Keuangan parpol tertutup picu korupsi
A
A
A
Sindonews.com – Aturan Undang-Undang (UU) 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mensyaratkan agar partai politik (parpol) wajib membuat laporan keuangan dan terbuka untuk diketahui publik.
Namun, mayoritas parpol yang ada di parlemen tidak melakukan itu. Mereka tidak pernah memublikasikan laporan keuangannya. Hal ini dinilai rawan memicu ruang korupsi melalui parpol. Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Apung Widadi mengatakan, pada April 2012, ICW pernah meminta laporan keuangan untuk tahun anggaran 2010–2011 terhadap sembilan parpol di parlemen. Namun, hingga saat ini belum satu pun parpol yang melaporkan secara penuh.
Padahal, Pasal 15 huruf b UU 14/2008 tentang KIP dan Pasal 39 ayat 3 UU 2/2011 tentang Parpol, telah menyebutkan bahwa parpol wajib membuat laporan keuangan dan terbuka untuk publik. Menurut Apung, hanya PKS, Partai Gerindra, dan Partai Hanura yang telah memberikan laporan keuangan mereka,meski belum sepenuhnya.
“Parpol lebih cenderung sebagai lembaga yang korup, tidak transparan, dan tidak akuntabel mengenai anggaran. Faktanya, dana parpol yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah, sama sekali tidak terdokumentasikan dalam laporan keuangan mereka. Karena itu, parpol rawan sebagai lembaga pencucian uang," tandas Apung di Jakarta, Selasa 26 Juni 2012.
Dia mengatakan, ke-9 parpol yang berada di parlemen itu cenderung tertutup mengenai laporan keuangan disebabkan beberapa faktor. Pertama, parpol tidak memiliki prosedur keuangan yang baik sehingga tidak bisa melaporkan. Kedua, tidak ada komitmen terbuka kepada masyarakat, sehingga permintaan dari publik pun diabaikan hingga 30 hari lamanya. Ketiga, ada dugaan bahwa ketertutupan ini merupakan kesengajaan karena selama ini parpol tidak bisa disentuh atau tidak bisa dijerat oleh hukum yang bisa dijerat hanya oknum-oknumnya.
“Padahal, keterbukaan parpol bisa menjadi sarana kampanye yang cukup bagus. Dengan melaporkan keuangan ke publik, citra parpol akan terangkat. Sebaliknya, ketika parpol tidak merespons publik, publik akan menduga ada kecenderungan korupsi di parpol,” tandasnya.
Apung mengatakan, ada banyak contoh kasus di mana parpol menjadi kendaraan untuk berkorupsi. Dia pun mencontohkan kasus mantan Wakil Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. “Nazaruddin pernah mengatakan bahwa sumber dana partai berasal dari yang tidak layak,” ujarnya.
Kemudian, kasus Wa Ode Nurhayati yang notabene merupakan politikus Partai Amanat Nasional (PAN). Dan kasus mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom, di mana dananya mengalir ke sejumlah anggota DPR yang juga elite parpol.
“Politisi yang korupsi pasti mengalir ke parpol, namun faktanya yang dijerat hanya aktor-aktornya saja, tidak ada hukuman moral untuk parpol yang melakukan korupsi dan memanfaatkan sumber dana yang berasal dari yang tidak wajar itu," tukasnya.
Apung mengatakan, solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah setiap pendaftaran parpol di Kemenkumham, perlu mencantumkan sumber dan jumlah nominal dana yang dimiliki.
Menanggapi hal tersebut, Wasekjen DPP Partai Demokrat Saan Mustopa mengatakan bahwa Partai Demokrat sudah melaporkan keuangan partai ke Kemendagri dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karena itu, ujarnya, jika terdapat penafsiran negatif terhadap laporan keuangan Demokrat, hal itu tidak perlu dipermasalahkan. (lil)
Namun, mayoritas parpol yang ada di parlemen tidak melakukan itu. Mereka tidak pernah memublikasikan laporan keuangannya. Hal ini dinilai rawan memicu ruang korupsi melalui parpol. Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Apung Widadi mengatakan, pada April 2012, ICW pernah meminta laporan keuangan untuk tahun anggaran 2010–2011 terhadap sembilan parpol di parlemen. Namun, hingga saat ini belum satu pun parpol yang melaporkan secara penuh.
Padahal, Pasal 15 huruf b UU 14/2008 tentang KIP dan Pasal 39 ayat 3 UU 2/2011 tentang Parpol, telah menyebutkan bahwa parpol wajib membuat laporan keuangan dan terbuka untuk publik. Menurut Apung, hanya PKS, Partai Gerindra, dan Partai Hanura yang telah memberikan laporan keuangan mereka,meski belum sepenuhnya.
“Parpol lebih cenderung sebagai lembaga yang korup, tidak transparan, dan tidak akuntabel mengenai anggaran. Faktanya, dana parpol yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah, sama sekali tidak terdokumentasikan dalam laporan keuangan mereka. Karena itu, parpol rawan sebagai lembaga pencucian uang," tandas Apung di Jakarta, Selasa 26 Juni 2012.
Dia mengatakan, ke-9 parpol yang berada di parlemen itu cenderung tertutup mengenai laporan keuangan disebabkan beberapa faktor. Pertama, parpol tidak memiliki prosedur keuangan yang baik sehingga tidak bisa melaporkan. Kedua, tidak ada komitmen terbuka kepada masyarakat, sehingga permintaan dari publik pun diabaikan hingga 30 hari lamanya. Ketiga, ada dugaan bahwa ketertutupan ini merupakan kesengajaan karena selama ini parpol tidak bisa disentuh atau tidak bisa dijerat oleh hukum yang bisa dijerat hanya oknum-oknumnya.
“Padahal, keterbukaan parpol bisa menjadi sarana kampanye yang cukup bagus. Dengan melaporkan keuangan ke publik, citra parpol akan terangkat. Sebaliknya, ketika parpol tidak merespons publik, publik akan menduga ada kecenderungan korupsi di parpol,” tandasnya.
Apung mengatakan, ada banyak contoh kasus di mana parpol menjadi kendaraan untuk berkorupsi. Dia pun mencontohkan kasus mantan Wakil Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. “Nazaruddin pernah mengatakan bahwa sumber dana partai berasal dari yang tidak layak,” ujarnya.
Kemudian, kasus Wa Ode Nurhayati yang notabene merupakan politikus Partai Amanat Nasional (PAN). Dan kasus mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom, di mana dananya mengalir ke sejumlah anggota DPR yang juga elite parpol.
“Politisi yang korupsi pasti mengalir ke parpol, namun faktanya yang dijerat hanya aktor-aktornya saja, tidak ada hukuman moral untuk parpol yang melakukan korupsi dan memanfaatkan sumber dana yang berasal dari yang tidak wajar itu," tukasnya.
Apung mengatakan, solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah setiap pendaftaran parpol di Kemenkumham, perlu mencantumkan sumber dan jumlah nominal dana yang dimiliki.
Menanggapi hal tersebut, Wasekjen DPP Partai Demokrat Saan Mustopa mengatakan bahwa Partai Demokrat sudah melaporkan keuangan partai ke Kemendagri dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karena itu, ujarnya, jika terdapat penafsiran negatif terhadap laporan keuangan Demokrat, hal itu tidak perlu dipermasalahkan. (lil)
()