Teladan dari Pemerintah Jepang
A
A
A
JEPANG - Mengundurkan diri merupakan tradisi lama di Jepang yang masih eksis hingga kini. Jika Anda melakukan kesalahan atau sesuatu hal berjalan di luar kendali, Anda yang bertanggung jawab, maka Anda harus mengundurkan diri.
Mengambil tanggung jawab dan mengundurkan diri merupakan pilihan suci bagi politisi di Jepang. Selain itu, mengundurkan diri juga sebagai ”harga mati”.
Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe diguncang dengan pengunduran diri dua menteri perempuannya. Itu terjadi dalam waktu yang bersama. Menteri Kehakiman Jepang Midori Matsushima mengundurkan diri hanya beberapa jam setelah Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Perindustrian Yuko Obuchi meletakkan jabatannya.
Popularitas Abe mengalami penurunan sejak beberapa bulan terakhir. Popularitasnya juga semakin menurun seiring dengan isu pengunduran diri dua menteri itu. Dukungan terhadap kabinet Abe dari Partai Demokrat Liberal (LDP) juga mengalami penurunan sebanyak 6,8% menjadi 48,1%.
Midori Matsushima mengundurkan diri karena pihak partai oposisi menuduh dirinya melakukan pelanggaran dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Perempuan berusia 58 tahun itu diduga melanggar Undang- Undang Pemilu karena membagikan kipas kertas atau uchiwa yang berisi pencitraan dan kebijakankebijakan dirinya pada sebuah festival bersamaan dengan kampanye. Pemberian kipas kertas itu dianggap sebagai praktik pembelian suara.
Adapun Yuko Obuchi mengundurkan diri atas tuduhan menyalahgunakan dana politik. Putri mantan PM Keizo Obuchi itu menggunakan dana politik 10 juta yen atau Rp1,15 miliar untuk membeli kosmetik, aksesori, dan bajubaju desainer ternama. Gaya hidup mewah merupakan hal yang tidak lazim bagi politisi di Jepang. Mereka harus menjadi teladan bagi rakyatnya.
Tak kalah menghebohkan, perempuan berusia 40 tahun itu menggunakan dana politik untuk membayar tiket bioskop para pendukungnya senilai 26 juta yen atau Rp3 miliar. Skandal itu berlangsung selama lima tahun hingga 2012. Oposisi menuding Obuchi menggunakan langkah itu untuk membeli suara konstituen. ”Sebagai menteri perekonomian, perdagangan, dan industri, saya tidak boleh menghambat lahirnya kebijakan- kebijakan untuk sektor ekonomi dan energi karena sibuk mengurusi masalah saya,” kata Obuchi.
Ambisi Obuchi untuk menjadi PM Jepang seperti ayahnya pun kandas. Padahal, dia diprediksi banyak politisi dan analis akan menjadi PM di masa mendatang. Apalagi, selama ini dia selalu menjadi politisi LDP yang bersinar.
Pengunduran diri keduanya menjadi tantangan terbesar bagi Abe yang ingin meningkatkan peranan wanita dalam pemerintahannya. Tak lepas tanggung jawab, Abe juga mengaku bertanggung jawab atas pengunduran diri kedua menterinya. ”Saya yang menunjuk mereka berdua. Sebagai perdana menteri, saya bertanggung jawab dan saya sangat menyesal atas situasi ini,” kata Abe, dikutip Reuters.
Sebenarnya Matsushima dan Obuchi diangkat dalam kabinet pada September lalu, sebagai bagian dari upaya perombakan untuk memberi peran lebih besar kepada perempuan. Abe ingin menciptakan sejarah karena mengangkat lima perempuan menjadi menteri dalam kabinetnya. Itu merupakan pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan di Jepang. Bahkan, Abe juga berambisi kalau perempuan dapat menduduki 30% posisi kepemimpinan pada 2020.
Skandal kabinet Abe bukan hanya berhenti terhadap keduanya. Menteri perempuan lainnya, yakni Menteri Hubungan Domestik Sanae Takaichi dan Menteri untuk Isu Penculikan Eriko Yamatani juga terlibat skandal. Mereka dituding melakukan pelanggaran karena telah berfoto dengan pemimpin neo- Nazi Jepang yang pernah berpidato menyindir warga Korea yang tinggal di Jepang. Takaichi dan Yamatani diperkirakan tinggal menghitung hari menjadi menteri di kabinet Abe.
