Guru ajukan UN ke MK
A
A
A
Sindonews.com - Asosiasi guru akan mengajukan gugatan hukum (constitusional complaint) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Ujian Nasional (UN). Para Guru menganggap masih digelarnya UN tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang meminta UN dihentikan pada 2007 lalu.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, constitusional complaint ini diajukan ke MK agar pemerintah dapat menghapus UN tahun depan. Gugatan ini juga dilakukan agar pemerintah segera menjalankan keputusan MA.
Putusan MA pada 2007 lalu memutuskan pemerintah harus meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melakukan UN.
Retno melanjutkan, gugatan ini juga mendesak pemerintah untuk mengembalikan evaluasi pendidikan ke sekolah. Selain itu, pemerintah juga harus mengembalikan kewenangan kelulusan siswa ke sekolah. Keduanya sejalan dengan amanat UU Sisdiknas No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Penyelenggaraan UN setiap tahun tidak pernah profesional. Pemerintah juga melanggar konstitusi karena MA sudah melarang adanya UN," katanya kepada SINDO, Senin (27/5/2013).
Alasan pengajuan constitutional complaint atas UN ini karena pemerintah tahun ini juga telah menggelontorkan anggaran Rp600 miliar. Namun apa yang terjadi ialah anggaran itu terbuang sia-sia karena adanya penundaan UN di 11 provinsi.
Tidak hanya itu, kendala teknis seperti naskah dan lembar jawaban harus difotokopi yang tanpa barcode. Padahal pemerintah sebelumnya menegaskan, sistem barcode digunakan dalam hal menguji keabsahan lembar jawaban siswa.
Retno menjelaskan, saat ini pihaknya baru berkonsultasi dengan pengacara yang sudah siap mendampingi gugatan ini ke MK. Dia menyebutkan, asosiasi guru lainnya yang mendukung ialah Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ).
Tidak hanya itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga akan membangun konsolidasi untuk menjaring mitra dari LSM lainnya yang peduli pendidikan. Mereka juga akan menggalang dukungan dari para tokoh pendidikan untuk menjadi saksi ahli di MK nanti.
"Jika ada orang tua siswa dan masyarakat yang mau bergabung akan kami terima dengan tangan terbuka," ujarnya.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo menyatakan, secara prinsipil UN memang melanggar UU No 20/2003 khususnya pasal 58. Pasal ini menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Para pendidik inilah yang akan memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar pserta didik secara berkesinambungan.
Selain itu, secara pedagosis UN juga melanggar asas pendidikan karena telah menyempitkan maka belajar. Selain itu juga berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak. Secara sosio politik UN juga menanamkan nilai-nilai koruptif secara dini di generasi muda.
"Sudah jelas bahwa UN bertentangan dengan keputusan MA. UN tidak hanya bertentangan dengan perundangan-undangan namun juga hak azasi manusia," ungkapnya.
Sulistiyo menerangkan, pihaknya juga sudah melakukan survei pada 2012 lalu. Sasaran survei ialah ribuan guru, kepala sekolah dan pengawas. Hasilnya ialah, 42,86 persen guru mengangap kebijakan UN sangat tidak tepat.
Di tahap kepala sekolah, ujarnya, 49,32 persen kepala sekolah menganggap UN sangat tidak tepat. Lalu di tingkat pengawas, sebanyak 41,77 persen juga menganggap UN sangat tidak tepat dilaksanakan.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, constitusional complaint ini diajukan ke MK agar pemerintah dapat menghapus UN tahun depan. Gugatan ini juga dilakukan agar pemerintah segera menjalankan keputusan MA.
Putusan MA pada 2007 lalu memutuskan pemerintah harus meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melakukan UN.
Retno melanjutkan, gugatan ini juga mendesak pemerintah untuk mengembalikan evaluasi pendidikan ke sekolah. Selain itu, pemerintah juga harus mengembalikan kewenangan kelulusan siswa ke sekolah. Keduanya sejalan dengan amanat UU Sisdiknas No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Penyelenggaraan UN setiap tahun tidak pernah profesional. Pemerintah juga melanggar konstitusi karena MA sudah melarang adanya UN," katanya kepada SINDO, Senin (27/5/2013).
Alasan pengajuan constitutional complaint atas UN ini karena pemerintah tahun ini juga telah menggelontorkan anggaran Rp600 miliar. Namun apa yang terjadi ialah anggaran itu terbuang sia-sia karena adanya penundaan UN di 11 provinsi.
Tidak hanya itu, kendala teknis seperti naskah dan lembar jawaban harus difotokopi yang tanpa barcode. Padahal pemerintah sebelumnya menegaskan, sistem barcode digunakan dalam hal menguji keabsahan lembar jawaban siswa.
Retno menjelaskan, saat ini pihaknya baru berkonsultasi dengan pengacara yang sudah siap mendampingi gugatan ini ke MK. Dia menyebutkan, asosiasi guru lainnya yang mendukung ialah Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ).
Tidak hanya itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga akan membangun konsolidasi untuk menjaring mitra dari LSM lainnya yang peduli pendidikan. Mereka juga akan menggalang dukungan dari para tokoh pendidikan untuk menjadi saksi ahli di MK nanti.
"Jika ada orang tua siswa dan masyarakat yang mau bergabung akan kami terima dengan tangan terbuka," ujarnya.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo menyatakan, secara prinsipil UN memang melanggar UU No 20/2003 khususnya pasal 58. Pasal ini menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Para pendidik inilah yang akan memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar pserta didik secara berkesinambungan.
Selain itu, secara pedagosis UN juga melanggar asas pendidikan karena telah menyempitkan maka belajar. Selain itu juga berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak. Secara sosio politik UN juga menanamkan nilai-nilai koruptif secara dini di generasi muda.
"Sudah jelas bahwa UN bertentangan dengan keputusan MA. UN tidak hanya bertentangan dengan perundangan-undangan namun juga hak azasi manusia," ungkapnya.
Sulistiyo menerangkan, pihaknya juga sudah melakukan survei pada 2012 lalu. Sasaran survei ialah ribuan guru, kepala sekolah dan pengawas. Hasilnya ialah, 42,86 persen guru mengangap kebijakan UN sangat tidak tepat.
Di tahap kepala sekolah, ujarnya, 49,32 persen kepala sekolah menganggap UN sangat tidak tepat. Lalu di tingkat pengawas, sebanyak 41,77 persen juga menganggap UN sangat tidak tepat dilaksanakan.
(rsa)