Kekuatan PK diragukan jika hanya satu kali
A
A
A
Sindonews.com - Kekuatan hukum dari upaya Peninjauan Kembali (PK) yang hanya diajukan satu kali diragukan legitimasinya. Hal itu juga yang mendorong terpidana Antasari Azhar mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait vonis 18 tahun yang diterimanya.
Pakar Hukum Pidana Profesor Romli Atmasasmita mengatakan, ketentuan tentang pengajuan PK dalam Pasal a quo (Pasal 268 ayat 3, red) dalam memperoleh keadilan in casu (dalam kasus) jika melalui pengujian di MK menjadi hak setiap warga negara. Sehingga ketentuan tersebut diragukan legitimasinya sebagai ketentuan hukum yang pro terhadap HAM.
"Sehingga melalui pengujian UUD 1945 mengakibatkan keberadaan ketentuan yang hanya membolehkan PK diajukan satu kali (Pasal 268 ayat 3), diragukan legitimasi sebagai ketentuan hukum yang pro perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana telah dimuat dalam UUD 1945 dan perubahannya, khususnya yang melekat pada Pemohon I Antasari Azhar," kata Romli saat menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/6/2013).
Romli juga berpendapat, pengajuan permintaan PK oleh para pemohon baik mantan Ketua Pemberantasan Korupsi (KPK) serta adik kandung korban pembunuhan berencana Andi Syamsuddin Iskandar termasuk dalam perkara khusus dan spesifik.
Sehingga dapat dipandang sebagai 'Novum' yang merupakan 'pintu masuk' untuk memperoleh keadilan melalui pengujian Pasal 268 ayat 3 terhadap UUD 1945.
Romli juga mengungkapkan, adanya dugaan pengesampingan fakta majelis hakim pada tiap tingkat pemeriksaan tanpa melalui pemeriksaan mendalam dalam hubungan perkara pembunuhan (padahal terhadap Handphone meskipun rusak, tetap bisa diambil dan cloning data sebagaimana terjadi dalam perkara terorisme), merupakan fakta baru yang seharusnya dapat dipertimbangkan kembali dalam pengajuan PK kedua kalinya namun terhambat oleh ketentuan Pasal 268 Ayat (3) Hukum Acara Pidana.
"Merujuk pada keadaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, ketentuan Pasal 268 ayat (3) Hukum Acara Pidana telah menghambat Pemohon untuk memperoleh keadilan (ipso iure) bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 C ayat(1) UUD 1945 dan perubahannya," tegasnya.
Pakar Hukum Pidana Profesor Romli Atmasasmita mengatakan, ketentuan tentang pengajuan PK dalam Pasal a quo (Pasal 268 ayat 3, red) dalam memperoleh keadilan in casu (dalam kasus) jika melalui pengujian di MK menjadi hak setiap warga negara. Sehingga ketentuan tersebut diragukan legitimasinya sebagai ketentuan hukum yang pro terhadap HAM.
"Sehingga melalui pengujian UUD 1945 mengakibatkan keberadaan ketentuan yang hanya membolehkan PK diajukan satu kali (Pasal 268 ayat 3), diragukan legitimasi sebagai ketentuan hukum yang pro perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana telah dimuat dalam UUD 1945 dan perubahannya, khususnya yang melekat pada Pemohon I Antasari Azhar," kata Romli saat menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/6/2013).
Romli juga berpendapat, pengajuan permintaan PK oleh para pemohon baik mantan Ketua Pemberantasan Korupsi (KPK) serta adik kandung korban pembunuhan berencana Andi Syamsuddin Iskandar termasuk dalam perkara khusus dan spesifik.
Sehingga dapat dipandang sebagai 'Novum' yang merupakan 'pintu masuk' untuk memperoleh keadilan melalui pengujian Pasal 268 ayat 3 terhadap UUD 1945.
Romli juga mengungkapkan, adanya dugaan pengesampingan fakta majelis hakim pada tiap tingkat pemeriksaan tanpa melalui pemeriksaan mendalam dalam hubungan perkara pembunuhan (padahal terhadap Handphone meskipun rusak, tetap bisa diambil dan cloning data sebagaimana terjadi dalam perkara terorisme), merupakan fakta baru yang seharusnya dapat dipertimbangkan kembali dalam pengajuan PK kedua kalinya namun terhambat oleh ketentuan Pasal 268 Ayat (3) Hukum Acara Pidana.
"Merujuk pada keadaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, ketentuan Pasal 268 ayat (3) Hukum Acara Pidana telah menghambat Pemohon untuk memperoleh keadilan (ipso iure) bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 C ayat(1) UUD 1945 dan perubahannya," tegasnya.
(kri)