungai Mahakam.
Lihat saja dua hewan buas buaya yang sangat terkenal, yakni buaya sangatta dan muara badak yang telah diawetkan. Keduanya dipamerkan tepat di depan gambar Sungai Mahakam yang cukup besar. Koleksi Museum Kayu milik Pemerintah Kabupaten (pemkab) Kutai Kartanegara ini khusus dibawa ke Jakarta untuk dipamerkan. Bahkan kebenaran tentang buaya monster sangatta yang memakan korban perempuan bernama Ny. Hairani pada 1996 silam pun ikut ditampilkan.
Dalam satu frame yang terletak di pojok kanan, tepat di sebelah dua buaya ganas itu, terlihat banyak berita yang mengupas tentang tragedi buaya pemakan manusia itu. Masih di ruangan yang sama, dipamerkan pula berbagai benda yang berkaitan dengan sejarah. Seperti Prasasti Yupa, Yupa II, Yupa III, Yupa IV yang memiliki tinggi 134 senti-meter- 188 sentimeter. Ada pula Arca Wajrapani, Nandiswara, dan berbagai bentuk guci.
Di pamerkan pula pada acara ini foto istana kerajaan beserta foto sang raja, Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XX Haji Adji Muhammad Salehoeddin II, Raja ini tercatat sebagai raja ke-20, yakni dari 2002 hingga sekarang. Silsilah kerajaan yang ada di sana pun diurai di ajang ini. Ada Kerajaan Sandurangas (berdiri sekitar abad XV Masehi), Berau (berdiri sekitar abad XV Masehi), Sambaliung (berdiri sekitar abad XVII Masehi), dan Kesultanan Bulungan (berdiri sekitar abada XVII Masehi).
Tak ketinggalan tradisi rakyat biasa pun ditampilkan. Seperti ayunan bagi bayi, yang di bawahnya disajikan pisang dan beberapa makanan sebagai sajen. Kemudian, timbangan bayi yang digunakan untuk upacara menimbang bayi setelah bayi berumur 40 hari yang lahir pada bulan Sapar.
Di gedung sebelah kiri dari pintu masuk BBJ, khusus dipamerkan untuk berbagai macam hasil tangan masyarakat asli Kutai Kertanegara, berbagai anyaman yang terbuat dari pandan hutan dan rotan seperti solong atau tempat diletakkannya benih padi untuk kemudian ditabur di atas tanah. tas, tempat gendongan bayi, tikar, tempat tisu, ikat pinggang, dan masih banyak lagi.
Tak hanya dipamerkan, pengunjung yang ingin memilikinya pun bisa membawanya pulang dengan cara membeli, sehingga tidak perlu bersusah payah ke te,pat pembuatannya. Cara ini sekaligus merangsang masyarakat lokal untuk terus membuat karya-karya tradisional, sehingga tak akan hilang digerus waktu. Khusus di gedung sebelah kanan dari pintu masuk BBJ, berbagai kehidupan yang terkait dengan mata pencarian masyarakat lokal juga ikut diperlihatkan. Nelayan dan pekebun, berbagai bentuk alat penangkapikan, jaladanjaring, dan alat penangkap ikan tradisional.
Sebut saja alat bernama bubu, yakni alat yang berfungsi menangkap ikan di rawa-rawa. empang, alat berbentuk segi empat panjang yang terbuat dari bambu, diraut dan kemudian dijalin dengan rotan. Fungsinya sebagai pelengkap tokong untuk menaring ikan. Lalu ladong untuk memancing udang. Perahu yang digunakan nelayan pun terlihat di tengah ruangan.
Foto-foto dalam ukuran lumayan besar yang menampilkan hasil perkebunan. Ada pohon lai (durio kutejensis ), pohon buah todak atau cempedak, lalu kebun buah tradisional rondong, serta pohon buah wanyi. Tak ketinggalan berbagai peralatan dapur dan peralatan makan seperti gelas obat, cobek (bahasa Kuta: cowek), ceret, teko, ember atau timba, serok, nampan atau baki. Tak lupa juga hasil kayu yang banyak dikenal seperti kayu bengkirai, ulin, sungkai, kapur, dan marwali.
Lestarikan Budaya Anyaman
Chairman Yayasan Total Indonesia Eddy Mulyadi mengatakan, program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/ CSR) TOTAL E&P INDONESIE ini memang dibuat sedemikian rupa agar bisa merangkul semua kalangan masyarakat di sepanjang Sungai Mahakam.
