Mengatasi migrasi pengguna pertamax
A
A
A
Migrasi pemakai bahan bakar minyak (BBM) dari pertamax ke premium (BBM subsidi) makin deras menyusul perbedaan (disparitas) harga yang kian tajam.
Dalam beberapa pekan terakhir ini, para pengguna jejaring sosial ramai memperbincangkan mobil mewah yang ikut menikmati premium, bahkan sejumlah kamera televisi menangkap basah mobil tersebut “menyedot” bahan bakar yang bukan peruntukannya.
Pihak berwenang tak bisa memberi sanksi karena pemilik mobil mewah tak melanggar aturan. Secara detail memang belum ada angka yang menjelaskan seberapa banyak pengguna pertamax beralih mengonsumsi premium.
Namun, secara rasional sangat wajar bila terjadi migrasi besar -besaran. Bayangkan, disparitas harga dari Rp4.500 per liter (premium) ke Rp10.200 per liter (pertamax) mencapai Rp5.700 per liter.
Sebagai konsekuensinya, anggaran subsidi sudah pasti ikut terdongkrak yang ujung-ujungnya bisa mengorbankan anggaran pembangunan lainnya.
Hal ini tak perlu kita perdebatkan sebab sudah menjadi keputusan bahwa harga BBM subsidi tak dinaikkan untuk sementara ini. Migrasi pengguna pertamax ke premium, sepertinya membenarkan kajian Bank Dunia yang bertajuk “Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia” yang dirilis awal April ini.
Kajian tersebut menegaskan bahwa subsidi BBM yang diberikan pemerintah menguntungkan rumah tangga kelas menengah ke atas. Sebagai ilustrasi, pemilik mobil yang menggunakan 50 liter BBM subsidi menerima manfaat Rp1.115.000 per bulan.
Sedangkan pemilik sepeda motor yang mengonsumsi lima liter premium per minggu menikmati subsidi Rp111.000 per bulan atau sepuluh kali lipat yang didapatkan pengguna mobil.
Bagaimana dengan masyarakat miskin tanpa mobil dan sepeda motor? Kajian Bank Dunia membeberkan bahwa masyarakat miskin tetap mendapat manfaat secara langsung, namun kadarnya kecil sekali, selain manfaat tidak langsung dari rendahnya biaya transportasi.
Terus terang saja, membahas porsi subsidi BBM untuk orang miskin itu sudah basi. Sekarang yang harus dipertanyakan upaya apa pemerintah untuk menekan harga-harga bahan pokok yang telanjur naik mengawali rencana kenaikan harga BBM subsidi yang gagal.
Selain itu, migrasi pengguna pertamax juga tak bisa dibiarkan terus berlangsung, harus ada upaya konkret dari pengambil kebijakan. Saat ini berkembang beberapa usulan di antaranya diungkapkan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo.
Untuk melakukan penghematan BBM subsidi, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengusulkan tiga langkah yang harus diterapkan.
Pertama, harus ada aturan bahwa angkutan umum dan sepeda motor bisa pakai premium. Kedua, perlu aturan bahwa mobil pribadi 1.500 cc ke atas wajib menggunakan pertamax. Ketiga, harus ada aturan mobil pribadi di bawah 1.500 cc wajib mengonsumsi premix (RON 90).
Rupanya, usulan ketiga soal penggunaan premix tersebut mendapat respons serius dari sejumlah kalangan. Bahan bakar premix yang dimaksudkan adalah campuran 50 persen premium dan 50 persen pertamax pada kisaran harga Rp7.200 perliter.
Penggunaan premix diyakini bisa menghemat BBM subsidi karena separuh memanfaatkan subsidi dan setengah dikenakan harga pasar. Namun, usulan tersebut sepertinya sulit direalisasikan sepanjang masih ada unsur subsidi di dalamnya, pemerintah pasti akan bolak-balik rapat dengan DPR yang belum tentu direstui.
