Menjaga laut kita
A
A
A
Pencurian ikan di perairan Indonesia makin marak. Indikatornya terlihat dari 159 kapal asing yang ditangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena melakukan aktivitas penangkapan ikan secara liar dalam lima bulan terakhir ini.
Kapal asing berkapasitas 30 gross tonnage (GT) hingga 60 GT yang beroperasi tanpa izin tersebut berasal dari berbagai negara di antaranya Thailand dan Vietnam.
KKP mengakui maraknya pencurian ikan tersebut selain memanfaatkan lemahnya pengawasan, mereka juga didukung dengan kapal dan alat tangkap yang canggih sehingga bisa leluasa melakukan pencurian ikan di laut lepas.
Kerugian negara akibat pencurian oleh para nelayan asing itu diperkirakan mencapai Rp30 triliun per tahun.
Wilayah operasi yang menjadi favorit nelayan asing tersebut meliputi Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Arafura, serta perairan yang terhubung langsung dengan negara nelayan asing itu.
Yang menarik dicermati, nelayan asing dalam melakukan aksinya menempuh berbagai cara selain langsung beroperasi di perairan Indonesia yang sulit dijangkau para pengawas, ada juga yang menggandeng sejumlah pihak di dalam negeri untuk mendapatkan keabsahan dalam menangkap ikan.
Mulai dari soal dokumen perizinan yang ganda untuk beberapa kapal, surat izin palsu, hingga penggunaan anak buah kapal (ABK) oleh penduduk lokal.
Para pengawas di laut seringkali terkecoh karena kapal-kapal penangkap ikan milik asing itu berbendera Indonesia yang diawaki penduduk lokal. Ironisnya, hasil tangkapan ikan ilegal oleh nelayan asing itu justru diselundupkan lagi masuk wilayah Indonesia.
Beberapa waktu lalu KKP telah memergoki beberapa jenis ikan yang beredar di pasar domestik diimpor tidak sah dari luar. Celakanya, harga ikan yang ditawarkan jauh lebih murah dari hasil tangkapan nelayan lokal alias banting harga.
Jadi, kerugian yang timbul bukan hanya menjarah hasil laut, melainkan juga merusak harga ikan di dalam negeri, yang akhirnya membuat nelayan lokal semakin tak berdaya.
Memang harus diakui bahwa wilayah perairan Indonesia yang cukup luas itu adalah berkah, namun kemampuan untuk melakukan pengawasan sangat terbatas menjadi persoalan tersendiri.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, bila bicara soal pencurian ikan di perairan Indonesia, mengaku tak bisa lagi berbuat banyak.
Selain fasilitas yang sangat terbatas juga tidak didukung oleh tim pengawas dan pengamanan perairan yang memadai. Saat ini jumlah kapal yang dimiliki KKP sangat terbatas dan berukuran kecil serta rata-rata berusia di atas 10 tahun.
Dari sisi anggaran hanya meng-cover 172 hari per tahun untuk berlayar. Dengan keterbatasan tersebut, pemerintah memang sudah mematangkan untuk melepas peran KKP sebagai pengawas.
Pengamanan laut akan sepenuhnya difokuskan pada TNI Angkatan Laut saja. Sedangkan KKP diarahkan hanya untuk berkonsentrasi pada persoalan ekonomi. Selain memperketat pengawasan di laut yang harus juga dipertegas adalah sanksi terhadap nelayan asing yang tertangkap.
Selama ini hukuman yang diberikan kepada nelayan asing yang terbukti bersalah dinilai oleh berbagai pihak terlalu ringan yang berkisar tiga bulan sampai setahun sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Sedangkan kapal mereka yang disita dilelang dengan harga murah,lalu oleh pembeli di dalam negeri dijual lagi ke luar negeri dengan harga mahal.
