Waspadai defisit neraca perdagangan

Selasa, 03 April 2012 - 08:08 WIB
Waspadai defisit neraca perdagangan
Waspadai defisit neraca perdagangan
A A A
Sindonews.com - Secara kumulatif,sepanjang dua bulan awal tahun ini neraca perdagangan Indonesia masih mencatat surplus yang mencapai sebesar USD1,71 miliar.

Meski masih mengalami surplus,bayangan defisit neraca perdagangan cukup mengancam dalam waktu singkat bila pemerintah tidak segera mengambil tindakan tepat untuk membendung arus impor yang terus menggelontor pasar domestik.Celakanya,kinerja ekspor yang diharap menahan laju impor tak menjanjikan di tengah pelemahan perekonomian dunia saat ini.

Berdasarkan data terbaru perkembangan kinerja impor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Senin 2 April , Indonesia mencatat defisit perdagangan sepanjang Januari dan Februari 2012 pada sejumlah negara yang sudah menjadi “musuh” bebuyutan perdagangan Indonesia.

Tengok saja, defisit perdagangan dengan China menempati urutan pertama yang mencapai sebesar USD1,47 miliar,posisi kedua muncul Thailand sebesar USD793,8 juta,dan di level ketiga hadir Singapura sebesar USD162 juta. Total nilai impor sepanjang Januari–Februari mencapai USD29,51 miliar atau naik 21,39 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peringkat impor tercatat impor nonminyak dan gas menduduki urutan teratas sebesar USD23 miliar, menyusul impor mesin dan peralatan mekanik yang mencapai sebesar USD4,42 miliar.

Dilihat dari negara asal impor, China di urutan pertama dengan nilai impor sebesar USD4,41 miliar, posisi kedua ditempati Jepang sebesar USD3,58 miliar, dan tempat ketiga bercokol Singapura sebesar USD1,71 miliar. Kalau ditotal maka porsi ketiga negara tersebut terhadap total impor negeri ini mencapai sekitar 42,18 persen. Dalam dua tahun terakhir ini,sejumlah komoditas impor terus menunjukkan peningkatan signifikan.

Mulai dari impor buah, sayur, produk olahan dari buah dan sayur hingga minuman dan produk makanan olahan. Untuk periode sepanjang Januari hingga Oktober 2011, sebagaimana data yang dibeberkan BPS, nilai impor kebutuhan sehari-hari tersebut mencapai Rp17,61 triliun.

Angka tersebut melonjak tak kurang dari 37,47 persen dibanding periode yang sama pada 2010. Berdasarkan versi pemerintah bahwa kontribusi buah dan sayur impor tak lebih dari 5 persen dari total konsumsi nasional, namun bila mencermati pendistribusian komoditas tersebut yang hingga menembus pasar-pasar tradisional di tingkat kabupaten sangat tidak relevan dengan angka tersebut. Maraknya impor komoditas tersebut memang didukung oleh kondisi lapangan.

Bila didasarkan pintu masuk untuk produk buah dan sayur, Indonesia termasuk negara yang paling bebas membuka pelabuhan impor. Jadi, kita tak perlu heran bila terdapat lebih dari 60 komoditas sejenis (buah dan sayur) dari 40 negara telah membanjiri pasar domestik. Bandingkan dengan langkah yang ditempuh sejumlah negara untuk menahan serbuan komoditas impor. Pasar Australia termasuk sangat ketat ditembus, bayangkan Indonesia butuh tujuh tahun untuk memasarkan buah manggis di Negeri Kanguru itu.

Ancaman defisit perdagangan salah satu pekerjaan berat pemerintah yang harus diatasi dalam jangka pendek, selain menyikapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi dan tarif dasar listrik (TDL). Ancaman tersebut semakin nyata bila mengaitkan dengan kondisi perekonomian dunia yang terus bergejolak. Melihat keadaan tersebut, pemerintah tampak ragu bisa merealisasikan target ekspor yang dipatok sebesar USD230 miliar tahun ini.

“Gonjang-ganjing perekonomian dunia saat ini membuat kinerja ekspor kita makin berat, angka target USD230 miliar bakal sulit dikejar,” ungkap Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dalam sebuah rapat di jajaran Kementerian Perdagangan belum lama ini. Dibutuhkan terobosan untuk melawan ancaman defisit neraca perdagangan.(azh)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5563 seconds (0.1#10.140)