”Kami ingin festival seperti ini bisa melestarikan budaya anyam menganyam di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Melestarikan budaya di sekitar keraton juga,” ungkapnya. Eddy ingat betul jika langkah awal untuk mengumpulkan masyarakat lokal untuk membuat karya tradisional tidaklah gampang. Terlebih, kebanyakan dari mereka adalah kelompok yang sudah berusia cukup tua, sedangkan kalangan mudanya terlihat tidak begitu tertarik. Namun dengan tekad kuat, sejak Mei lalu rencana ini terus diusahakan dan dilakukan.
Festival ini cukup besar, karena diisi berbagai kegiatan seperti seminar, demo masakan, peragaan busana daerah, pertunjukan teater, tarian, dan masih banyak lagi. Menteri Sekretaris Keraton Kutai Kertanegara H.A.P.M. Haryanto Bachroel yang bergelar Pangeran Harry Gondo Prawiro menegaskan, jika kita sebagai bangsa Indonesia tidak bisa mempertahankan jati diri negara, bisa saja budaya negara lain masuk dengan begitu mudahnya.
”Bisa saja kebudayaan Korea dengan lampu-lampunya itu masuk begitu saja, jadi kami bukan saja mengurus masalah politik, tapi juga mempertahankan budaya Indonesia,” urainya. Bagi seorang perajin di hulu Mahakam, Sesilia Tipung, menumbuhkan kesadaran generasi muda untuk mencintai dan menghidupkan kembali kebudayaan lokal seperti anyaman tidaklah mudah.
Namun, berbekal moto ”jika bukan kita siapa lagi, jika bukan sekarang kapan lagi”, wanita 24 tahun ini gigih mengajar anak sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) untuk tujuan mulia itu.
Susi susanti
Sungai (dalam bahasa Dayak Kutai: sei ) Mahakam. Dua nama yang memiliki daya magis tersendiri. Identitasnya terletak pada Sungai Mahakam yang begitu panjang, yakni sekitar 920 kilometer serta bumbu-bumbu cerita di sepanjang sungai itu.
Salah satunya, keberadaan buaya yang sudah menjadi sosok misterius yang begitu ditakuti. Begitu pun pernak pernik kehidupan budaya Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Suku Pedalaman (Suku Dayak), dan Suku Pesisir (Suku Kutai), tersaji di festival ini. Dimulai di gedung tengah dari pintu masuk, pengunjung akan disambut dengan sederetan ciri khas kehidupan di sepanjang Sungai Mahakam.
Lihat saja dua hewan buas buaya yang sangat terkenal, yakni buaya sangatta dan muara badak yang telah diawetkan. Keduanya dipamerkan tepat di depan gambar Sungai Mahakam yang cukup besar. Koleksi Museum Kayu milik Pemerintah Kabupaten (pemkab) Kutai Kartanegara ini khusus dibawa ke Jakarta untuk dipamerkan. Bahkan kebenaran tentang buaya monster sangatta yang memakan korban perempuan bernama Ny. Hairani pada 1996 silam pun ikut ditampilkan.
Dalam satu frame yang terletak di pojok kanan, tepat di sebelah dua buaya ganas itu, terlihat banyak berita yang mengupas tentang tragedi buaya pemakan manusia itu. Masih di ruangan yang sama, dipamerkan pula berbagai benda yang berkaitan dengan sejarah. Seperti Prasasti Yupa, Yupa II, Yupa III, Yupa IV yang memiliki tinggi 134 senti-meter- 188 sentimeter. Ada pula Arca Wajrapani, Nandiswara, dan berbagai bentuk guci.
Di pamerkan pula pada acara ini foto istana kerajaan beserta foto sang raja, Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XX Haji Adji Muhammad Salehoeddin II, Raja ini tercatat sebagai raja ke-20, yakni dari 2002 hingga sekarang. Silsilah kerajaan yang ada di sana pun diurai di ajang ini. Ada Kerajaan Sandurangas (berdiri sekitar abad XV Masehi), Berau (berdiri sekitar abad XV Masehi), Sambaliung (berdiri sekitar abad XVII Masehi), dan Kesultanan Bulungan (berdiri sekitar abada XVII Masehi).
