Kemenkum HAM diminta jalani putusan MK soal KUHAP
A
A
A
Sindonews.com - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) diminta untuk menjalani putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Apapun namanya, kalau sudah putusan MK, suka tidak suka harus dijalankan. Setuju tidak setuju, harus dilaksanakan. Karena hal tersebut adalah undang-undang," tegas Kata Ketua KOmisi III DPR Gede Pasek Suardika ketika dihubungi wartawan, Kamis (21/2/2013).
Dia menambahkan, putusan MK tanggal 22 November 2012 tidak bersifat retroaktif. Maka semua putusan pemidanaan sebelum tanggal tersebut, sesuai ketentuan pasal 197 ayat (2) putusan itu adalah batal demi hukum.
Sehingga putusan itu, tidak dapat dieksekusi dan yang sudah dieksekusi wajib dibebaskan demi hukum.
Sebagai aparat penegak hukum, politikus Partai Demokrat ini menyatakan, Kemenkum HAM yang dipimpin menteri asal Partai Demokrat Amir Syamsuddin dan jajarannya, khususnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Lapas wajib mematuhi putusan MK itu.
"Terlebih Kemenkum HAM adalah kementerian yang membidangi hukum, dan semua ketentuan undang-undang wajib dipatuhi," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, hakim MK memutuskan, pada 22 November 2012, pemidanaan yang tidak memenuhi pasal 197 KUHAP khususnya huruf k terkait pemidanaan memang tidak batal demi hukum.
MK juga memutuskan untuk menghapuskan huruf k dari pasal 197 ayat (1) KUHAP, dan menetapkan bahwa rumusan dari ayat 2 dari pasal 197 itu tidak mencantumkan lagi huruf k.
"Tetapi oleh mahkamah dibilang tidak batal lagi sejak dibacakan putusan itu. Dengan logika hukum itu, maka sudah otomatis putusan yang sebelumnya yang tidak memenuhi syarat formal pemidanaan dikatakan batal demi hukum dan putusan yang batal demi hukum itu cacat hukum, dan yang sudah dieksekusi harus dibebaskan," terangnya.
"Apapun namanya, kalau sudah putusan MK, suka tidak suka harus dijalankan. Setuju tidak setuju, harus dilaksanakan. Karena hal tersebut adalah undang-undang," tegas Kata Ketua KOmisi III DPR Gede Pasek Suardika ketika dihubungi wartawan, Kamis (21/2/2013).
Dia menambahkan, putusan MK tanggal 22 November 2012 tidak bersifat retroaktif. Maka semua putusan pemidanaan sebelum tanggal tersebut, sesuai ketentuan pasal 197 ayat (2) putusan itu adalah batal demi hukum.
Sehingga putusan itu, tidak dapat dieksekusi dan yang sudah dieksekusi wajib dibebaskan demi hukum.
Sebagai aparat penegak hukum, politikus Partai Demokrat ini menyatakan, Kemenkum HAM yang dipimpin menteri asal Partai Demokrat Amir Syamsuddin dan jajarannya, khususnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Lapas wajib mematuhi putusan MK itu.
"Terlebih Kemenkum HAM adalah kementerian yang membidangi hukum, dan semua ketentuan undang-undang wajib dipatuhi," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, hakim MK memutuskan, pada 22 November 2012, pemidanaan yang tidak memenuhi pasal 197 KUHAP khususnya huruf k terkait pemidanaan memang tidak batal demi hukum.
MK juga memutuskan untuk menghapuskan huruf k dari pasal 197 ayat (1) KUHAP, dan menetapkan bahwa rumusan dari ayat 2 dari pasal 197 itu tidak mencantumkan lagi huruf k.
"Tetapi oleh mahkamah dibilang tidak batal lagi sejak dibacakan putusan itu. Dengan logika hukum itu, maka sudah otomatis putusan yang sebelumnya yang tidak memenuhi syarat formal pemidanaan dikatakan batal demi hukum dan putusan yang batal demi hukum itu cacat hukum, dan yang sudah dieksekusi harus dibebaskan," terangnya.
(mhd)