Pasal penghinaan presiden, kemunduran demokrasi
A
A
A
JAKARTA - POLEMIK mengenai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terus bergulir. Polemik paling hangat menyangkut beberapa materi krusial, seperti pasal menyangkut penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Dalam draf RUU KUHP BAB II mengenai tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden pada bagian kesatu pasal 264 disebutkan, setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Bagian kedua pada pasal 265 disebutkan, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 266 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Menarik dicermati, dalam pasal itu tidak djelaskan secara detail batasan yang dikategorikan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Tentu saja, sebagian besar kalangan merasa terusik. Tanpa definisi dan batasan yang jelas, pasal ini ibarat pasal karet.
Bukan tidak mungkin, unjuk rasa mengkritik kebijakan presiden dan wakil presiden bisa berujung pada pidana. Apalagi, kritik tersebut menuntut sang presiden maupun wakil presiden mundur dari jabatannya. Kondisi ini mengingatkan pada zaman kelam di era orde baru yang terkenal otoriter dan antikritik.
Tanpa pengawasan publik, draf RUU KUHP yang diajukan pemerintah ke DPR ini bisa lolos begitu saja dan disahkan menjadi UU melalui rapat rapat Paripurna DPR. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, masyarakakt juga yang harus menanggung akibatnya.
UU tersebut bisa menyebabkan suara kritik terhadap kebijakan presiden maupun wakil presiden yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat semakin sumir terdengar. Sebab, sikap kritis itu dihantui akan ancaman pasal mengenai penghinaan terhadap presiden.
Selain dari kalangan aktivis masyarakat, penentangan terhadap pasal tersebut juga muncul dari segelintir anggota DPR. Sementara anggota DPR lainnya, ada yang mendukung, semisal dari Fraksi Partai Demokrat dan beberapa anggota fraksi lain. Sementara anggota DPR lainnya masih "malu-malu" untuk menentang pasal tersebut.
Indra misalnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dengan terang-terangan menentang pasal tersebut dimasukan dalam RUU KUHP. Dengan tegas dia menilai, akomodir pasal tersebut sangat jelas sebagai bentuk kemunduran dalam demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, pasal yang diibaratkan pasal karet, efektif dapat membungkam suara kritis masyarakat yang selama ini memiliki peran sebagai kontrol terhadap pemerintah. "Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet. Oleh karena itu, pasal penghinaan presiden dalam draf perubahan RUU KUHP sebaiknya dihapus," tukas Indra.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri pernah membatalkan UU tentang penghinaan terhadap presiden tersebut dengan alasan bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Maka itu, ditegaskan oleh Ketua MK Akil Mochtar, UU tersebut tidak bisa dihidupkan kembali.
"Normanya itulah yang bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak boleh dihidupkan lagi,” kata Akil, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat, 5 April 2013.
Tidak sekadar sikap kritis masyarakat terhadap presiden dan wakil presiden yang dipersempit dengan acaman lahirnya UU itu. Ruang kebebasan berkespresi dalam berkarya juga semakin dipersempit.
Misalnya, ilustrasi kekecewaan terhadap presiden dan wakil presiden yang dituangkan dalam bentuk karya seni juga semakin terbatasi dengan sendirinya, karena dihantui pasal tersebut.
Bahkan, bagi para penulis dan pemburu berita, harus membatasi fakta dan informasi yang diketahuinya untuk disampaikan ke publik.
Inilah draf RUU KUHP
Dalam draf RUU KUHP BAB II mengenai tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden pada bagian kesatu pasal 264 disebutkan, setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Bagian kedua pada pasal 265 disebutkan, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 266 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Menarik dicermati, dalam pasal itu tidak djelaskan secara detail batasan yang dikategorikan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Tentu saja, sebagian besar kalangan merasa terusik. Tanpa definisi dan batasan yang jelas, pasal ini ibarat pasal karet.
Bukan tidak mungkin, unjuk rasa mengkritik kebijakan presiden dan wakil presiden bisa berujung pada pidana. Apalagi, kritik tersebut menuntut sang presiden maupun wakil presiden mundur dari jabatannya. Kondisi ini mengingatkan pada zaman kelam di era orde baru yang terkenal otoriter dan antikritik.
Tanpa pengawasan publik, draf RUU KUHP yang diajukan pemerintah ke DPR ini bisa lolos begitu saja dan disahkan menjadi UU melalui rapat rapat Paripurna DPR. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, masyarakakt juga yang harus menanggung akibatnya.
UU tersebut bisa menyebabkan suara kritik terhadap kebijakan presiden maupun wakil presiden yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat semakin sumir terdengar. Sebab, sikap kritis itu dihantui akan ancaman pasal mengenai penghinaan terhadap presiden.
Selain dari kalangan aktivis masyarakat, penentangan terhadap pasal tersebut juga muncul dari segelintir anggota DPR. Sementara anggota DPR lainnya, ada yang mendukung, semisal dari Fraksi Partai Demokrat dan beberapa anggota fraksi lain. Sementara anggota DPR lainnya masih "malu-malu" untuk menentang pasal tersebut.
Indra misalnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dengan terang-terangan menentang pasal tersebut dimasukan dalam RUU KUHP. Dengan tegas dia menilai, akomodir pasal tersebut sangat jelas sebagai bentuk kemunduran dalam demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, pasal yang diibaratkan pasal karet, efektif dapat membungkam suara kritis masyarakat yang selama ini memiliki peran sebagai kontrol terhadap pemerintah. "Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet. Oleh karena itu, pasal penghinaan presiden dalam draf perubahan RUU KUHP sebaiknya dihapus," tukas Indra.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri pernah membatalkan UU tentang penghinaan terhadap presiden tersebut dengan alasan bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Maka itu, ditegaskan oleh Ketua MK Akil Mochtar, UU tersebut tidak bisa dihidupkan kembali.
"Normanya itulah yang bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak boleh dihidupkan lagi,” kata Akil, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat, 5 April 2013.
Tidak sekadar sikap kritis masyarakat terhadap presiden dan wakil presiden yang dipersempit dengan acaman lahirnya UU itu. Ruang kebebasan berkespresi dalam berkarya juga semakin dipersempit.
Misalnya, ilustrasi kekecewaan terhadap presiden dan wakil presiden yang dituangkan dalam bentuk karya seni juga semakin terbatasi dengan sendirinya, karena dihantui pasal tersebut.
Bahkan, bagi para penulis dan pemburu berita, harus membatasi fakta dan informasi yang diketahuinya untuk disampaikan ke publik.
Inilah draf RUU KUHP
(kur)