Tak logis Presiden lepas jabatan Parpol
A
A
A
Sindonews.com - Usulan agar presiden dan wakil presiden melepas jabatan politiknya dalam draf Rancangan Undang- Undang (RUU) Pilpres dinilai tidak logis.
Pasalnya, demokrasi merupakan rezim partai, sehingga tidak masuk akal jika presiden harus melepas jabatan dari partainya. Apalagi, jabatan presiden merupakan mandat, tanggung jawab, dan memiliki code of condut sendiri.
“Menurut saya tidak perlu (dilepas) dan tidak beralasan. Usulan itu jelas tidak logis. Jadi, siapa pun dan dari manapun partainya, seorang presiden tidak boleh keluar dari mandatnya untuk mengurus seluruh rakyat tanpa kecuali," tandas Sekretaris Fraksi PKB DPR Hanif Dhakiri di Jakarta kemarin.
Hanif juga meminta elite parpol tidak perlu khawatir dengan masih menjabatnya presiden di partai. Hal ini mengingat demokrasi di Indonesia sudah menyediakan instrumen pengawasan terhadap presiden. Dengan demikian, kewenangan presiden bukan tanpa batas. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujarnya.
Ketua Umum Dewan Nasional Garda Bangsa ini juga menyatakan bahwa presiden merupakan milik publik dan bukan lagi milik partai. Meski demikian, tidak ada hubungannya dengan presiden dari parpol karena jabatan presiden merupakan inklusif dan ada tata aturannya untuk menghindarkan konflik kepentingan.
Selain itu, lanjut Hanif, kepentingan subjektif ataupun kekhawatiran konflik kepentingan itu bukanlah monopoli orang partai. Menurut dia, setiap pribadi pasti memiliki alamat primordialitas sendiri.
Yang terpenting, ujarnya, norma-norma kepresidenan itu tetap ditegakkan dan dalam konteks demokrasi. "Pengawasan terhadap lembaga kepresidenan itu relatif kuat seiring dengan menguatnya posisi dan peran DPR pascareformasi. Jadi, dikotomi partai dengan nonpartai dalam sistem demokrasi itu sungguh tidak relevan," katanya.
Senada dikatakan Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso. Menurut dia, aturan soal presiden harus melepas jabatan di parpol tidak perlu diatur melalui UU. "Saya kira tidak perlu diatur secara kaku. Tapi, gagasan ini perlu juga diapresiasi," tandasnya.
Partai Golkar, kata Priyo, secara tegas menolak jika revisi UU Pilpres diarahkan untuk membatasi presiden dan wapres agar meninggalkan jabatan strategis di parpol.
Penolakan ini bukan karena Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie akan mencalonkan diri sebagai capres. "Biarkan keputusan mundur atau tidak dari pimpinan parpol dikembalikan kepada presiden dan wapres. Kalau tugasnya terganggu, tentu yang bersangkutan akan memilih mundur," paparnya.
Pendapat berbeda disampaikan Sekjen DPP PKS Anis Matta. Dia justru mengaku setuju jika aturan presiden tidak boleh menjabat di parpol diberlakukan. Alasannya, rangkap jabatan eksekutif dan politik sudah tidak cocok diterapkan pada era saat ini.
Menurut Anis, skala pekerjaan di parpol dan di pemerintahan sama besarnya, sehingga akan lebih baik jika seseorang fokus pada satu pekerjaan. PKS pun nantinya akan meminta agar aturan mengenai pembatasan rangkap jabatan dimasukkan dalam revisi UU Pilpres. "Ini perlu dilakukan agar legitimasi pembatasan rangkap jabatan menjadi jelas," tandasnya.
Anis pun menyatakan PKS sudah mentradisikan hal itu di internal partai. Semua kader PKS yang duduk di eksekutif harus melepaskan jabatan strategisnya di partai agar bisa fokus bekerja. (san)
Pasalnya, demokrasi merupakan rezim partai, sehingga tidak masuk akal jika presiden harus melepas jabatan dari partainya. Apalagi, jabatan presiden merupakan mandat, tanggung jawab, dan memiliki code of condut sendiri.
“Menurut saya tidak perlu (dilepas) dan tidak beralasan. Usulan itu jelas tidak logis. Jadi, siapa pun dan dari manapun partainya, seorang presiden tidak boleh keluar dari mandatnya untuk mengurus seluruh rakyat tanpa kecuali," tandas Sekretaris Fraksi PKB DPR Hanif Dhakiri di Jakarta kemarin.
Hanif juga meminta elite parpol tidak perlu khawatir dengan masih menjabatnya presiden di partai. Hal ini mengingat demokrasi di Indonesia sudah menyediakan instrumen pengawasan terhadap presiden. Dengan demikian, kewenangan presiden bukan tanpa batas. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujarnya.
Ketua Umum Dewan Nasional Garda Bangsa ini juga menyatakan bahwa presiden merupakan milik publik dan bukan lagi milik partai. Meski demikian, tidak ada hubungannya dengan presiden dari parpol karena jabatan presiden merupakan inklusif dan ada tata aturannya untuk menghindarkan konflik kepentingan.
Selain itu, lanjut Hanif, kepentingan subjektif ataupun kekhawatiran konflik kepentingan itu bukanlah monopoli orang partai. Menurut dia, setiap pribadi pasti memiliki alamat primordialitas sendiri.
Yang terpenting, ujarnya, norma-norma kepresidenan itu tetap ditegakkan dan dalam konteks demokrasi. "Pengawasan terhadap lembaga kepresidenan itu relatif kuat seiring dengan menguatnya posisi dan peran DPR pascareformasi. Jadi, dikotomi partai dengan nonpartai dalam sistem demokrasi itu sungguh tidak relevan," katanya.
Senada dikatakan Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso. Menurut dia, aturan soal presiden harus melepas jabatan di parpol tidak perlu diatur melalui UU. "Saya kira tidak perlu diatur secara kaku. Tapi, gagasan ini perlu juga diapresiasi," tandasnya.
Partai Golkar, kata Priyo, secara tegas menolak jika revisi UU Pilpres diarahkan untuk membatasi presiden dan wapres agar meninggalkan jabatan strategis di parpol.
Penolakan ini bukan karena Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie akan mencalonkan diri sebagai capres. "Biarkan keputusan mundur atau tidak dari pimpinan parpol dikembalikan kepada presiden dan wapres. Kalau tugasnya terganggu, tentu yang bersangkutan akan memilih mundur," paparnya.
Pendapat berbeda disampaikan Sekjen DPP PKS Anis Matta. Dia justru mengaku setuju jika aturan presiden tidak boleh menjabat di parpol diberlakukan. Alasannya, rangkap jabatan eksekutif dan politik sudah tidak cocok diterapkan pada era saat ini.
Menurut Anis, skala pekerjaan di parpol dan di pemerintahan sama besarnya, sehingga akan lebih baik jika seseorang fokus pada satu pekerjaan. PKS pun nantinya akan meminta agar aturan mengenai pembatasan rangkap jabatan dimasukkan dalam revisi UU Pilpres. "Ini perlu dilakukan agar legitimasi pembatasan rangkap jabatan menjadi jelas," tandasnya.
Anis pun menyatakan PKS sudah mentradisikan hal itu di internal partai. Semua kader PKS yang duduk di eksekutif harus melepaskan jabatan strategisnya di partai agar bisa fokus bekerja. (san)
()