Tak ketinggalan tradisi rakyat biasa pun ditampilkan. Seperti ayunan bagi bayi, yang di bawahnya disajikan pisang dan beberapa makanan sebagai sajen. Kemudian, timbangan bayi yang digunakan untuk upacara menimbang bayi setelah bayi berumur 40 hari yang lahir pada bulan Sapar.
Di gedung sebelah kiri dari pintu masuk BBJ, khusus dipamerkan untuk berbagai macam hasil tangan masyarakat asli Kutai Kertanegara, berbagai anyaman yang terbuat dari pandan hutan dan rotan seperti solong atau tempat diletakkannya benih padi untuk kemudian ditabur di atas tanah. tas, tempat gendongan bayi, tikar, tempat tisu, ikat pinggang, dan masih banyak lagi.
Tak hanya dipamerkan, pengunjung yang ingin memilikinya pun bisa membawanya pulang dengan cara membeli, sehingga tidak perlu bersusah payah ke te,pat pembuatannya. Cara ini sekaligus merangsang masyarakat lokal untuk terus membuat karya-karya tradisional, sehingga tak akan hilang digerus waktu. Khusus di gedung sebelah kanan dari pintu masuk BBJ, berbagai kehidupan yang terkait dengan mata pencarian masyarakat lokal juga ikut diperlihatkan. Nelayan dan pekebun, berbagai bentuk alat penangkapikan, jaladanjaring, dan alat penangkap ikan tradisional.
Sebut saja alat bernama bubu, yakni alat yang berfungsi menangkap ikan di rawa-rawa. empang, alat berbentuk segi empat panjang yang terbuat dari bambu, diraut dan kemudian dijalin dengan rotan. Fungsinya sebagai pelengkap tokong untuk menaring ikan. Lalu ladong untuk memancing udang. Perahu yang digunakan nelayan pun terlihat di tengah ruangan.
Foto-foto dalam ukuran lumayan besar yang menampilkan hasil perkebunan. Ada pohon lai (durio kutejensis ), pohon buah todak atau cempedak, lalu kebun buah tradisional rondong, serta pohon buah wanyi. Tak ketinggalan berbagai peralatan dapur dan peralatan makan seperti gelas obat, cobek (bahasa Kuta: cowek), ceret, teko, ember atau timba, serok, nampan atau baki. Tak lupa juga hasil kayu yang banyak dikenal seperti kayu bengkirai, ulin, sungkai, kapur, dan marwali.
Lestarikan Budaya Anyaman
Chairman Yayasan Total Indonesia Eddy Mulyadi mengatakan, program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/ CSR) TOTAL E&P INDONESIE ini memang dibuat sedemikian rupa agar bisa merangkul semua kalangan masyarakat di sepanjang Sungai Mahakam.
”Kami ingin festival seperti ini bisa melestarikan budaya anyam menganyam di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Melestarikan budaya di sekitar keraton juga,” ungkapnya. Eddy ingat betul jika langkah awal untuk mengumpulkan masyarakat lokal untuk membuat karya tradisional tidaklah gampang. Terlebih, kebanyakan dari mereka adalah kelompok yang sudah berusia cukup tua, sedangkan kalangan mudanya terlihat tidak begitu tertarik. Namun dengan tekad kuat, sejak Mei lalu rencana ini terus diusahakan dan dilakukan.
Festival ini cukup besar, karena diisi berbagai kegiatan seperti seminar, demo masakan, peragaan busana daerah, pertunjukan teater, tarian, dan masih banyak lagi. Menteri Sekretaris Keraton Kutai Kertanegara H.A.P.M. Haryanto Bachroel yang bergelar Pangeran Harry Gondo Prawiro menegaskan, jika kita sebagai bangsa Indonesia tidak bisa mempertahankan jati diri negara, bisa saja budaya negara lain masuk dengan begitu mudahnya.
”Bisa saja kebudayaan Korea dengan lampu-lampunya itu masuk begitu saja, jadi kami bukan saja mengurus masalah politik, tapi juga mempertahankan budaya Indonesia,” urainya. Bagi seorang perajin di hulu Mahakam, Sesilia Tipung, menumbuhkan kesadaran generasi muda untuk mencintai dan menghidupkan kembali kebudayaan lokal seperti anyaman tidaklah mudah.
Namun, berbekal moto ”jika bukan kita siapa lagi, jika bukan sekarang kapan lagi”, wanita 24 tahun ini gigih mengajar anak sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) untuk tujuan mulia itu.
Susi susanti
(ars)