Mendesak penetapan tersangka, SBY langgar etika hukum
A
A
A
Sindonews.com - Pernyataan yang berujung pada tindakan intervensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk segera memutuskan status hukum Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dianggap sebagai sebuah pelanggaran etika hukum.
Pasalnya, SBY meski menjabat sebagai pucuk pimpinan tertinggi di Indonesia, tidak mempunyai kewenangan untuk mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menentukan nasib Anas, yang disebut-sebut terlibat dalam dugaan korupsi Hambalang.
“Iya ada pelanggaran etika hukum yang dilakukan SBY. Pernyataannya sudah tekanan untuk menjadikan Anas sebagai tersangka. Karena sebagai kepala negara dia tidak bisa mengintervensi,“ kata pengamat hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana saat dihubungi Sindonews, Selasa (5/2/2013).
Gandjar mempertanyakan pemahaman hukum SBY, hingga akhirnya bisa menjadi presiden. Hal itu dikarenakan, SBY seharusnya bisa mengerti untuk bisa menetapkan seseorang menjadi tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti yang cukup.
“Jadi penetapan tersangka itu harus berdasarkan fakta dan bukti, bukan pertimbangan apakah Demokrat membutuhkan status Anas sebagai tersangka atau tidak,“ tegasnya.
Seperti diberitakan Sindonews sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY secara tegas meminta, KPK untuk segera menuntaskan sejumlah kasus yang menimpa kader Partai Demokrat, termasuk Anas.
Kata SBY, jika seorang kader partai berlambang bintang mercy itu dinyatakan bersalah, pihaknya akan menerima kenyataan tersebut. Namun, jika seorang kader partai Demokrat itu dinyatakan tak bersalah, pihaknya ingin dijelaskan, mengapa dinyatakan tak bersalah.
"Jika salah, ya kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kami juga ingin tahu kalau itu tidak salah. Termasuk Ketua Umum PD, Anas Urbanigrum yang juga diperiksa dan dicitrakan publik secara luas di tanah air sebagai bersalah atau terlibat dalam korupsi ini, meskipun KPK belum menentukan hasil pemeriksaan," ujar Presiden SBY di Jeddah, Arab Saudi, Senin 4 Februari 2013.
Pasalnya, SBY meski menjabat sebagai pucuk pimpinan tertinggi di Indonesia, tidak mempunyai kewenangan untuk mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menentukan nasib Anas, yang disebut-sebut terlibat dalam dugaan korupsi Hambalang.
“Iya ada pelanggaran etika hukum yang dilakukan SBY. Pernyataannya sudah tekanan untuk menjadikan Anas sebagai tersangka. Karena sebagai kepala negara dia tidak bisa mengintervensi,“ kata pengamat hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana saat dihubungi Sindonews, Selasa (5/2/2013).
Gandjar mempertanyakan pemahaman hukum SBY, hingga akhirnya bisa menjadi presiden. Hal itu dikarenakan, SBY seharusnya bisa mengerti untuk bisa menetapkan seseorang menjadi tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti yang cukup.
“Jadi penetapan tersangka itu harus berdasarkan fakta dan bukti, bukan pertimbangan apakah Demokrat membutuhkan status Anas sebagai tersangka atau tidak,“ tegasnya.
Seperti diberitakan Sindonews sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY secara tegas meminta, KPK untuk segera menuntaskan sejumlah kasus yang menimpa kader Partai Demokrat, termasuk Anas.
Kata SBY, jika seorang kader partai berlambang bintang mercy itu dinyatakan bersalah, pihaknya akan menerima kenyataan tersebut. Namun, jika seorang kader partai Demokrat itu dinyatakan tak bersalah, pihaknya ingin dijelaskan, mengapa dinyatakan tak bersalah.
"Jika salah, ya kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kami juga ingin tahu kalau itu tidak salah. Termasuk Ketua Umum PD, Anas Urbanigrum yang juga diperiksa dan dicitrakan publik secara luas di tanah air sebagai bersalah atau terlibat dalam korupsi ini, meskipun KPK belum menentukan hasil pemeriksaan," ujar Presiden SBY di Jeddah, Arab Saudi, Senin 4 Februari 2013.
(maf)