Surat edaran MA bisa eksekusi koruptor
A
A
A
Sindonews.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) tetap bersikukuh eksekusi terhadap terpidana korupsi yang kasusnya telah berkekuatan hukum tetap harus berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Padahal, Mahkamah Agung (MA) telah menegaskan kejaksaan sebenarnya bisa melaksanakan eksekusi dengan hanya menggunakan surat edaran MA tanpa menunggu salinan putusan dari panitera MA. Jika menunggu salinan putusan MA sesuai dengan KUHAP,dipastikan prosesnya sangat panjang hingga dikhawatirkan terpidana bisa melarikan diri.
Namun,Jaksa Agung Basrief Arief beralasan surat edaran MA hanya bisa digunakan dalam mengeksekusi perkara umum. Untuk kasus besar seperti kasus korupsi tetap berdasarkan Pasal 270 KUHAP.Pasal itu berbunyi bahwa jaksa baru dapat melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) setelah menerima salinan putusan dari panitera pengadilan.
“Mereka (terpidana) minta salinan putusan, ya tidak salah juga karena undang-undang mengaturnya demikian,” kata Jaksa Agung Basrief Arief saat ditemui di Jakarta akhir pekan lalu.
Pernyataan Jaksa Agung itu mengomentari data hasil temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan ada sedikitnya 48 terpidana korupsi yang belum dieksekusi jaksa dengan dalih belum diterimanya salinan putusan MA. Padahal sudah ada Surat Edaran MA yang memperbolehkan eksekusi hanya dengan diterimanya petikan putusan.
Terpidana korupsi yang baru-baru ini divonis MA dan belum dieksekusi antara lain Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamuddin, Bupati Subang nonaktif Eep Hidayat, dan mantan Bupati Lampung Timur Satono. Lain halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan eksekusi paksa terhadap terpidana Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad meski hanya berbekal petikan putusan putusan MA.
Mochtar pada Kamis pekan lalu menolak eksekusi KPK pascavonis enam tahun penjara oleh MA. Mochtar tidak bersedia dijebloskan dalam penjara jika hanya didasarkan pada petikan putusan dan bukan salinan putusan MA. Jaksa Agung beralasan Surat Edaran MA hanya berlaku pada kasus-kasus umum,sedangkan proses eksekusi menggunakan salinan putusan MA biasanya berlaku bagi perkara-perkara besar.
Salah satunya kasus tindak pidana korupsi yang menjerat Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad. Dalam kesempatan itu, Basrief enggan jika proses eksekusi di kejaksaan dibandingbandingkan dengan institusi lain seperti eksekusi yang dilakukan KPK atas terpidana Mochtar Mohamad.
“Saya tidak akan melihat eksekusi yang sudah dilaksanakan siapa pun,” ujar dia.
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto berpendapat, untuk menghadapi kondisi hukum saat ini, jaksa bisa bertindak cepat dalam melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) tanpa harus menunggu salinan putusan dari panitera pengadilan. Hal ini untuk mengantisipasi kaburnya terpidana korupsi.
“Untuk menghadapi kondisi seperti ini,jaksa memang harus cepat.Apalagi proses terbitnya salinan putusan di MA sangat lama, dikhawatirkan ada negosiasi-negosiasi tertentu antara terpidana dan panitera agar salinan putusan diperlambat, bahkan sampai masa tahanan berakhir,” kata Hasril Hertanto saat dihubungi kemarin.
Hasril menyadari, jaksa dalam melaksanakan eksekusi juga memerlukan unsur kehatihatian karena menyangkut nasib seseorang.Karena itu,mereka selalu beralasan menunggu salinan putusan sebelum melakukan eksekusi. Namun,hal itu juga tidak bisa dibenarkan seutuhnya karena ada kekhawatiran terpidana akan kabur sebelum dieksekusi.
“Solusinya, bisa pakai ekstrak vonis pengadilan, tapi lebih diperlengkap lagi, misalnya memuat alasan-alasannya, pertimbangan hakimnya, dan putusan hakim meskipun singkat. Meskipun kurang lengkap, minimal bisa mengetahui lebih detail,”ungkapnya.
Sementara itu, juru bicara MA Gayus Lumbuun mengatakan kejaksaan sebenarnya bisa melaksanakan putusan tanpa menunggu salinan putusan dari panitera MA.“Lambatnya putusan itu sudah disadari sejak dahulu, karena itu kami berkomitmen menyelesaikan masalah ini segera,” ujarnya kepada SINDO pekan lalu.
