Akhir dari tanduk Partai Demokrasi Indonesia

Selasa, 12 Maret 2013 - 19:34 WIB
Akhir dari tanduk Partai Demokrasi Indonesia
Akhir dari tanduk Partai Demokrasi Indonesia
A A A
PARTAI Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) pada 10 Maret 2013 lalu, bersama sembilan partai kecil lainnya secara resmi melebur diri ke Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Tak ada yang istimewa dengan nama partai ini. Kecuali, partai kecil yang tidak lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai partai politik peserta Pemilu 2014 mendatang.

Namun jika menilik sejarah, partai ini menyimpan cerita yang menarik di kancah politik nasional. PPDI yang terakhir dibesut oleh Sukarlan sebagai ketua umumnya, adalah pewaris tanduk banteng Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Ya, partai berlambang kepala banteng ini salah satu partai dari tiga partai resmi di era Orde Baru. Dua partai lainnya, Golongan Karya (Golkar), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai yang didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 ini merupakan fusi atau pengabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.

PPDI merupakan perubahan rupa alias transformasi dari PDI. Sistem politik di masa Orde Reformasi memaksa PDI bertransformasi agar bisa bertahan sebagai partai politik di Indonesia. Pasalnya, ketajaman tanduk banteng PDI memang tumpul setelah perlahan-lahan ditinggal pendukungnya.

Citra PDI merosot di mata pendukungnya setelah membuat sejarah kelam di akhir dasawarsa era Orde Baru.

Bermula dari langkah PDI untuk membawa kembali keluarga Soekarno ke kancah politik nasional. Diharapkan dengan membawa keluarga Soekarno dapat mendongkrak popularitas PDI. Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar suara PDI berasal dari massa PNI dan kaum Soekarnois.

Seiring berkembangnya semangat merehabilitasi nama Soekarno yang merupakan "Proklamator dan juga pencetus Pancasila", maka pada masa kepemimpinan Soerjadi, 1986, PDI membawa dua putra putri The Founding Father itu untuk bergabung.

Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra menandai kembalinya keluarga Soekarno ke kancah politik. Dua sosok putra putri Soekarno ini berefek besar pada PDI. Dalam pemilu 1987, PDI pun mendapatkan sambutan positif baik dari kaum Sukarnois (PNI) dan terutama juga golongan pemilih muda pemula.

Sayangnya romantisme PDI dengan keluarga Soekarno tidak bertahan lama.

Berawal dari popularitas keluarga Soekarno di tubuh PDI yang sangat luar biasa. Puncaknya mengantarkan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya, tahun 1993.

Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto rupanya tidak menyenangi popularitas keluarga Soekarno di PDI. Akhirnya Megawati didongkel dari tampuk pimpinan dalam Kongres PDI di Medan, 1996. Lalu mendudukkan Soerjadi di kursi Ketua Umum PDI.

Namun, Megawati tak mau diam begitu saja, dia melakukan perlawanan. Sehingga saat itu terjadi perpecahan di tubuh PDI. Sebutan PDI Soerjadi dan PDI Megawati pun mencuat.

Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Klimaks terjadi pada 27 Juli 1996. Pemerintah melalui tangan Soerjadi melakukan perebutan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, dari pendukung Megawati.

Peristiwa ini kemudian meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.

Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kerusuhan itu menyebabkan lima orang tewas, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, serta 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Peristiwa pada tanggal 27 Juli itu kemudian dikenal dengan istilah Kudatuli, yang merupakan akronim dari "kerusuhan 27 Juli".

Imbas Kudatuli berdampak negatif bagi PDI. Setahun berikutnya, PDI tak dapat berbicara banyak pada Pemilu 1997. Suara pemilih PDI pada Pemilu 1997 hanya 3.463.225 atau 3,06 persen suara pemilih.

PDI berada di urutan buncit dari tiga partai peserta pemilu, di bawah PPP dengan 25.340.028 (22,43 persen) suara pemilih, dan Golkar dengan perolehan suara nasional 84.187.907 atau 74,51 persen.

Kecilnya perolehan suara PDI dikarenakan sebagian besar massa yang merupakan pendukung Megawati menyalurkan suaranya ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Massa PDI Mega ini dikenal dengan istilah Mega Bintang.

Mulai tumpulnya tanduk PDI terasa di pemilu pertama Orde Reformasi, tahun 1999. PDI yang telah berganti kepengurusan, dengan Budi Hardjono sebagai ketua umumnya, kembali kehilangan suara.

PDI hanya mampu meraih 345.720 atau 0,33 persen suara pemilih nasional. Sementara Megawati yang mendirikan PDI tandingan dengan mengusung nama PDI Perjuangan (PDIP), mendulang kesuksesan.

PDIP keluar menjadi pemenang Pemilu 1999 dengan merebut 35.689.073 atau 33,74 persen suara pemilih nasional.

Keinginan ikut menjadi peserta Pemilu 2004 membuat PDI harus melakukan transformasi diri. Pasalnya, PDI tidak memenuhi ketentuan untuk menjadi peserta Pemilu 2004. PDI mengubah namanya menjadi PPDI.

Beruntung, pada Pemilu 2004 PPDI lolos menjadi partai peserta pemilu. Hasilnya, PPDI memperoleh suara 855.811 atau 0,75 persen suara nasional. PPDI mendapatkan satu kursi di DPR, bergabung dalam Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi.

Karena peroleh kursi di DPR, PPDI berhak untuk menjadi peserta Pemilu 2009. Sayangnya, tanduk PDI tak lagi menajam. PPDI hanya meraih 137.727 atau 0,13 persen suara nasional pada pemilu ini.

Tanduk PDI di PPDI sudah terlalu rapuh untuk menjangkau Pemilu 2014. PPDI tidak lolos dalam proses seleksi partai peserta Pemilu 2014 yang dilakukan oleh KPU. PPDI hanya lolos dalam tahap verifikasi awal, namun gagal dalam tahap verifikasi administrasi.

Agar tetap bisa berpartisipasi dalam Pemilu 2014, PPDI bersama sembilan partai kecil lainnya, meleburkan diri dengan partai besutan Wiranto.

Usai penandatangan MoU, Ketua Umum PPDI Sukarlan mengatakan, partainya dan Hanura memiliki visi dan misi yang sama, terutama tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Selain itu memiliki ideologi partai yang sama, dan komitmen yang sama untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Kegagalan PPDI lolos dari proses seleksi, tidak hanya dikarenakan ketidakpopulerannya sebagai transformasi PDI. Namun juga konflik internal yang terjadi sejak 2005, yakni dualisme kepengurusan.

Partai terbelah ke dalam dua kubu, yakni kubu Ketum Mentik Budiwiyono dengan Sekjen Joseph Williem Wea, dan kubu Ketum Endung Sutrisno dengan Sekjen V Joes Prananto.

Pada tahun 2008, menjelang Pemilu 2009, konflik ini sempat diberitakan makin kisruh. Namun selepas Pemilu 2009 tidak ada lagi kabar dari partai ini. Hingga akhirnya terdengar PPDI dengan ketua umumnya, Sukarlan, melebur dengan Hanura.

Bergabungnya PPDI ke Hanura sebagai tanda, tanduk banteng PDI sudah tak lagi bertuah. PPDI mengubur tanduk tersebut ke hati nurani rakyat.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4090 seconds (0.1#10.140)