Dana caleg susah terdeteksi
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu melakukan deteksi ketat terhadap asal-usul maupun penggunaan dana kampanye dari masing-masing calon legislatif (caleg).
Langkah ini diperlukan karena aturan dana kampanye tidak diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemilu. "Pengawasan dana kampanye memang harus lebih ketat. Tidak hanya menyangkut besaran sumbangan, tapi juga terhadap pengeluarannya. Di sini KPU bisa membuat peraturan KPU untuk mengaturnya," ungkap Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampouw, kemarin.
Jeirry mengatakan, selama ini belum ada alat yang kuat untuk mengusut dana yang dikeluarkan caleg. Kekayaan seorang caleg bahkan tidak terdeteksi dengan maksimal. Padahal, untuk menghindari politik uang jor-joran, kekayaan caleg seharusnya dibuka dan diketahui secara transparan.
"Tapi, dalam UU Pemilu baru ini ternyata pengaturan soal pengeluaran dana kampanye sangat minimalis. Sebagian anggota DPR bahkan tidak mempersoalkan dana kampanye karena sibuk bicara PT dan konvensi suara menjadi kursi," tandasnya.
Menurut Jeirry, UU Pemilu semestinya membuka ruang bagi pengawasan dana kampanye dan kekayaan caleg. Bila perlu, dibuat aturan yang membolehkan atau menugaskan akuntan publik masuk untuk mengawasi keuangan caleg saat kampanye.
"Tapi yang terjadi, pengaturan UU Pemilu masih sebatas besaran sumbangan. Ini jauh dari harapan kita soal pemilu yang hemat dan bermartabat," ungkapnya.
Anggota Komisi II DPR Taufiq Hidayat mengatakan, pengaturan soal dana kampanye dalam UU Pemilu memang hanya menyangkut besaran sumbangan yakni pengaturan soal dana yang berasal dari perorangan tidak boleh lebih dari Rp1 miliar dan dana yang berasal dari kelompok perorangan dan atau badan usaha nonpemerintah tidak boleh lebih dari Rp7,5 miliar.
Ketentuan ini, ujarnya, merupakan sinkronisasi dengan UU lain yang mengatur partai politik. "Dalam UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik memang masalah sumbangan untuk kampanye sudah ada. Dan dalam UU Pemilu ini hanya perlu dipertegas," ucap Taufiq.
Mengenai besaran belanja kampanye, politikus Partai Golkar ini menegaskan bahwa pengaturan itu terlalu rumit dan tidak realistis. Sangat tidak mungkin menentukan besaran belanja mengingat harga di tiap daerah berbeda-beda.
Misalnya, harga spanduk di Papua akan berbeda jauh dengan di Pulau Jawa. Selain itu, sulit juga diatur kalau ada pihak atau simpatisan yang melakukan kampanye dukungan secara sukarela karena dia memang pendukung fanatik seseorang.
"Jadi, kita sepakat karena memang pengeluaran kampanye susah diatur. Buat apa juga dibuat aturan yang tak mungkin diterapkan? Pengeluaran dana kampanye ini berbeda dengan masalah besaran sumbangan yang memang lebih realistis untuk dideteksi dan diaudit. Dan tiap caleg maupun parpol akan diaudit oleh akuntan publik," ungkapnya. (san)
Langkah ini diperlukan karena aturan dana kampanye tidak diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemilu. "Pengawasan dana kampanye memang harus lebih ketat. Tidak hanya menyangkut besaran sumbangan, tapi juga terhadap pengeluarannya. Di sini KPU bisa membuat peraturan KPU untuk mengaturnya," ungkap Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampouw, kemarin.
Jeirry mengatakan, selama ini belum ada alat yang kuat untuk mengusut dana yang dikeluarkan caleg. Kekayaan seorang caleg bahkan tidak terdeteksi dengan maksimal. Padahal, untuk menghindari politik uang jor-joran, kekayaan caleg seharusnya dibuka dan diketahui secara transparan.
"Tapi, dalam UU Pemilu baru ini ternyata pengaturan soal pengeluaran dana kampanye sangat minimalis. Sebagian anggota DPR bahkan tidak mempersoalkan dana kampanye karena sibuk bicara PT dan konvensi suara menjadi kursi," tandasnya.
Menurut Jeirry, UU Pemilu semestinya membuka ruang bagi pengawasan dana kampanye dan kekayaan caleg. Bila perlu, dibuat aturan yang membolehkan atau menugaskan akuntan publik masuk untuk mengawasi keuangan caleg saat kampanye.
"Tapi yang terjadi, pengaturan UU Pemilu masih sebatas besaran sumbangan. Ini jauh dari harapan kita soal pemilu yang hemat dan bermartabat," ungkapnya.
Anggota Komisi II DPR Taufiq Hidayat mengatakan, pengaturan soal dana kampanye dalam UU Pemilu memang hanya menyangkut besaran sumbangan yakni pengaturan soal dana yang berasal dari perorangan tidak boleh lebih dari Rp1 miliar dan dana yang berasal dari kelompok perorangan dan atau badan usaha nonpemerintah tidak boleh lebih dari Rp7,5 miliar.
Ketentuan ini, ujarnya, merupakan sinkronisasi dengan UU lain yang mengatur partai politik. "Dalam UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik memang masalah sumbangan untuk kampanye sudah ada. Dan dalam UU Pemilu ini hanya perlu dipertegas," ucap Taufiq.
Mengenai besaran belanja kampanye, politikus Partai Golkar ini menegaskan bahwa pengaturan itu terlalu rumit dan tidak realistis. Sangat tidak mungkin menentukan besaran belanja mengingat harga di tiap daerah berbeda-beda.
Misalnya, harga spanduk di Papua akan berbeda jauh dengan di Pulau Jawa. Selain itu, sulit juga diatur kalau ada pihak atau simpatisan yang melakukan kampanye dukungan secara sukarela karena dia memang pendukung fanatik seseorang.
"Jadi, kita sepakat karena memang pengeluaran kampanye susah diatur. Buat apa juga dibuat aturan yang tak mungkin diterapkan? Pengeluaran dana kampanye ini berbeda dengan masalah besaran sumbangan yang memang lebih realistis untuk dideteksi dan diaudit. Dan tiap caleg maupun parpol akan diaudit oleh akuntan publik," ungkapnya. (san)
()