Menurut dia,pada saat posisi Jaksa Agung ditempati A Rahman, sudah dikeluarkan surat edaran yang mengatur bahwa eksekusi pidana dapat dilakukan dengan menggunakan amar putusan mendahului salinan lengkap putusan MA.(azh)
Padahal, Mahkamah Agung (MA) telah menegaskan kejaksaan sebenarnya bisa melaksanakan eksekusi dengan hanya menggunakan surat edaran MA tanpa menunggu salinan putusan dari panitera MA. Jika menunggu salinan putusan MA sesuai dengan KUHAP,dipastikan prosesnya sangat panjang hingga dikhawatirkan terpidana bisa melarikan diri.
Namun,Jaksa Agung Basrief Arief beralasan surat edaran MA hanya bisa digunakan dalam mengeksekusi perkara umum. Untuk kasus besar seperti kasus korupsi tetap berdasarkan Pasal 270 KUHAP.Pasal itu berbunyi bahwa jaksa baru dapat melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) setelah menerima salinan putusan dari panitera pengadilan.
“Mereka (terpidana) minta salinan putusan, ya tidak salah juga karena undang-undang mengaturnya demikian,” kata Jaksa Agung Basrief Arief saat ditemui di Jakarta akhir pekan lalu.
Pernyataan Jaksa Agung itu mengomentari data hasil temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan ada sedikitnya 48 terpidana korupsi yang belum dieksekusi jaksa dengan dalih belum diterimanya salinan putusan MA. Padahal sudah ada Surat Edaran MA yang memperbolehkan eksekusi hanya dengan diterimanya petikan putusan.
Terpidana korupsi yang baru-baru ini divonis MA dan belum dieksekusi antara lain Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamuddin, Bupati Subang nonaktif Eep Hidayat, dan mantan Bupati Lampung Timur Satono. Lain halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan eksekusi paksa terhadap terpidana Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad meski hanya berbekal petikan putusan putusan MA.
Mochtar pada Kamis pekan lalu menolak eksekusi KPK pascavonis enam tahun penjara oleh MA. Mochtar tidak bersedia dijebloskan dalam penjara jika hanya didasarkan pada petikan putusan dan bukan salinan putusan MA. Jaksa Agung beralasan Surat Edaran MA hanya berlaku pada kasus-kasus umum,sedangkan proses eksekusi menggunakan salinan putusan MA biasanya berlaku bagi perkara-perkara besar.
Salah satunya kasus tindak pidana korupsi yang menjerat Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad. Dalam kesempatan itu, Basrief enggan jika proses eksekusi di kejaksaan dibandingbandingkan dengan institusi lain seperti eksekusi yang dilakukan KPK atas terpidana Mochtar Mohamad.
“Saya tidak akan melihat eksekusi yang sudah dilaksanakan siapa pun,” ujar dia.
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto berpendapat, untuk menghadapi kondisi hukum saat ini, jaksa bisa bertindak cepat dalam melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) tanpa harus menunggu salinan putusan dari panitera pengadilan. Hal ini untuk mengantisipasi kaburnya terpidana korupsi.
“Untuk menghadapi kondisi seperti ini,jaksa memang harus cepat.Apalagi proses terbitnya salinan putusan di MA sangat lama, dikhawatirkan ada negosiasi-negosiasi tertentu antara terpidana dan panitera agar salinan putusan diperlambat, bahkan sampai masa tahanan berakhir,” kata Hasril Hertanto saat dihubungi kemarin.
Hasril menyadari, jaksa dalam melaksanakan eksekusi juga memerlukan unsur kehatihatian karena menyangkut nasib seseorang.Karena itu,mereka selalu beralasan menunggu salinan putusan sebelum melakukan eksekusi. Namun,hal itu juga tidak bisa dibenarkan seutuhnya karena ada kekhawatiran terpidana akan kabur sebelum dieksekusi.
“Solusinya, bisa pakai ekstrak vonis pengadilan, tapi lebih diperlengkap lagi, misalnya memuat alasan-alasannya, pertimbangan hakimnya, dan putusan hakim meskipun singkat. Meskipun kurang lengkap, minimal bisa mengetahui lebih detail,”ungkapnya.
Sementara itu, juru bicara MA Gayus Lumbuun mengatakan kejaksaan sebenarnya bisa melaksanakan putusan tanpa menunggu salinan putusan dari panitera MA.“Lambatnya putusan itu sudah disadari sejak dahulu, karena itu kami berkomitmen menyelesaikan masalah ini segera,” ujarnya kepada SINDO pekan lalu.
Menurut dia,pada saat posisi Jaksa Agung ditempati A Rahman, sudah dikeluarkan surat edaran yang mengatur bahwa eksekusi pidana dapat dilakukan dengan menggunakan amar putusan mendahului salinan lengkap putusan MA.(azh)
()