Pembangunan berkelanjutan mandiri
A
A
A
Seperti sudah diduga sebelumnya, KTT Rio+20 pada 20 Juni 2012 hingga 22 Juni 2012 lalu tidak menghasilkan keputusan bersama yang mengikat semua pesertanya.
Keegoisan masing-masing peserta sangat tampak sehingga target bersama mengenai kelestarian bumi tampaknya masih harus menunggu lebih lama lagi. Terlihat tak ada kepemimpinan dalam isu penyelamatan lingkungan. KTT tersebut layaknya menjadi sebuah seremoni tahunan mengenai isu lingkungan. Setelah seremoni usai, semua berjalan seperti biasa. Pencemaran tetap berjalan dalam tataran business as usual.
Kebuntuan itu memang sangat wajar karena masing-masing peserta memperhatikan national interest yang menjadi dasar pijakan bagi setiap aksi internasional yang dilakukan. Negara-negara maju sudah barang tentu ingin tetap mempertahankan berputarnya roda ekonomi mereka dengan segala macam industri yang mereka miliki yang sangat mencemari bumi. Janji-janji lebih jauh mengenai langkah bersama dalam menjaga kelestarian bumi tentu akan bermakna sebagai pos pengeluaran baru.
Konsep itu jelas tak akan menjadi opsi bagi negara-negara maju dalam waktu dekat yang saat ini umumnya sedang dijangkiti resesi global. Sementara negara miskin dan emerging economies ingin mendorong kemajuan mereka lebih jauh lagi. Sebab itu, mereka juga membutuhkan energi lebih banyak dari sebelumnya. Jika mereka memberikan janji-janji besar dalam bidang pelestarian bumi, tentu akan menghambat kemajuan ekonomi mereka. Hal seperti inilah yang dihadapi Brasil, Rusia, India, China, serta Afrika Selatan (yang biasa disebut BRICS) serta juga seharusnya Indonesia.
Lalu, dalam konteks seperti itu, apakah standing position Indonesia yang masih saja berusaha memetik keuntungan dari masalah pelestarian lingkungan masih relevan? Negara ini masih sangat yakin konsep carbon trading yang merupakan turunan dari konsep Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) masih akan memberikan keuntungan devisa. Dengan negara-negara dunia yang dalam beberapa tahun ke depan tampaknya masih akan terus berpikir pragmatis mengamankan national interest-nya, sudah semestinya harapan itu direvisi.
Kita tak perlu berharap uang pelestarian lingkungan. Yang harusnya kita harapkan adalah keuntungan dari menggunakan lingkungan kita dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara mandiri. Ini wake up call. Jangan lagi mengharapkan forum-forum seperti itu untuk memberikan easy money. Indonesia harus maju sendiri manfaatkan sumber daya yang ada secara maksimal. Jangan karena berharap nilai positif untuk mendapatkan devisa dari carbon trading, akhirnya Indonesia kesulitan memanfaatkan hutannya. Lupakan saja konsep itu.
Yang diperlukan adalah bagaimana memaksimalkan penggunaan hutan sekaligus menjaga kelestariannya. Tumpukan peraturan sudah kita miliki, tapi pelaksanaannya yang nyaris nol. Misalnya ketika ada konversi hutan untuk tanaman sawit, harus ada penghijauan yang skalanya setara. Hal yang sama juga harus dilakukan misalnya saat hutan dibuka untuk mengambil barang tambang. Selain itu, maksimalkanlah juga sumber daya tidak terbarukan yang kita miliki. Langkah seperti bea keluar tambang adalah salah satu langkah jitu. Dari jumlah barang yang sama memang sudah semestinya added value dikejar semaksimal mungkin.
Eksesnya memang akan buruk. Beberapa perusahaan tambang yang tak sanggup melakukan efisiensi akan menurun performanya. Namun, ini langkah yang harus diambil. Jangan sampai langkah seperti ini hanya menjadi langkah gertak sambal, apalagi sampai berkembang menjadi ekonomi rent seeking.
Keegoisan masing-masing peserta sangat tampak sehingga target bersama mengenai kelestarian bumi tampaknya masih harus menunggu lebih lama lagi. Terlihat tak ada kepemimpinan dalam isu penyelamatan lingkungan. KTT tersebut layaknya menjadi sebuah seremoni tahunan mengenai isu lingkungan. Setelah seremoni usai, semua berjalan seperti biasa. Pencemaran tetap berjalan dalam tataran business as usual.
Kebuntuan itu memang sangat wajar karena masing-masing peserta memperhatikan national interest yang menjadi dasar pijakan bagi setiap aksi internasional yang dilakukan. Negara-negara maju sudah barang tentu ingin tetap mempertahankan berputarnya roda ekonomi mereka dengan segala macam industri yang mereka miliki yang sangat mencemari bumi. Janji-janji lebih jauh mengenai langkah bersama dalam menjaga kelestarian bumi tentu akan bermakna sebagai pos pengeluaran baru.
Konsep itu jelas tak akan menjadi opsi bagi negara-negara maju dalam waktu dekat yang saat ini umumnya sedang dijangkiti resesi global. Sementara negara miskin dan emerging economies ingin mendorong kemajuan mereka lebih jauh lagi. Sebab itu, mereka juga membutuhkan energi lebih banyak dari sebelumnya. Jika mereka memberikan janji-janji besar dalam bidang pelestarian bumi, tentu akan menghambat kemajuan ekonomi mereka. Hal seperti inilah yang dihadapi Brasil, Rusia, India, China, serta Afrika Selatan (yang biasa disebut BRICS) serta juga seharusnya Indonesia.
Lalu, dalam konteks seperti itu, apakah standing position Indonesia yang masih saja berusaha memetik keuntungan dari masalah pelestarian lingkungan masih relevan? Negara ini masih sangat yakin konsep carbon trading yang merupakan turunan dari konsep Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) masih akan memberikan keuntungan devisa. Dengan negara-negara dunia yang dalam beberapa tahun ke depan tampaknya masih akan terus berpikir pragmatis mengamankan national interest-nya, sudah semestinya harapan itu direvisi.
Kita tak perlu berharap uang pelestarian lingkungan. Yang harusnya kita harapkan adalah keuntungan dari menggunakan lingkungan kita dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara mandiri. Ini wake up call. Jangan lagi mengharapkan forum-forum seperti itu untuk memberikan easy money. Indonesia harus maju sendiri manfaatkan sumber daya yang ada secara maksimal. Jangan karena berharap nilai positif untuk mendapatkan devisa dari carbon trading, akhirnya Indonesia kesulitan memanfaatkan hutannya. Lupakan saja konsep itu.
Yang diperlukan adalah bagaimana memaksimalkan penggunaan hutan sekaligus menjaga kelestariannya. Tumpukan peraturan sudah kita miliki, tapi pelaksanaannya yang nyaris nol. Misalnya ketika ada konversi hutan untuk tanaman sawit, harus ada penghijauan yang skalanya setara. Hal yang sama juga harus dilakukan misalnya saat hutan dibuka untuk mengambil barang tambang. Selain itu, maksimalkanlah juga sumber daya tidak terbarukan yang kita miliki. Langkah seperti bea keluar tambang adalah salah satu langkah jitu. Dari jumlah barang yang sama memang sudah semestinya added value dikejar semaksimal mungkin.
Eksesnya memang akan buruk. Beberapa perusahaan tambang yang tak sanggup melakukan efisiensi akan menurun performanya. Namun, ini langkah yang harus diambil. Jangan sampai langkah seperti ini hanya menjadi langkah gertak sambal, apalagi sampai berkembang menjadi ekonomi rent seeking.
()