Oposisi dan Media Selalu Ditakuti
Partai oposisi Jepang, DPJ (Partai Demokratik Jepang), memainkan peranan penting dibalik pengunduran diri dua menteri kabinet Abe itu. Ternyata, DPJ memainkan kesalahan yang dilakukan anggota kabinet Abe itu untuk menggoyang pemerintahan. DPJ merupakan pihak yang mengajukan laporan kriminal kepada kepolisian dan kejaksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman Midori Matsushima. Selama ini, mereka selalu fokus pada skandal yang membelit anggota kabinet Abe. Strategi yang dilakukan DPJ itu mampu meningkatkan posisi partai oposisi itu.
Popularitas DPJ mengalami peningkatan cukup drastis menjadi 8,1% dari 4,7%. ”Ini hanya masalah waktu sebelum DPJ mulai menemukan gigi mereka lagi di Diet (Majelis Tinggi Parlemen Jepang),” kata analis politik Jepang, Teruhisa Muramatsu, kepada kantor berita China, Xinhua. DPJ, kata dia, akan memiliki pengaruh yang besar ketika kabinet Abe mengajukan undang-undang yang bertentangan dengan kepentingan partai oposisi dan bangsa.
Menurut Muramatsu, permainan yang dilakukan oleh DPJ itu merupakan tantangan dan gangguan bagi PM Abe. Itu akan menimbulkan kesan kalau terdapat ketidakpercayaan terhadap rezim Abe dari publik. Oposisi ingin menggiring opini masyarakat kalau Abe memang tidak cakap dalam memilih menteri barunya. ”PM Abe juga tidak akan melakukan serangan balasan kepada partai oposisi karena memiliki posisi yang melemah,” tuturnya.
Selain oposisi ditakuti oleh pemerintah yang berkuasa, publik Jepang juga memberikan pengawasan yang sangat ketat terhadap menteri dan PM. Publik Jepang bukan orang yang awam dalam berpolitik. Mereka menginginkan politisi yang bersih dan bekerja untuk rakyat. Selain rakyat dan oposisi, mediamedia Jepang juga sangat ditakuti karena memberikan pengawasan yang objektif. Berita media Jepang kerap memberikan pengaruh kepada publik. Tekanan media Jepang terkadang membuat politisi Jepang tak banyak berkutik dan harus mengundurkan diri.
Mengundurkan Diri, Demokrasi Ala Jepang
Budaya mengundurkan diri bukan hanya pada strata menteri. Ada beberapa perdana menteri (PM) Jepang yang pernah mengundurkan diri. Mereka adalah PM Naoto Kan yang mengundurkan diri akibat penanganan pascagempa bumi dan tsunami yang memicu krisis nuklir di Jepang pada 2010. Kemudian, PM Jepang Shinzo Abe pada 2007, PM Taro Aso pada 2008, PM Yasuo Fukuda pada 2008, dan PM Yukio Hatoyama pada 2010.
Ketidakpopuleran mereka dan rendahnya tingkat dukungan publik kerap menjadikan alasan mereka mengundurkan, selain karena kegagalan program dan skandal politik. Maka menciptakan sebuah rumus baku dalam perpolitikan di Jepang, siapa pun politisi yang tidak populer, dia harus mengundurkan diri. Pola itu telah melekat dan menjadi sikap yang melekat pada perpolitikan di Jepang.
Berbeda dengan politik di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa serta Asia Tenggara, ketika para pemimpinnya terdegradasi popularitasnya, mereka tidak memilih mengundurkan diri. Seperti Presiden Ronald Reagan awal 1980-an, Bill Clinton awal 1990-an, George W Bush pada 2006, dan Presiden Barack Obama pada 2010.
Pertanyaan mengapa gaya politik di Jepang berbeda? Kenapa banyak politisi Jepang melemparkan topinya ketika mereka menghadapi skandal atau programnya tak terselesaikan dengan baik? Ternyata politisi Jepang memiliki stereotipe yang mengutamakan kehormatan, menyelamatkan harga diri, dan menghargai budaya Jepang. Mengundurkan diri merupakan budaya bagi warga Jepang.
