Perubahan menuju kejayaan (2)-menciptakan peluang dengan teknologi

Jum'at, 01 Maret 2013 - 06:47 WIB
Perubahan menuju kejayaan...
Perubahan menuju kejayaan (2)-menciptakan peluang dengan teknologi
A A A
Salah satu isu yang mencuat ketika internet mulai dikenal pada era 1960- an adalah “kematian koran”. Penemuan world wide web oleh ilmuwan komputer asal Inggris Tim Berners-Lee pada 1990 dan diperbolehkan untuk penggunaan di seluruh dunia membuat orang dengan mudah mengakses informasi di internet.

Karena itu, Scott Fitzsimmons dalam komiknya menggambarkan bagaimana seorang anak penjual koran kehilangan pekerjaannya. Bukan rahasia lagi jika boominginternet di era 1990-an pada komputer pribadi dan perkembangan media sosial beberapa tahun terakhir makin menegaskan anggapan bahwa media online bakal membunuh media cetak, terutama koran. Malah Philip Meyer dalam bukunya The Vanishing Newspaper memprediksi koran benar-benar akan mati pada tahun 2043.

Dia menyebutkan internet akan mengambil alih peran informasi sebagai media utama untuk transmisi berita. Sebagian besar kalangan beranggapan koran akan mati lebih cepat mengingat tingkat perkembangan teknologi saat ini. Sebagai gambaran, menurut Badan Tenaga Kerja di Amerika Serikat (AS), pada 2010 industri jurnalisme AS kehilangan pekerjaan tiga kali lebih cepat daripada rata-rata industri.

Tingkat kehilangan pekerjaan bulanan di industri jurnalisme AS dilaporkan 22,23% dibanding rata-rata industri yang sebesar 8,1%. Sebelumnya, sejak 2009 sekitar 166 perusahaan surat kabar di AS kehilangan bisnis. Sebaliknya, jumlah pekerjaan pada berita online tumbuh cepat. Newspaper Death Watch menulis generasi tua saat ini masih memegang koran, sementara generasi muda lebih memilih online, blog, dan situs media sosial untuk mendapatkan berita. Untuk mengantisipasi kematian, perusahaan penerbitan surat kabar harus menyesuaikan diri dan berkembang dengan tuntutan arus saat ini.

Pola ini dilakukan New York Times yang membuat jendela berbayar di situs internet mereka. Awalnya pengunjung dapat melihat 20 artikel per bulan secara gratis,tapi setelah pengunjung merasa memerlukan berita yang diinginkan, mereka diharuskan berlangganan bulanan. NewYork Times,seperti juga hampir semua perusahaan surat kabar utama di AS, mau tak mau “memaksa” pembaca mereka untuk mengonsumsi konten online.

Hal ini mengindikasikan, perusahaan surat kabar harus berkembang sesuai dengan zaman baru. Menurut Onlinenewspapers. com, saat ini ada ribuan surat kabar online di hampir setiap negara di enam benua. Sementara menurut Editor and Publisher (E&P) pada 1997 terdapat 1.715 publikasi online di seluruh dunia. Angka ini naik 295 publikasi sejak 1 Juni 1996.Menariknya, semua situs dapat diakses secara bebas (free of charge).

Saat itu jumlah pengguna internet relatif kecil sehingga dianggap tidak menimbulkan ancaman nyata terhadap sirkulasi cetak. Tapi, penyebaran konektivitas broadband internet, ditambah kemajuan web, membuat penerbitan digital semakin marak.Apalagi saat ini berbagai aplikasi dan perangkat genggam seperti Amazon Kindle e-reader, Apple iPad, tablet Android, dan smartphone membuat orang semakin mudah mengakses berita.

Di masa lalu, pada awal 1991 misalnya, orang akan menunggu laporan koresponden CNNPeter Arnett via telepon satelit dari Baghdad setiap malam di televisi selama Perang Irak pertama. Orang juga sabar menunggu untuk membaca tentang hal itu di koran pagi sambil sarapan. Sekarang, berita semacam itu bisa diakses secara cepat. Sebut saja aksi militer Prancis di Mali dapat diakses secara online sebelum muncul di televisi, apalagi kalau harus menunggu untuk membaca melalui surat kabar esok harinya.

Kondisi semacam itu yang makin menegaskan media online terus dipilih dan koran disebut menuju gerbang kematian. Terlebih, industri koran telah menjadi usaha padat modal sejak awal.Perusahaan harus mempekerjakan ratusan atau ribuan jurnalis, fotografer, operator cetak, seniman tata letak, dan staf administrasi. Selain itu, sebelum era internet perusahaan koran harus mengandalkan berita asing pada laporan sindikasi dari kantor berita internasional yang biayanya cukup mahal.

