4 faktor sulitnya bentuk pemerintahan ideal
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat politik Gun Gun Heryanto menjabarkan empat penyebab, sulitnya membentuk pemerintahan yang ideal setelah pemilihan umum (pemilu).
Pertama, adanya persandingan sistem pemerintahan presidensial dalam multi partai ekstrim yang terjadi di Indonesia.
"Kita selalu terjebak di situ. Kita presidensial tetapi beraroma parlementer," kata Gun Gun Heryanto dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/4/2014).
Kedua, masalah politik keterwakilan di tanah air yang menurutnya belum mampu mewakili secara optimal keinginan dan harapan masyarakat. Ia pun mencontohkan dari banyaknya wakil rakyat, masih minim yang mampu menyelesaikan mandat rakyatnya.
"Politik perwakilan kita baru hidup menjelang pemilu, nah ini mengganjal pemerintahan kita," terangnya.
Selanjutnya, kata dia, adanya batasan hak pilih aktif yang kuat di Indonesia. Di mana dirinya berpendapat, perubahan yang terjadi masih bersifat personal bukan secara kelembagaan.
"Transformasi bukan kelembagaan tetapi personal. Muncul fenomena birokrasi kalau aktor seperti presiden tidak tersandera kekuatan yang tersandera di DPR misalnya," lanjutnya.
Terakhir, adanya perbedaan sistem kekuasaan yang terjadi beberapa kali dalam sistem pemerintahan Indonesia. "Mungkin sampai satu posisi (saat ini) kekuasaan (dinilai) akan efektif ketika melibatkan koalisi besar parpol," tuntasnya.
Pertama, adanya persandingan sistem pemerintahan presidensial dalam multi partai ekstrim yang terjadi di Indonesia.
"Kita selalu terjebak di situ. Kita presidensial tetapi beraroma parlementer," kata Gun Gun Heryanto dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/4/2014).
Kedua, masalah politik keterwakilan di tanah air yang menurutnya belum mampu mewakili secara optimal keinginan dan harapan masyarakat. Ia pun mencontohkan dari banyaknya wakil rakyat, masih minim yang mampu menyelesaikan mandat rakyatnya.
"Politik perwakilan kita baru hidup menjelang pemilu, nah ini mengganjal pemerintahan kita," terangnya.
Selanjutnya, kata dia, adanya batasan hak pilih aktif yang kuat di Indonesia. Di mana dirinya berpendapat, perubahan yang terjadi masih bersifat personal bukan secara kelembagaan.
"Transformasi bukan kelembagaan tetapi personal. Muncul fenomena birokrasi kalau aktor seperti presiden tidak tersandera kekuatan yang tersandera di DPR misalnya," lanjutnya.
Terakhir, adanya perbedaan sistem kekuasaan yang terjadi beberapa kali dalam sistem pemerintahan Indonesia. "Mungkin sampai satu posisi (saat ini) kekuasaan (dinilai) akan efektif ketika melibatkan koalisi besar parpol," tuntasnya.
(maf)