Kemenhut klaim tidak ada konversi hutan
A
A
A
Sindonews.com - Kementerian Kehutanan menegaskan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dilakukan kelompok Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) mengikuti ketentuan pemerintah, tidak dapat dikategorikan sebagai konversi hutan.
Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut Bambang Hendroyono menyatakan, pengembangan HTI tetap mempertahankan hutan sebagai hutan, bahkan ditingkatkan produktivitasnya. “Tidak tepat jika dikatakan ada konversi hutan pada pembangunan HTI,” kata dia di Jakarta (8/7/2013).
Bambang menjelaskan, HTI dikembangkan dengan sistem silvikultur yang secara ilmiah mendukung pengelolaan hutan lestari. Sistem silvikultur yang dikembangkan, yaitu tebang habis permudaaan buatan (THPB) juga sesuai dengan peraturan perundang-undangan pengelolaan hutan.
“Pengembangan HTI itu scientific based untuk meningkatkan produktivitas hutan sekaligus mendukung kelestariannya,” katanya.
Bambang juga menyatakan, dalam pelaksanaannya pengembang HTI wajib melakukan deliniasi makro-mikro sesuai ketentuan kehutanan. Hal itu untuk memastikan HTI hanya dibangun pada kawasan hutan yang kurang produktif. Sementara itu, kawasan hutan yang masih produktif dan kawasan perlindungan bernilai konservasi tinggi harus tetap dipertahankan.
Dia menegaskan, HTI dibangun hanya di kawasan hutan yang berfungsi produksi yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan bisa dioptimalkan pemanfaatannya. Pengembangan HTI juga tetap harus sesuai tata ruang fungsi arealnya sehingga tetap bisa mempertahankan wilayah perlindungan keanekeragaman hayati dan budaya.
Bambang menekankan sektor kehutanan Indonesia butuh pengembangan HTI. Pasalnya, produktivitas hutan alam saat ini terus merosot. Pengembangan HTI juga berkorelasi positif dengan pengentasan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki hutan yang terdegradasi. “Jadi HTI ini pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment,” kata Bambang.
Sebagai gambaran, pada tahun 2012 investasi HTI tercatat 238 unit dengan nilai investasi Rp 2,3 triliun. Pengembangan HTI juga menyerap tenaga kerja langsung 28.906 orang, naik dari pada tahun 2011 sebelumnya yang sebanyak 23.042 orang.
“Pengembangan HTI kini juga diarahkan untuk membangun kemitraan sehingga bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat,” kata Bambang.
Menurut Bambang, pengembangan HTI di kawasan hutan lebih baik ketimbang kawasan tersebut dibiarkan terbuka bebas tanpa pengelola. Kawasan tanpa pengelola berpotensi menimbulkan perambahan yang berdampak kepada pembalakan liar dan deforestasi.
Melihat sisi positif pengembangan HTI, Bambang menyayangkan masih adanya kampanye hitam soal HTI.
Bambang menegaskan, dari sisi legalitas, pengelolaan HTI juga bisa dipertanggung jawabkan. Mereka diaudit dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang wajib di Indonesia oleh pihak ketiga yang independen.
“SVLK ini dari hulu hingga hilir dan telah diakui oleh dunia. SVLK ini juga menjadi bagian dari perjanjian kemitraan sukarela untuk perbaikan tata kelola hutan antara Indonesia-Uni Eropa,” katanya.
Bambang menjelaskan, untuk menekan laju deforestasi, pemerintah sudah menetapkan kebijakan moratorium konversi hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan tersebut terbukti berdampak positif dengan menurunnya laju deforestasi di Indonesia.
Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut Bambang Hendroyono menyatakan, pengembangan HTI tetap mempertahankan hutan sebagai hutan, bahkan ditingkatkan produktivitasnya. “Tidak tepat jika dikatakan ada konversi hutan pada pembangunan HTI,” kata dia di Jakarta (8/7/2013).
Bambang menjelaskan, HTI dikembangkan dengan sistem silvikultur yang secara ilmiah mendukung pengelolaan hutan lestari. Sistem silvikultur yang dikembangkan, yaitu tebang habis permudaaan buatan (THPB) juga sesuai dengan peraturan perundang-undangan pengelolaan hutan.
“Pengembangan HTI itu scientific based untuk meningkatkan produktivitas hutan sekaligus mendukung kelestariannya,” katanya.
Bambang juga menyatakan, dalam pelaksanaannya pengembang HTI wajib melakukan deliniasi makro-mikro sesuai ketentuan kehutanan. Hal itu untuk memastikan HTI hanya dibangun pada kawasan hutan yang kurang produktif. Sementara itu, kawasan hutan yang masih produktif dan kawasan perlindungan bernilai konservasi tinggi harus tetap dipertahankan.
Dia menegaskan, HTI dibangun hanya di kawasan hutan yang berfungsi produksi yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan bisa dioptimalkan pemanfaatannya. Pengembangan HTI juga tetap harus sesuai tata ruang fungsi arealnya sehingga tetap bisa mempertahankan wilayah perlindungan keanekeragaman hayati dan budaya.
Bambang menekankan sektor kehutanan Indonesia butuh pengembangan HTI. Pasalnya, produktivitas hutan alam saat ini terus merosot. Pengembangan HTI juga berkorelasi positif dengan pengentasan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki hutan yang terdegradasi. “Jadi HTI ini pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment,” kata Bambang.
Sebagai gambaran, pada tahun 2012 investasi HTI tercatat 238 unit dengan nilai investasi Rp 2,3 triliun. Pengembangan HTI juga menyerap tenaga kerja langsung 28.906 orang, naik dari pada tahun 2011 sebelumnya yang sebanyak 23.042 orang.
“Pengembangan HTI kini juga diarahkan untuk membangun kemitraan sehingga bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat,” kata Bambang.
Menurut Bambang, pengembangan HTI di kawasan hutan lebih baik ketimbang kawasan tersebut dibiarkan terbuka bebas tanpa pengelola. Kawasan tanpa pengelola berpotensi menimbulkan perambahan yang berdampak kepada pembalakan liar dan deforestasi.
Melihat sisi positif pengembangan HTI, Bambang menyayangkan masih adanya kampanye hitam soal HTI.
Bambang menegaskan, dari sisi legalitas, pengelolaan HTI juga bisa dipertanggung jawabkan. Mereka diaudit dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang wajib di Indonesia oleh pihak ketiga yang independen.
“SVLK ini dari hulu hingga hilir dan telah diakui oleh dunia. SVLK ini juga menjadi bagian dari perjanjian kemitraan sukarela untuk perbaikan tata kelola hutan antara Indonesia-Uni Eropa,” katanya.
Bambang menjelaskan, untuk menekan laju deforestasi, pemerintah sudah menetapkan kebijakan moratorium konversi hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan tersebut terbukti berdampak positif dengan menurunnya laju deforestasi di Indonesia.
(lal)