DPR Halangi Indonesia Akses FCTC
A
A
A
JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi menyatakan kekecewaan atas sikap DPR RI yang meminta untuk Indonesia menunda mengakses Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Penundaan ini disebabkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan masih dalam pembahasan.
Menurut Nafsiah, permintaan penundaan tersebut disampaikan Ketua DPR RI Marzuki Ali atas permintaan Ketua Badan Legislatif (baleg) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Dengan kita mengakses tidak ada keterkaitan dengan pertanian, perdagangan dan industri rokok. Sikap ini sangat disayangkan," tandasnya saat ditemui di Jakarta, Jumat 30 Mei kemarin.
Tentunya sikap tersebut sangat disayangkan, maka akan diberikan informasi dan penjelasan terkait penandatanganan FCTC bukan untuk mengatur petani dan industri dagang rokok. Namun lebih kepada UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan bahwa disebutkan bahwa tembakau mengandung racun dalam zat adektif yang berbahaya bagi kesehatan.
"Ini lebih kepada kesehatan yang menyebabkan penyakit menular yang kebanyakan disebabkan oleh rokok seperti kanker, hipertensi, kelainan janin, dan penyakit tidak menular lainnya," katanya.
Dampak buruk akibat tembakau dan merokok terlihat dari hasil Badan Litbangkes pada 2013 telah terjadi kematian prematur akibat penyakit terkait tembakau dari 1990.260 jiwa pada tahun 2010 menjadi 240.058 jiwa pada 2013. Selain itu terjadi kenaikan penderita penyakit akibat mengonsumsi tembakau dari 384.058 jiwa pada 2010 naik menjadi 962.403 jiwa pada 2013.
Kerugian terlihat jelas bukan hanya dalam bidang kesehatan, tetapi juga dari peningkatan total kumulatif kerugian ekonomi secara makro akibat pengguna tembakau. Jika dinilai dengan uang kerugian ekonomi naik dari Rp245,41 triliun pada 2010 menjadi Rp378,75 triliun pada 2013.
"Nilai kerugian ini lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah uang yang diperoleh negara dari bea cukai, yaitu Rp87 triliun pada 2010 dan Rp113 triliun di 2013, tegasnya.
Guru Besar Pengamat Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany mengatakan, tidak ada alasan lagi untuk perusahaan rokok mangkir atau menunda penerapan peringatan bahaya merokok dalam bentuk gambar. "Perusahaan rokok selalu akal-akalan saja. Senangnya menunda-nunda kebijakan yang sudah dibuat," katanya.
Untuk itu, diharapkan pemerintah dapat tegas kepada perusahaan rokok yang tidak menerapkan gambar peringatan tentang bahaya merokok. Karenanya Indonesia sudah sangat terlambat menerapkan ini. Sedangkan di Singapura dan Malaysia sudah menerapkan picture warning sejak 4-5 tahun lalu.
"Menkes harus dapat tegas dengan mereka dan juga harus ada sanksi atau denda terkait pelanggarannya nanti," ujar Hasbullah.
Sebelumnya, perusahaan rokok sudah diberikan toleransi oleh pemerintah dalam satu setengah tahun lalu sebagai masa transisi. Jika harus menunda, kebijakan ini sudah sangat terlambat, maka tidak ada toleransi lagi untuk tidak diterapkan.
Sementara itu Menkes Nafsiah Mboi mengatakan, dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan PP No 109 tahun 2012 mengamanatkan pencantuman pesan bergambar bahaya merokok pada 24 Juni 2014 mendatang. Iklan rokok juga baru diperbolehkan bersiaran setelah jam 22.00 malam. Selain itu tidak dibolehkan penjualan rokok secara batangan.
"Peringatan itu kan sudah lama dilakukan di luar negeri. Dengan harapan perokok pemula atau remaja enggan membeli rokok karena takut melihat akibat merokok melalui gambar," kata nafsiah.
Selain upaya penerapan pesan bergambar akibat rokok, penaikan cukai rokok diharapkan juga mempunyai efek malas membeli rokok karena harganya yang mahal. Walaupun saat ini cukai rokok masih 55%. Seharusnya dapat diterapkan lebih dari itu sekitar 70-80%, karenanya jumlah perokok naik yang sebelumnya hanya 60 juta menjadi 66 juta orang.
