Penyebab munculnya masalah pada TKI
A
A
A
Sindonews.com - Nama Wilfrida Soik (17), buruh migran asal Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bekerja di Malaysia, mencuat karena ancaman hukuman mati yang menimpanya.
Kasus Wilfrida merupakan satu dari sekian banyak kasus TKI yang menunjukkan masih adanya permasalahan dalam implementasi mekanisme perlindungan TKI di luar negeri.
Direktur Yayasan TIFA Irman G Lanti mengungkapkan, hal itu terjadi karena desentralisasi mekanisme perlindungan buruh migran, akan menjadikan peran pemerintah daerah (pemda) lebih maksimal sebagai garda terdepan dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri.
"Selain itu maupun memastikan hak-hak yang diterima keluarganya apabila terjadi permasalahan. Dia menambahkan, proses yang terjadi selama ini di mana, proses rekrutmen dan penempatan tenaga kerja terpusat di Jakarta, menimbulkan berbagai tantangan bagi calon buruh migran," kata Irman, lewat rilisnya kepada Sindonews, Minggu 6 Oktober 2013.
Menurutnya, dari proses pra-keberangkatan misalnya, calon buruh migran, terutama yang menuju ke negara-negara Timur Tengah, biasanya harus berhadapan dengan calo yang kemudian akan menghubungkan mereka dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Jakarta.
"Jalur seperti ini menyebabkan ketiadaan perlindungan dan pengawasan dari pemerintah daerah, serta mengharuskan calon buruh migran pergi jauh dari rumahnya untuk persiapan sebelum keberangkatan," ucapnya.
Selain itu, sebelum berangkat, calon buruh migran biasanya ditempatkan di tempat penampungan di Jakarta, yang selain secara keuangan, juga menyebabkan pemerintah kabupaten atau kota tempat buruh migran berasal menjadi kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap warganya, seperti dalam kasus Wilfrida.
"Padahal, pemerintah daerah merupakan garda terdepan dalam memberikan perlindungan bagi warganya, termasuk yang menjadi buruh migran di luar negeri," pungkasnya.
Simak berita terkait, TKI butuh perlindungan yang cepat dan mudah dijangkau.
Kasus Wilfrida merupakan satu dari sekian banyak kasus TKI yang menunjukkan masih adanya permasalahan dalam implementasi mekanisme perlindungan TKI di luar negeri.
Direktur Yayasan TIFA Irman G Lanti mengungkapkan, hal itu terjadi karena desentralisasi mekanisme perlindungan buruh migran, akan menjadikan peran pemerintah daerah (pemda) lebih maksimal sebagai garda terdepan dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri.
"Selain itu maupun memastikan hak-hak yang diterima keluarganya apabila terjadi permasalahan. Dia menambahkan, proses yang terjadi selama ini di mana, proses rekrutmen dan penempatan tenaga kerja terpusat di Jakarta, menimbulkan berbagai tantangan bagi calon buruh migran," kata Irman, lewat rilisnya kepada Sindonews, Minggu 6 Oktober 2013.
Menurutnya, dari proses pra-keberangkatan misalnya, calon buruh migran, terutama yang menuju ke negara-negara Timur Tengah, biasanya harus berhadapan dengan calo yang kemudian akan menghubungkan mereka dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Jakarta.
"Jalur seperti ini menyebabkan ketiadaan perlindungan dan pengawasan dari pemerintah daerah, serta mengharuskan calon buruh migran pergi jauh dari rumahnya untuk persiapan sebelum keberangkatan," ucapnya.
Selain itu, sebelum berangkat, calon buruh migran biasanya ditempatkan di tempat penampungan di Jakarta, yang selain secara keuangan, juga menyebabkan pemerintah kabupaten atau kota tempat buruh migran berasal menjadi kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap warganya, seperti dalam kasus Wilfrida.
"Padahal, pemerintah daerah merupakan garda terdepan dalam memberikan perlindungan bagi warganya, termasuk yang menjadi buruh migran di luar negeri," pungkasnya.
Simak berita terkait, TKI butuh perlindungan yang cepat dan mudah dijangkau.
(maf)