Pemerintah miskin implementasi kebijakan pro rakyat
Rabu, 03 Oktober 2012 - 17:07 WIB

Pemerintah miskin implementasi kebijakan pro rakyat
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Poempida Hidayatulloh menilai pemerintah miskin implementasi kebijakan yang telah dibuatnya selama ini. Konsep pro job, pro growth dan pro poor yang sering didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih sekedar wacana.
"Pemerintah harus pro job, pro growth, tetapi tetap miskin diimplementasi atau follow up. Sejauh ini konsep tersebut belum terlihat. Pemerintah harus tetap mengimplementasikan konsep tersebut dari grand design yang telah dicanangkan," ujar Poempida di Jakarta, Rabu (3/10/2012).
Berkaitan dengan kebijakan, lanjutnya yang terpenting adalah pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan dibarengi pengawasan. Bukan malah sebaliknya, anggaran untuk pengawasan lebih kepada hitungan kualitas semata-mata, tetapi harus ada sinergitas antara kualitas dan kuantitas.
"Kurangnya pengawasan karena adanya kelemahan sosialisasi dalam konteks pekerjaan atau tenaga kerja yang dimaksud sebagai outsourcing, karena yang diatur undang-undang adalah pekerjaannya, bukan tenaga kerjanya yang sebagai outsourcing," terangnya.
Ditambahkan dia, walaupun pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi meningkat, namun tidak ada korelasi dengan kesejahteraan buruh, karena tidak terpenuhinya kebutuhan hidup layak tersebut. Tidak adanya kontrak permanen dan kepastian pengangkatan karyawan menjadi sebab terjadinya mogok nasional hari ini.
"Disektor migas atau perminyakan, aturan kontrak pekerja di sana (migas) adalah 3 tahun. Bagaimana bisa merekrut pekerja menjadi permanen, jika regulasinya tumpang tindih?" tanyanya.
Dari sudut pandang pengusaha, sebenarnya para pengusaha berada dalam posisi dilematis. Poempida mencontohkan, seperti proses tender proyek pertahunan atau tiga tahunan, sehingga banyak terjadi outsorcing. Dengan demikian, hal ini menyebabkan pengusaha tidak bisa merekrut secara permanen.
"Regulasi tersebut seharusnya dibuat lima atau 10 tahun, bukan dibuat maksimal tiga tahun, karena sebenarnya mereka (pegawai migas) dikontrak selama 30 tahun," lanjutnya.
Poempida menambahkan, selama ini ada mekanisme atau sistem yang salah dalam perselisihan hubungan industrial (PHI). Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebagai asosiasi pengusaha selama ini tidak pernah diatur dalam undang-undang, sebaliknya yang diatur undang-undang adalah Kadin.
"Apindo hanyalah sebagian kecil dari Kadin, dan mandat Apindo dari Kadin berakhir tahun 2008. Kadin yang keberadaannya diatur undang-undang seharusya yang mewakili pengusaha untuk mengawal hubungan antara pengusaha dan buruh," tukasnya.
"Pemerintah harus pro job, pro growth, tetapi tetap miskin diimplementasi atau follow up. Sejauh ini konsep tersebut belum terlihat. Pemerintah harus tetap mengimplementasikan konsep tersebut dari grand design yang telah dicanangkan," ujar Poempida di Jakarta, Rabu (3/10/2012).
Berkaitan dengan kebijakan, lanjutnya yang terpenting adalah pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan dibarengi pengawasan. Bukan malah sebaliknya, anggaran untuk pengawasan lebih kepada hitungan kualitas semata-mata, tetapi harus ada sinergitas antara kualitas dan kuantitas.
"Kurangnya pengawasan karena adanya kelemahan sosialisasi dalam konteks pekerjaan atau tenaga kerja yang dimaksud sebagai outsourcing, karena yang diatur undang-undang adalah pekerjaannya, bukan tenaga kerjanya yang sebagai outsourcing," terangnya.
Ditambahkan dia, walaupun pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi meningkat, namun tidak ada korelasi dengan kesejahteraan buruh, karena tidak terpenuhinya kebutuhan hidup layak tersebut. Tidak adanya kontrak permanen dan kepastian pengangkatan karyawan menjadi sebab terjadinya mogok nasional hari ini.
"Disektor migas atau perminyakan, aturan kontrak pekerja di sana (migas) adalah 3 tahun. Bagaimana bisa merekrut pekerja menjadi permanen, jika regulasinya tumpang tindih?" tanyanya.
Dari sudut pandang pengusaha, sebenarnya para pengusaha berada dalam posisi dilematis. Poempida mencontohkan, seperti proses tender proyek pertahunan atau tiga tahunan, sehingga banyak terjadi outsorcing. Dengan demikian, hal ini menyebabkan pengusaha tidak bisa merekrut secara permanen.
"Regulasi tersebut seharusnya dibuat lima atau 10 tahun, bukan dibuat maksimal tiga tahun, karena sebenarnya mereka (pegawai migas) dikontrak selama 30 tahun," lanjutnya.
Poempida menambahkan, selama ini ada mekanisme atau sistem yang salah dalam perselisihan hubungan industrial (PHI). Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebagai asosiasi pengusaha selama ini tidak pernah diatur dalam undang-undang, sebaliknya yang diatur undang-undang adalah Kadin.
"Apindo hanyalah sebagian kecil dari Kadin, dan mandat Apindo dari Kadin berakhir tahun 2008. Kadin yang keberadaannya diatur undang-undang seharusya yang mewakili pengusaha untuk mengawal hubungan antara pengusaha dan buruh," tukasnya.
(san)