"Tujuan utama agar rokok mahal, jadi generasi muda tidak mampu membeli dan masyarakat yang tidak mampu dapat berhenti merokok," tegasnya.
Menurut Nafsiah, permintaan penundaan tersebut disampaikan Ketua DPR RI Marzuki Ali atas permintaan Ketua Badan Legislatif (baleg) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Dengan kita mengakses tidak ada keterkaitan dengan pertanian, perdagangan dan industri rokok. Sikap ini sangat disayangkan," tandasnya saat ditemui di Jakarta, Jumat 30 Mei kemarin.
Tentunya sikap tersebut sangat disayangkan, maka akan diberikan informasi dan penjelasan terkait penandatanganan FCTC bukan untuk mengatur petani dan industri dagang rokok. Namun lebih kepada UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan bahwa disebutkan bahwa tembakau mengandung racun dalam zat adektif yang berbahaya bagi kesehatan.
"Ini lebih kepada kesehatan yang menyebabkan penyakit menular yang kebanyakan disebabkan oleh rokok seperti kanker, hipertensi, kelainan janin, dan penyakit tidak menular lainnya," katanya.
Dampak buruk akibat tembakau dan merokok terlihat dari hasil Badan Litbangkes pada 2013 telah terjadi kematian prematur akibat penyakit terkait tembakau dari 1990.260 jiwa pada tahun 2010 menjadi 240.058 jiwa pada 2013. Selain itu terjadi kenaikan penderita penyakit akibat mengonsumsi tembakau dari 384.058 jiwa pada 2010 naik menjadi 962.403 jiwa pada 2013.
Kerugian terlihat jelas bukan hanya dalam bidang kesehatan, tetapi juga dari peningkatan total kumulatif kerugian ekonomi secara makro akibat pengguna tembakau. Jika dinilai dengan uang kerugian ekonomi naik dari Rp245,41 triliun pada 2010 menjadi Rp378,75 triliun pada 2013.
"Nilai kerugian ini lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah uang yang diperoleh negara dari bea cukai, yaitu Rp87 triliun pada 2010 dan Rp113 triliun di 2013, tegasnya.
Guru Besar Pengamat Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany mengatakan, tidak ada alasan lagi untuk perusahaan rokok mangkir atau menunda penerapan peringatan bahaya merokok dalam bentuk gambar. "Perusahaan rokok selalu akal-akalan saja. Senangnya menunda-nunda kebijakan yang sudah dibuat," katanya.
Untuk itu, diharapkan pemerintah dapat tegas kepada perusahaan rokok yang tidak menerapkan gambar peringatan tentang bahaya merokok. Karenanya Indonesia sudah sangat terlambat menerapkan ini. Sedangkan di Singapura dan Malaysia sudah menerapkan picture warning sejak 4-5 tahun lalu.
"Menkes harus dapat tegas dengan mereka dan juga harus ada sanksi atau denda terkait pelanggarannya nanti," ujar Hasbullah.
Sebelumnya, perusahaan rokok sudah diberikan toleransi oleh pemerintah dalam satu setengah tahun lalu sebagai masa transisi. Jika harus menunda, kebijakan ini sudah sangat terlambat, maka tidak ada toleransi lagi untuk tidak diterapkan.
Sementara itu Menkes Nafsiah Mboi mengatakan, dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan PP No 109 tahun 2012 mengamanatkan pencantuman pesan bergambar bahaya merokok pada 24 Juni 2014 mendatang. Iklan rokok juga baru diperbolehkan bersiaran setelah jam 22.00 malam. Selain itu tidak dibolehkan penjualan rokok secara batangan.
"Peringatan itu kan sudah lama dilakukan di luar negeri. Dengan harapan perokok pemula atau remaja enggan membeli rokok karena takut melihat akibat merokok melalui gambar," kata nafsiah.
Selain upaya penerapan pesan bergambar akibat rokok, penaikan cukai rokok diharapkan juga mempunyai efek malas membeli rokok karena harganya yang mahal. Walaupun saat ini cukai rokok masih 55%. Seharusnya dapat diterapkan lebih dari itu sekitar 70-80%, karenanya jumlah perokok naik yang sebelumnya hanya 60 juta menjadi 66 juta orang.
"Tujuan utama agar rokok mahal, jadi generasi muda tidak mampu membeli dan masyarakat yang tidak mampu dapat berhenti merokok," tegasnya.
(hyk)