Janji Indonesia di Rio

Kamis, 21 Juni 2012 - 08:18 WIB
Janji Indonesia di Rio
Janji Indonesia di Rio
A A A
Sindonews.com - Setelah berdebat saling menyalahkan mengenai krisis ekonomi dunia yang tak berujung dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Los Cabos, Meksiko, beberapa kepala negara melanjutkan perjalanan mereka ke Rio de Janeiro, Brasil.

Mereka datang untuk menghadiri KTT Bumi Rio +20 (United Nations Conference on Sustainable Development) 20-22 Juni. Indonesia termasuk dalam rombongan kepala-kepala negara yang mencoba mencari titik temu penyelamatan bumi yang tak pernah tercapai itu. KTT dengan tagline “The FutureWe Want”ini diadakan 20 tahun setelah KTT Bumi pertama 20 tahun lalu di kota yang sama.

Satu hal yang bisa ditarik dari waktu 20 tahun membentang tanpa menghasilkan perubahan berarti yaitu aktor pemerintah tak bisa diandalkan sepenuhnya untuk masalah lingkungan. Lingkungan di satu pihak hanya dijadikan perdebatan tak berujung, sementara di pihak lain jadi sarana mencari popularitas di dunia internasional, dan mengorbankan pembangunan berkelanjutan di dalam negeri.

Ekonom dan Direktur Earth Institute, Columbia University Jeffrey D Sachs dalam artikel yang berjudul “A Rio Report Card” memberikan gambaran yang sangat lugas mengenai hal itu. Dia mengatakan:“Since politicians follow public opinion rather than lead it,it must be the public itself that demands its own survival,not elected officials who are somehow supposed to save us despite ourselves.There are few heroes in politics; waiting for the politicians would be to wait too long.

”(Project Sydicate,2012) Lalu, bagaimana seharusnya posisi pemerintah dan rakyat Indonesia dalam masalah lingkungan ini? Dengan sudah memosisikan sebagai negara maju (atau minimal sedang berkembang), Presiden SBY sudah seharusnya berpikir seperti negara-negara maju lainnya. Sekalipun negara-negara maju tersebut ingin mendapatkan titik temu mengenai masalah penyelamatan bumi, mereka tetap mempertahankan standing positionyang memberikan dampak negatif paling kecil bagi negaranya.

Berarti arah yang diambil Indonesia haruslah menguntungkan secara ekonomipolitik serta tetap memikirkan kelestarian alam. Memainkan peran aktif dalam dunia internasional bukanlah berarti menuruti segala hal yang diinginkan dunia internasional. National interest harus menjadi patokan utama dalam tiap janji-janji yang diucapkan Presiden SBY di kancah internasional.

Presiden SBY harus melihat berbagai hal yang oleh kalangan manajemen disingkat dalam konsep SWOT (strength, weakness, opportunity,threat). Jangan sampai terulang keputusan-keputusan yang merugikan ekonomi domestik seperti moratorium pengembangan hutan dan kelapa sawit secara pukul rata. Sementara Indonesia adalah produsen nomor dua kelapa sawit Indonesia (yang dulunya nomor satu sebelum disalip Malaysia).

Belum lagi tambang yang berada di dalam hutan yang akan menghadapi kesulitan ketika akan dibuka. Indonesia selayaknya memainkan posisi tawarnya dengan maksimal. Mendapatkan beberapa ratus juta dolar AS sama sekali tak sepadan dengan opportunity lost dari ketidakmampuan Indonesia memanfaatkan hutannya secara sustainable. Atau kerugian yang datang dari dicapnya minyak sawit Indonesia sebagai salah satu pencemar lingkungan dengan patokan konsep emisi yang dilepaskan dari perubahan lahan.

Itu sama saja kita dicocok hidung mengikuti pola pikir negara maju yang sudah dari dulu menggunduli hutannya sejak revolusi industri berjalan. Seperti yang tertulis dalam tagline KTT ini, “The Future We Want”, usaha Indonesia, pemerintah, dan segenap bangsa harus diarahkan ke Indonesia yang hijau, sustainable, serta kaya dan maju sesuai yang kita mau. Jangan hanya kita pilih Indonesia hijau, tapi menjadi negara yang sangat tinggi ketergantungan ekonomi, energi, serta politiknya pada negara maju.(azh)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0386 seconds (0.1#10.140)