Selain itu, produksi bensin yang beroktan 90 itu juga secara teknis sulit diwujudkan. Kalau pemerintah mau bertindak ekstrem sedikit, usulan kendaraan pribadi di atas 2000 cc wajib pakai pertamax perlu ditindaklanjuti.(*)
Dalam beberapa pekan terakhir ini, para pengguna jejaring sosial ramai memperbincangkan mobil mewah yang ikut menikmati premium, bahkan sejumlah kamera televisi menangkap basah mobil tersebut “menyedot” bahan bakar yang bukan peruntukannya.
Pihak berwenang tak bisa memberi sanksi karena pemilik mobil mewah tak melanggar aturan. Secara detail memang belum ada angka yang menjelaskan seberapa banyak pengguna pertamax beralih mengonsumsi premium.
Namun, secara rasional sangat wajar bila terjadi migrasi besar -besaran. Bayangkan, disparitas harga dari Rp4.500 per liter (premium) ke Rp10.200 per liter (pertamax) mencapai Rp5.700 per liter.
Sebagai konsekuensinya, anggaran subsidi sudah pasti ikut terdongkrak yang ujung-ujungnya bisa mengorbankan anggaran pembangunan lainnya.
Hal ini tak perlu kita perdebatkan sebab sudah menjadi keputusan bahwa harga BBM subsidi tak dinaikkan untuk sementara ini. Migrasi pengguna pertamax ke premium, sepertinya membenarkan kajian Bank Dunia yang bertajuk “Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia” yang dirilis awal April ini.
Kajian tersebut menegaskan bahwa subsidi BBM yang diberikan pemerintah menguntungkan rumah tangga kelas menengah ke atas. Sebagai ilustrasi, pemilik mobil yang menggunakan 50 liter BBM subsidi menerima manfaat Rp1.115.000 per bulan.
Sedangkan pemilik sepeda motor yang mengonsumsi lima liter premium per minggu menikmati subsidi Rp111.000 per bulan atau sepuluh kali lipat yang didapatkan pengguna mobil.
Bagaimana dengan masyarakat miskin tanpa mobil dan sepeda motor? Kajian Bank Dunia membeberkan bahwa masyarakat miskin tetap mendapat manfaat secara langsung, namun kadarnya kecil sekali, selain manfaat tidak langsung dari rendahnya biaya transportasi.
Terus terang saja, membahas porsi subsidi BBM untuk orang miskin itu sudah basi. Sekarang yang harus dipertanyakan upaya apa pemerintah untuk menekan harga-harga bahan pokok yang telanjur naik mengawali rencana kenaikan harga BBM subsidi yang gagal.
Selain itu, migrasi pengguna pertamax juga tak bisa dibiarkan terus berlangsung, harus ada upaya konkret dari pengambil kebijakan. Saat ini berkembang beberapa usulan di antaranya diungkapkan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo.
Untuk melakukan penghematan BBM subsidi, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengusulkan tiga langkah yang harus diterapkan.
Pertama, harus ada aturan bahwa angkutan umum dan sepeda motor bisa pakai premium. Kedua, perlu aturan bahwa mobil pribadi 1.500 cc ke atas wajib menggunakan pertamax. Ketiga, harus ada aturan mobil pribadi di bawah 1.500 cc wajib mengonsumsi premix (RON 90).
Rupanya, usulan ketiga soal penggunaan premix tersebut mendapat respons serius dari sejumlah kalangan. Bahan bakar premix yang dimaksudkan adalah campuran 50 persen premium dan 50 persen pertamax pada kisaran harga Rp7.200 perliter.
Penggunaan premix diyakini bisa menghemat BBM subsidi karena separuh memanfaatkan subsidi dan setengah dikenakan harga pasar. Namun, usulan tersebut sepertinya sulit direalisasikan sepanjang masih ada unsur subsidi di dalamnya, pemerintah pasti akan bolak-balik rapat dengan DPR yang belum tentu direstui.
Selain itu, produksi bensin yang beroktan 90 itu juga secara teknis sulit diwujudkan. Kalau pemerintah mau bertindak ekstrem sedikit, usulan kendaraan pribadi di atas 2000 cc wajib pakai pertamax perlu ditindaklanjuti.(*)
()