Perkuat fungsi dan kewenangan lokal
A
A
A
Sindonews.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa akan diarahkan untuk memperkuat fungsi dan kewenangan lokal. Ketua Pansus RUU Desa Akhmad Muqowam mengatakan, regulasi untuk desa sebenarnya sudah ada sejak zaman Orde Lama, tapi tidak berjalan efektif.
Kemudian pada Orde Baru diproduksi lagi regulasi baru yaitu UU 5 Tahun 1974 dan UU 5 Tahun 1979. Namun, substansinya masih mengamputasi fungsi dan peran desa dalam melakukan kebijakan lokal. Itulah yang menjadikan desa pada zaman Orde Baru sebagai agen politik.
“Sebenarnya sudah ada UU 5 Tahun 1974 dan UU 5 Tahun 1979, tetapi sekali lagi desa masih belum bisa berperan sebagi subjek pembangunan. Desa hanya menjadi objek saja dalam berbagai hal. Karena itu, reformasi perlu dilakukan terhadap UU itu,” tandas Muqowam di Jakarta, Minggu 24 Juni 2012.
Muqowam mengatakan, selama ini masih banyak paradigma mengenai desa yang tidak sesuai lokal di mana desa itu berada. Lokalitas di Sumatera Barat dan Papua tidak semua diatur dengan baik dalam UU sebelumnya. Intensitas pada persoalan-persoalan lokal dan kinerja-kinerja desa sudah dihitung karena itu tidak bisa diceraikan. Setelah itu, lanjutnya, lahir UU 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004.
Menurut dia, dalam dua UU ini sudah banyak kemajuan. Meski demikian, secara umum masih belum sempurna karena hanya memuat struktur dan tidak mengatur kewenangan secara jelas. “Fokus terhadap RUU Desa ini penting dilakukan agar ke depan kita bisa menata berdasarkan fungsi lokal dan kepemerintahan. Bagaimana kita bisa mencari tumpuan agar menjadi acuan bagi masyarakat,” ungkapnya.
Ketua Persatuan Perangkat Desa (Parade) Nusantara Sudir Santoso mengatakan, sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga masa Era Reformasi, setiap ada UU yang mengatur pemerintah desa atau desa, itu hanya memberikan kewajiban tanpa diberi hak dan kewenangan.
Hal ini melanggar substansi aturan baku dalam UU Tata Negara dan UU Administrasi Negara. “Posisi pemerintah desa selalu lemah. Karena itu, dalam RUU Desa ini, kami ingin teman-teman DPR memperjuangkan agar pemerintah desa atau desa diberi hak, kewajiban, dan kewenangan,” tandasnya.
Dia mencontohkan, seluruh pasar desa di Pulau Jawa sekarang ini cenderung lesu karena banyak kios-kios yang mati karena maraknya toko-toko modern. Menurut dia, desa tidak bisa melarang karena dalam aturan UU, desa tidak memiliki kewenangan dan hak.
Menurut dia, ketika supradesa seperti bupati, gubernur, dan wali kota memberi izin kepada toko-toko modern di desa, tidak ada kewenangan untuk menolak. Selain itu, sebanyak 67% sumber mata air baik di desa maupun di gunung dikuasai oleh perusahaan air atas konsesi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. “Karena itu, penting dalam RUU Desa ini ada tiga hal yang harus dilengkapi yakni kewenangan, hak, dan kewajiban untuk desa,” paparnya.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Ari Sujito menyatakan, substansi RUU Desa versi pemerintah memang mengalami banyak kemunduran. Pemerintah tidak cermat merespons tuntutan masyarakat desa yaitu pengakuan atas sejarah dan pluralitas desa. Dengan kemajemukan itu, harus dibuat tipologi sesuai konteks daerahnya. Hal itu penting untuk menghargai desa sebagai bagian dari negara.
Selain itu, perlunya penataan agraria terutama status-status tanah di desa. Ari mengatakan, selama ini tanah-tanah di desa banyak sekali yang sudah diserobot oleh pemilik modal. Dengan demikian, negara harus melakukan proteksi karena bagaimanapun 75% masyarakat tinggal di desa dan penghidupan mereka berasal dari tanah.
“Jika pengakuan dan proteksi terhadap tanah ini tidak dilakukan, akan timbul gejolak kasus yang terjadi selama ini di desa,” tandasnya.