Kehadiran web memberikan pilihan baru pada industri koran. Bangkok Post misalnya. Salah satu dari dua koran Thailand yang berbahasa Inggris ini memilih menambah fitur online pada Maret 1996. Menurut Theo den Brinker,Direktur Internet Bangkok Post, cara itu meningkatkan pendapatan. “Kami memperkirakan lebih dari 5.000 orang membaca beberapa bagian dari situs setiap hari atau 25.000 orang yang berbeda per minggu.

Sekitar 90% berasal dari luar negeri. Kami juga diakses lebih luas di seluruh dunia. Sebaliknya, kita tak menjual koran terlalu banyak,” papar Den Brinker. Apa yang dilakukan Bangkok Post menggambarkan bahwa migrasi pembaca dari cetak ke online adalah tren yang tak terhindarkan saat ini. Karena itu,futuris Ross Dawson dalam “Garis Waktu Kepunahan Koran” (Newspaper Timeline Extinction) memprediksi sebagian besar koran akan hilang di AS pada 2017, diikuti surat kabar di negara-negara lain pada tahun- tahun berikutnya.

Secara global, kecenderungan ini didorong kenaikan biaya kertas, agresivitas keberadaan tablet serta makin menguatnya aplikasi pembaca elektronik (e-reader), harga ponsel pintar yang lebih terjangkau, pengembangan performa kertas digital,dan serapan mekanisme monetisasi berita digital. Dawson menggarisbawahi bahwa “kepunahan” koran sangat bergantung pada sejumlah faktor seperti ketersediaan dan biaya bandwidth mobile, laju pertumbuhan ekonomi, kesetaraan distribusi kekayaan, kesenjangan kekayaan perkotaan dan regional, posisi keuangan koran, keseimbangan iklan cetak dan pendapatan penjualan, struktur distribusi koran, dan sebagainya.

Berdasarkan Newspaper Association of America (NAA) baru-baru ini, Dr Mark J Perry, profesor ekonomi dan keuangan Universitas Michigan, memperlihatkan sebuah grafik dalam bukunya Carpe Diem bahwa pendapatan iklan surat kabar cetak di AS mencapai sekitar USD65 miliar pada tahun 1999, kemudian terjun bebas ke USD19 miliar pada tahun 2012. “Pendapatan iklan cetak itu menjadi jumlah pendapatan tahunan terendah sejak 1950,” tulis Perry.

Sementara pendapatan online menunjukkan kenaikan sejak 2001 hingga mencapai USD22,4 miliar pada 2012. Tak mengherankan jika pada 1999 merupakan tipping point efek internet bagi industri penerbitan di AS. Pada 2011, menurut statistik NAA, iklan online naik USD207 juta dibandingkan 2010. Sebaliknya, iklan cetak turun USD2,1 miliar. Pada Oktober 2012, penelitian editor Mike Orcutt seperti dilansir MIT Technology Review menyebutkan, pada semester pertama 2012 perusahaan internet mengumpulkan pendapatan iklan sebesar USD17 miliar, meningkat 14% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Apakah sederet angka statistik itu menjadi sinyalemen bahwa koran di seluruh dunia akan mati? Perry secara tegas mengatakan tidak.Alasannya kembali ke masalah budaya, yaitu preferensi umum untuk membaca sesuatu di media cetak daripada online. Saat ini banyak orang membaca sebagian besar berita secara online. Tapi pada kesempatan lain mereka membaca surat kabar. Dalam pandangan mereka,membaca (via media cetak) lebih memberikan pengalaman daripada di web, khususnya membaca artikel gaya hidup, seni budaya, analisis mendalam.

Meski web dinilai menarik dengan navigasi yang mudah, jendela web terlalu kecil untuk menyajikan semuanya. Tidak seperti koran di mana setiap halaman berdiri sendiri. Karena itu,Perry mengibaratkan tren menuju pembaca digital hanyalah sebuah siklus sesaat di mana mereka akan kembali kepada media cetak. Hal ini ibarat perkembangan jam tangan digital yang populer pada era 1980-an, tetapi kemudian para pengguna kembali pada jam tangan analog pada era 1990-an sampai hari ini.

Hal yang sama juga terjadi dengan perkembangan video VHS yang bisa diputar di rumah. Begitu juga dengan perkembangan video compact disc (CD). Perkembangan itu seharusnya menyebabkan bioskop gulung tikar. Tapi,yang terjadi saat ini banyak orang rela membayar 10 kali lipat dari harga VHS atau CD untuk menonton film di salah satu sinepleks mewah di mal. Jadi industri penerbit harus beradaptasi dan melakukan transisi. Merangkul perubahan teknologi yang cepat untuk tetap bertahan dan meraih keuntungan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0571 seconds (0.1#10.140)