Andika hendra m
Mengambil tanggung jawab dan mengundurkan diri merupakan pilihan suci bagi politisi di Jepang. Selain itu, mengundurkan diri juga sebagai ”harga mati”.
Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe diguncang dengan pengunduran diri dua menteri perempuannya. Itu terjadi dalam waktu yang bersama. Menteri Kehakiman Jepang Midori Matsushima mengundurkan diri hanya beberapa jam setelah Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Perindustrian Yuko Obuchi meletakkan jabatannya.
Popularitas Abe mengalami penurunan sejak beberapa bulan terakhir. Popularitasnya juga semakin menurun seiring dengan isu pengunduran diri dua menteri itu. Dukungan terhadap kabinet Abe dari Partai Demokrat Liberal (LDP) juga mengalami penurunan sebanyak 6,8% menjadi 48,1%.
Midori Matsushima mengundurkan diri karena pihak partai oposisi menuduh dirinya melakukan pelanggaran dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Perempuan berusia 58 tahun itu diduga melanggar Undang- Undang Pemilu karena membagikan kipas kertas atau uchiwa yang berisi pencitraan dan kebijakankebijakan dirinya pada sebuah festival bersamaan dengan kampanye. Pemberian kipas kertas itu dianggap sebagai praktik pembelian suara.
Adapun Yuko Obuchi mengundurkan diri atas tuduhan menyalahgunakan dana politik. Putri mantan PM Keizo Obuchi itu menggunakan dana politik 10 juta yen atau Rp1,15 miliar untuk membeli kosmetik, aksesori, dan bajubaju desainer ternama. Gaya hidup mewah merupakan hal yang tidak lazim bagi politisi di Jepang. Mereka harus menjadi teladan bagi rakyatnya.
Tak kalah menghebohkan, perempuan berusia 40 tahun itu menggunakan dana politik untuk membayar tiket bioskop para pendukungnya senilai 26 juta yen atau Rp3 miliar. Skandal itu berlangsung selama lima tahun hingga 2012. Oposisi menuding Obuchi menggunakan langkah itu untuk membeli suara konstituen. ”Sebagai menteri perekonomian, perdagangan, dan industri, saya tidak boleh menghambat lahirnya kebijakan- kebijakan untuk sektor ekonomi dan energi karena sibuk mengurusi masalah saya,” kata Obuchi.
Ambisi Obuchi untuk menjadi PM Jepang seperti ayahnya pun kandas. Padahal, dia diprediksi banyak politisi dan analis akan menjadi PM di masa mendatang. Apalagi, selama ini dia selalu menjadi politisi LDP yang bersinar.
Pengunduran diri keduanya menjadi tantangan terbesar bagi Abe yang ingin meningkatkan peranan wanita dalam pemerintahannya. Tak lepas tanggung jawab, Abe juga mengaku bertanggung jawab atas pengunduran diri kedua menterinya. ”Saya yang menunjuk mereka berdua. Sebagai perdana menteri, saya bertanggung jawab dan saya sangat menyesal atas situasi ini,” kata Abe, dikutip Reuters.
Sebenarnya Matsushima dan Obuchi diangkat dalam kabinet pada September lalu, sebagai bagian dari upaya perombakan untuk memberi peran lebih besar kepada perempuan. Abe ingin menciptakan sejarah karena mengangkat lima perempuan menjadi menteri dalam kabinetnya. Itu merupakan pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan di Jepang. Bahkan, Abe juga berambisi kalau perempuan dapat menduduki 30% posisi kepemimpinan pada 2020.
Skandal kabinet Abe bukan hanya berhenti terhadap keduanya. Menteri perempuan lainnya, yakni Menteri Hubungan Domestik Sanae Takaichi dan Menteri untuk Isu Penculikan Eriko Yamatani juga terlibat skandal. Mereka dituding melakukan pelanggaran karena telah berfoto dengan pemimpin neo- Nazi Jepang yang pernah berpidato menyindir warga Korea yang tinggal di Jepang. Takaichi dan Yamatani diperkirakan tinggal menghitung hari menjadi menteri di kabinet Abe.