Selama ini perhatian selalu tersita di laut, padahal penindakan di darat masih bolong-bolong. Mari kita rapatkan barisan dengan meningkatkan pengawasan di laut dan membenahi “permainan” di darat dengan memberi sanksi yang berat. Sungguh ironis jika kekayaan laut kita justru dinikmati orang asing.(*)
Kapal asing berkapasitas 30 gross tonnage (GT) hingga 60 GT yang beroperasi tanpa izin tersebut berasal dari berbagai negara di antaranya Thailand dan Vietnam.
KKP mengakui maraknya pencurian ikan tersebut selain memanfaatkan lemahnya pengawasan, mereka juga didukung dengan kapal dan alat tangkap yang canggih sehingga bisa leluasa melakukan pencurian ikan di laut lepas.
Kerugian negara akibat pencurian oleh para nelayan asing itu diperkirakan mencapai Rp30 triliun per tahun.
Wilayah operasi yang menjadi favorit nelayan asing tersebut meliputi Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Arafura, serta perairan yang terhubung langsung dengan negara nelayan asing itu.
Yang menarik dicermati, nelayan asing dalam melakukan aksinya menempuh berbagai cara selain langsung beroperasi di perairan Indonesia yang sulit dijangkau para pengawas, ada juga yang menggandeng sejumlah pihak di dalam negeri untuk mendapatkan keabsahan dalam menangkap ikan.
Mulai dari soal dokumen perizinan yang ganda untuk beberapa kapal, surat izin palsu, hingga penggunaan anak buah kapal (ABK) oleh penduduk lokal.
Para pengawas di laut seringkali terkecoh karena kapal-kapal penangkap ikan milik asing itu berbendera Indonesia yang diawaki penduduk lokal. Ironisnya, hasil tangkapan ikan ilegal oleh nelayan asing itu justru diselundupkan lagi masuk wilayah Indonesia.
Beberapa waktu lalu KKP telah memergoki beberapa jenis ikan yang beredar di pasar domestik diimpor tidak sah dari luar. Celakanya, harga ikan yang ditawarkan jauh lebih murah dari hasil tangkapan nelayan lokal alias banting harga.
Jadi, kerugian yang timbul bukan hanya menjarah hasil laut, melainkan juga merusak harga ikan di dalam negeri, yang akhirnya membuat nelayan lokal semakin tak berdaya.
Memang harus diakui bahwa wilayah perairan Indonesia yang cukup luas itu adalah berkah, namun kemampuan untuk melakukan pengawasan sangat terbatas menjadi persoalan tersendiri.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, bila bicara soal pencurian ikan di perairan Indonesia, mengaku tak bisa lagi berbuat banyak.
Selain fasilitas yang sangat terbatas juga tidak didukung oleh tim pengawas dan pengamanan perairan yang memadai. Saat ini jumlah kapal yang dimiliki KKP sangat terbatas dan berukuran kecil serta rata-rata berusia di atas 10 tahun.
Dari sisi anggaran hanya meng-cover 172 hari per tahun untuk berlayar. Dengan keterbatasan tersebut, pemerintah memang sudah mematangkan untuk melepas peran KKP sebagai pengawas.
Pengamanan laut akan sepenuhnya difokuskan pada TNI Angkatan Laut saja. Sedangkan KKP diarahkan hanya untuk berkonsentrasi pada persoalan ekonomi. Selain memperketat pengawasan di laut yang harus juga dipertegas adalah sanksi terhadap nelayan asing yang tertangkap.
Selama ini hukuman yang diberikan kepada nelayan asing yang terbukti bersalah dinilai oleh berbagai pihak terlalu ringan yang berkisar tiga bulan sampai setahun sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Sedangkan kapal mereka yang disita dilelang dengan harga murah,lalu oleh pembeli di dalam negeri dijual lagi ke luar negeri dengan harga mahal.
Selama ini perhatian selalu tersita di laut, padahal penindakan di darat masih bolong-bolong. Mari kita rapatkan barisan dengan meningkatkan pengawasan di laut dan membenahi “permainan” di darat dengan memberi sanksi yang berat. Sungguh ironis jika kekayaan laut kita justru dinikmati orang asing.(*)
()