Dia pun meminta agar kewenangan terhadap desa bisa dipaparkan dengan jelas dalam RUU yang sedang digodok oleh DPR ini. “Ini akan menunjukkan komitmen negara terhadap masyarakat desa,” pungkasnya. (lil)
Kemudian pada Orde Baru diproduksi lagi regulasi baru yaitu UU 5 Tahun 1974 dan UU 5 Tahun 1979. Namun, substansinya masih mengamputasi fungsi dan peran desa dalam melakukan kebijakan lokal. Itulah yang menjadikan desa pada zaman Orde Baru sebagai agen politik.
“Sebenarnya sudah ada UU 5 Tahun 1974 dan UU 5 Tahun 1979, tetapi sekali lagi desa masih belum bisa berperan sebagi subjek pembangunan. Desa hanya menjadi objek saja dalam berbagai hal. Karena itu, reformasi perlu dilakukan terhadap UU itu,” tandas Muqowam di Jakarta, Minggu 24 Juni 2012.
Muqowam mengatakan, selama ini masih banyak paradigma mengenai desa yang tidak sesuai lokal di mana desa itu berada. Lokalitas di Sumatera Barat dan Papua tidak semua diatur dengan baik dalam UU sebelumnya. Intensitas pada persoalan-persoalan lokal dan kinerja-kinerja desa sudah dihitung karena itu tidak bisa diceraikan. Setelah itu, lanjutnya, lahir UU 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004.
Menurut dia, dalam dua UU ini sudah banyak kemajuan. Meski demikian, secara umum masih belum sempurna karena hanya memuat struktur dan tidak mengatur kewenangan secara jelas. “Fokus terhadap RUU Desa ini penting dilakukan agar ke depan kita bisa menata berdasarkan fungsi lokal dan kepemerintahan. Bagaimana kita bisa mencari tumpuan agar menjadi acuan bagi masyarakat,” ungkapnya.
Ketua Persatuan Perangkat Desa (Parade) Nusantara Sudir Santoso mengatakan, sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga masa Era Reformasi, setiap ada UU yang mengatur pemerintah desa atau desa, itu hanya memberikan kewajiban tanpa diberi hak dan kewenangan.
Hal ini melanggar substansi aturan baku dalam UU Tata Negara dan UU Administrasi Negara. “Posisi pemerintah desa selalu lemah. Karena itu, dalam RUU Desa ini, kami ingin teman-teman DPR memperjuangkan agar pemerintah desa atau desa diberi hak, kewajiban, dan kewenangan,” tandasnya.
Dia mencontohkan, seluruh pasar desa di Pulau Jawa sekarang ini cenderung lesu karena banyak kios-kios yang mati karena maraknya toko-toko modern. Menurut dia, desa tidak bisa melarang karena dalam aturan UU, desa tidak memiliki kewenangan dan hak.
Menurut dia, ketika supradesa seperti bupati, gubernur, dan wali kota memberi izin kepada toko-toko modern di desa, tidak ada kewenangan untuk menolak. Selain itu, sebanyak 67% sumber mata air baik di desa maupun di gunung dikuasai oleh perusahaan air atas konsesi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. “Karena itu, penting dalam RUU Desa ini ada tiga hal yang harus dilengkapi yakni kewenangan, hak, dan kewajiban untuk desa,” paparnya.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Ari Sujito menyatakan, substansi RUU Desa versi pemerintah memang mengalami banyak kemunduran. Pemerintah tidak cermat merespons tuntutan masyarakat desa yaitu pengakuan atas sejarah dan pluralitas desa. Dengan kemajemukan itu, harus dibuat tipologi sesuai konteks daerahnya. Hal itu penting untuk menghargai desa sebagai bagian dari negara.
Selain itu, perlunya penataan agraria terutama status-status tanah di desa. Ari mengatakan, selama ini tanah-tanah di desa banyak sekali yang sudah diserobot oleh pemilik modal. Dengan demikian, negara harus melakukan proteksi karena bagaimanapun 75% masyarakat tinggal di desa dan penghidupan mereka berasal dari tanah.
“Jika pengakuan dan proteksi terhadap tanah ini tidak dilakukan, akan timbul gejolak kasus yang terjadi selama ini di desa,” tandasnya.
Dia pun meminta agar kewenangan terhadap desa bisa dipaparkan dengan jelas dalam RUU yang sedang digodok oleh DPR ini. “Ini akan menunjukkan komitmen negara terhadap masyarakat desa,” pungkasnya. (lil)
()