Oposisi dan Media Selalu Ditakuti
Partai oposisi Jepang, DPJ (Partai Demokratik Jepang), memainkan peranan penting dibalik pengunduran diri dua menteri kabinet Abe itu. Ternyata, DPJ memainkan kesalahan yang dilakukan anggota kabinet Abe itu untuk menggoyang pemerintahan. DPJ merupakan pihak yang mengajukan laporan kriminal kepada kepolisian dan kejaksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman Midori Matsushima. Selama ini, mereka selalu fokus pada skandal yang membelit anggota kabinet Abe. Strategi yang dilakukan DPJ itu mampu meningkatkan posisi partai oposisi itu.
Popularitas DPJ mengalami peningkatan cukup drastis menjadi 8,1% dari 4,7%. ”Ini hanya masalah waktu sebelum DPJ mulai menemukan gigi mereka lagi di Diet (Majelis Tinggi Parlemen Jepang),” kata analis politik Jepang, Teruhisa Muramatsu, kepada kantor berita China, Xinhua. DPJ, kata dia, akan memiliki pengaruh yang besar ketika kabinet Abe mengajukan undang-undang yang bertentangan dengan kepentingan partai oposisi dan bangsa.
Menurut Muramatsu, permainan yang dilakukan oleh DPJ itu merupakan tantangan dan gangguan bagi PM Abe. Itu akan menimbulkan kesan kalau terdapat ketidakpercayaan terhadap rezim Abe dari publik. Oposisi ingin menggiring opini masyarakat kalau Abe memang tidak cakap dalam memilih menteri barunya. ”PM Abe juga tidak akan melakukan serangan balasan kepada partai oposisi karena memiliki posisi yang melemah,” tuturnya.
Selain oposisi ditakuti oleh pemerintah yang berkuasa, publik Jepang juga memberikan pengawasan yang sangat ketat terhadap menteri dan PM. Publik Jepang bukan orang yang awam dalam berpolitik. Mereka menginginkan politisi yang bersih dan bekerja untuk rakyat. Selain rakyat dan oposisi, mediamedia Jepang juga sangat ditakuti karena memberikan pengawasan yang objektif. Berita media Jepang kerap memberikan pengaruh kepada publik. Tekanan media Jepang terkadang membuat politisi Jepang tak banyak berkutik dan harus mengundurkan diri.
Mengundurkan Diri, Demokrasi Ala Jepang
Budaya mengundurkan diri bukan hanya pada strata menteri. Ada beberapa perdana menteri (PM) Jepang yang pernah mengundurkan diri. Mereka adalah PM Naoto Kan yang mengundurkan diri akibat penanganan pascagempa bumi dan tsunami yang memicu krisis nuklir di Jepang pada 2010. Kemudian, PM Jepang Shinzo Abe pada 2007, PM Taro Aso pada 2008, PM Yasuo Fukuda pada 2008, dan PM Yukio Hatoyama pada 2010.
Ketidakpopuleran mereka dan rendahnya tingkat dukungan publik kerap menjadikan alasan mereka mengundurkan, selain karena kegagalan program dan skandal politik. Maka menciptakan sebuah rumus baku dalam perpolitikan di Jepang, siapa pun politisi yang tidak populer, dia harus mengundurkan diri. Pola itu telah melekat dan menjadi sikap yang melekat pada perpolitikan di Jepang.
Berbeda dengan politik di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa serta Asia Tenggara, ketika para pemimpinnya terdegradasi popularitasnya, mereka tidak memilih mengundurkan diri. Seperti Presiden Ronald Reagan awal 1980-an, Bill Clinton awal 1990-an, George W Bush pada 2006, dan Presiden Barack Obama pada 2010.
Pertanyaan mengapa gaya politik di Jepang berbeda? Kenapa banyak politisi Jepang melemparkan topinya ketika mereka menghadapi skandal atau programnya tak terselesaikan dengan baik? Ternyata politisi Jepang memiliki stereotipe yang mengutamakan kehormatan, menyelamatkan harga diri, dan menghargai budaya Jepang. Mengundurkan diri merupakan budaya bagi warga Jepang.
Andika hendra m
(ars)