Iklan politik belum kreatif
A
A
A
Sindonews.com - Komunikasi iklan politik melalui media televisi kian populer saja. Namun kebanyakan iklan-iklan tersebut dalam tataran kreatifitas hingga eksekusi masih jauh dari kata baik.
Oleh karena itu para aktor politik dan industri komunikasi harus bisa mendesain pesan komunikasi politik yang lebih kreatif.
“Iklan politik di Indonesia secara ide kreatif sampai eksekusi iklan jauh lebih jelek dibandingkan iklan komersial meskipun secara budgeting iklan politik biayanya sangat luar biasa ” ungkap Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UMY Fajar Junaedi di UMY, Rabu (19/6/2013)
Fajar sendiri baru merampungkan buku ke delapannya yang berjudul Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi dan Strategi di Indonesia.
Salah satu poin dalam bukunya tersebut ialah ia ingin menawarkan solusi kepada aktor politik dan industri komunikasi bagaimana membuat membuat iklan politik yang baik.
Iklan politik saat ini, menurutnya masih jauh dari kata bagus dan cenderung kaku.
"Bagi pembaca dan aktor politik akan saya tunjukkan bagaimana cara membuat iklan politik yang bagus how to send the message untuk industri komunikasi. Buku ini bisa menjadi rujukan bagaimana mereka mendesain pesan komunikasi dalam komunikasi politik yang kreatif” tambahnya.
Selain untuk para aktor politik, buku tersebut juga ia tujukan bagi khalayak luas agar menjadi lebih sadar bagaimana hubungan antara media dan komunikasi politik di Indonesia saat ini sehingga mereka bisa mengkritisinya.
"Saya ingin khalayak menjadi aware, ini lho relasi media dan komunikasi politik di Indonesia,” katanya.
Relasi media dan aktor politik di Indonesia saat ini, dikatakan Fajar bersikap abu-abu dibandingkan dengan masa orde lama pasca revolusi kemerdekaan.
Pada masa itu media jelas memposisikan diri sebagai underbow parpol tertentu sehingga tajuk rencana media akan jelas memihak parpol induknya.
“Sedangkan saat ini media abu abu, media tidak memposisikan diri sebagai underbow parpol atau politikus tertentu tapi isinya memihak ke parpol atau politisi tertentu. Sikapnya abu abu tidak ada garis demarkasi yang jelas,” imbuhnya.
Selain itu politik, Fajar juga menyoroti politik ekonomi media, dimana aturan di Indonesia memungkinkan celah terjadinya monopolisasi media oleh aktor politik tertentu.
“Berbeda di Amerika Serikat crossownership di larang. Namun di Indonesia hal itu masih terjadi karena ada satu orang memiliki beberapa media nasional dari berbagai lini,” tuturnya.
Oleh karena itu para aktor politik dan industri komunikasi harus bisa mendesain pesan komunikasi politik yang lebih kreatif.
“Iklan politik di Indonesia secara ide kreatif sampai eksekusi iklan jauh lebih jelek dibandingkan iklan komersial meskipun secara budgeting iklan politik biayanya sangat luar biasa ” ungkap Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UMY Fajar Junaedi di UMY, Rabu (19/6/2013)
Fajar sendiri baru merampungkan buku ke delapannya yang berjudul Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi dan Strategi di Indonesia.
Salah satu poin dalam bukunya tersebut ialah ia ingin menawarkan solusi kepada aktor politik dan industri komunikasi bagaimana membuat membuat iklan politik yang baik.
Iklan politik saat ini, menurutnya masih jauh dari kata bagus dan cenderung kaku.
"Bagi pembaca dan aktor politik akan saya tunjukkan bagaimana cara membuat iklan politik yang bagus how to send the message untuk industri komunikasi. Buku ini bisa menjadi rujukan bagaimana mereka mendesain pesan komunikasi dalam komunikasi politik yang kreatif” tambahnya.
Selain untuk para aktor politik, buku tersebut juga ia tujukan bagi khalayak luas agar menjadi lebih sadar bagaimana hubungan antara media dan komunikasi politik di Indonesia saat ini sehingga mereka bisa mengkritisinya.
"Saya ingin khalayak menjadi aware, ini lho relasi media dan komunikasi politik di Indonesia,” katanya.
Relasi media dan aktor politik di Indonesia saat ini, dikatakan Fajar bersikap abu-abu dibandingkan dengan masa orde lama pasca revolusi kemerdekaan.
Pada masa itu media jelas memposisikan diri sebagai underbow parpol tertentu sehingga tajuk rencana media akan jelas memihak parpol induknya.
“Sedangkan saat ini media abu abu, media tidak memposisikan diri sebagai underbow parpol atau politikus tertentu tapi isinya memihak ke parpol atau politisi tertentu. Sikapnya abu abu tidak ada garis demarkasi yang jelas,” imbuhnya.
Selain itu politik, Fajar juga menyoroti politik ekonomi media, dimana aturan di Indonesia memungkinkan celah terjadinya monopolisasi media oleh aktor politik tertentu.
“Berbeda di Amerika Serikat crossownership di larang. Namun di Indonesia hal itu masih terjadi karena ada satu orang memiliki beberapa media nasional dari berbagai lini,” tuturnya.
(lns)