Ada Pembentukan Persepsi MK dalam Dilema
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah persepsi dan analisis negatif berkembang di masyarakat dan pengamat menjelang putusan sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis 21 Agustus besok.
MK disebut berada dalam posisi yang dilema instabilitas sosial politik alias kekacauan atau kerusuhan. Pasalnya kedua capres memiliki massa yang dianggap irasional, yang tidak bisa diatur dan dikendalikan.
"Saya berpendapat persepsi ini keliru," tukas Direktur Puspol Indonesia Ubedilah Badrun kepada Sindonews, Rabu (20/8/2014).
Menurutnya, persepsi kemungkinan dua kekuatan massa capres akan rusuh usai keputusan MK, adalah persepsi dengan pengandaian.
Jika persepsi dan analisis pengandaian tersebut dicermati secara politik, hal itu membenarkan adanya penilaian bahwa persepsi itu bagian dari tekanan gerakan massa pada pengambilan keputusan MK.
"Sehingga membenarkan kesimpulan, bahwa MK akan ambil keputusan karena persepsi tekanan akan kacaunya situasi sosial politik. Sehingga MK akan mengambil keputusan jalan aman, yaitu sebagian saja menerima kebenaran faktual untuk memenuhi keinginan dua kubu capres."
"Dalam pandangan politik hukum, jika itu terjadi sesungguhnya MK tidak lagi independen dan bisa dikatakan tidak memiliki integritas," jelasnya.
Oleh karena itu, Ubedilah menyarankan, keputusan MK seharusnya didasari oleh bukti-bukti hukum yang faktual ilmiah. Bukan karena tekanan dengan dasar persepsi kemungkinan rusuh.
Jadi keputusan MK menerima atau menolak permohonan Prabowo-Hatta tidak akan terjadi kerusuhan massif.
Namun jika instabilitas itu terjadi, maka TNI dan Polri tidak bekerja secara profesional. Karena, kedua alat negara itu berhadapan dengan massa pendukung para capres di lapangan.
"Kecuali ada kekeliruan penanganan aparat atau memang by design," katanya.
MK disebut berada dalam posisi yang dilema instabilitas sosial politik alias kekacauan atau kerusuhan. Pasalnya kedua capres memiliki massa yang dianggap irasional, yang tidak bisa diatur dan dikendalikan.
"Saya berpendapat persepsi ini keliru," tukas Direktur Puspol Indonesia Ubedilah Badrun kepada Sindonews, Rabu (20/8/2014).
Menurutnya, persepsi kemungkinan dua kekuatan massa capres akan rusuh usai keputusan MK, adalah persepsi dengan pengandaian.
Jika persepsi dan analisis pengandaian tersebut dicermati secara politik, hal itu membenarkan adanya penilaian bahwa persepsi itu bagian dari tekanan gerakan massa pada pengambilan keputusan MK.
"Sehingga membenarkan kesimpulan, bahwa MK akan ambil keputusan karena persepsi tekanan akan kacaunya situasi sosial politik. Sehingga MK akan mengambil keputusan jalan aman, yaitu sebagian saja menerima kebenaran faktual untuk memenuhi keinginan dua kubu capres."
"Dalam pandangan politik hukum, jika itu terjadi sesungguhnya MK tidak lagi independen dan bisa dikatakan tidak memiliki integritas," jelasnya.
Oleh karena itu, Ubedilah menyarankan, keputusan MK seharusnya didasari oleh bukti-bukti hukum yang faktual ilmiah. Bukan karena tekanan dengan dasar persepsi kemungkinan rusuh.
Jadi keputusan MK menerima atau menolak permohonan Prabowo-Hatta tidak akan terjadi kerusuhan massif.
Namun jika instabilitas itu terjadi, maka TNI dan Polri tidak bekerja secara profesional. Karena, kedua alat negara itu berhadapan dengan massa pendukung para capres di lapangan.
"Kecuali ada kekeliruan penanganan aparat atau memang by design," katanya.
(hyk)