MUI minta rumusan keperdataan diubah

Rabu, 21 Maret 2012 - 09:09 WIB
MUI minta rumusan keperdataan diubah
MUI minta rumusan keperdataan diubah
A A A
Sindonews.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengkaji ulang rumusan tentang hubungan keperdataan antara anak yang lahir di luar perkawinan dengan ayah kandungnya.

Ketua Bidang Fatwa MUI Ma’ruf Amin mengatakan, jika MK berpandangan bahwa putusannya tidak menghubungkan nasab, perwalian, waris, dan nafkah dengan ayah biologisnya, maka pihaknya meminta MK mengkaji ulang rumusan hubungan keperdataan yang dimaksud agar tidak bertentangan dengan Islam.

“Bila putusan MK tidak menghubungkan nasab anak hasil di luar perkawinan dengan ayah kandungnya, maka rumusan keperdataan yang dimaksud perlu dikaji ulang,” ungkap Ma’ruf di Jakarta kemarin.

Menurut dia, MUI mempersoalkan hubungan keperdataan yang dimaksud dalam putusan MK karena rumusannya mengandung pengertian yang mencakup hubungan nasab, perwalian, waris, serta nafkah antara anak yang lahir di luar nikah dan ayah biologisnya.

Sejauh pemaknaan putusan MK tentang hubungan keperdataan masih mencakup empat poin tersebut, kata Ma’ruf, pihaknya tetap akan menentang putusan itu. “MUI melihat rumusan keperdataan yang dibuat MK itu telah menyimpang,” ujarnya.

Dia menjelaskan, rumusan keperdataan yang dimaksud dalam putusan MK berpotensi bertolak belakang dengan Islam. Karena itu, jika putusan MK bertujuan melindungi anak, lanjut Ma’ruf, seharusnya MK tidak membuat rumusan keperdataan yang bertentangan dengan Islam.
Dia menekankan agar perlindungan bagi anak hasil zina diberikan dengan menghukum laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. “Hukuman itu bisa berupa kewajiban memberikan biaya hidup,tapi bukan sebagai ayah,” tegasnya.

Ma’ruf menilai sejauh ini putusan MK tentang status anak di luar perkawinan, khususnya menyangkut rumusan keperdataan anak di luar perkawinan dengan laki-laki yang telah menyebabkan kelahirannya tidak jelas dan mengandung pengertian yang sangat luas.

Bahkan, bisa dimaknai sebagai hubungan nasab, perwalian, hak waris, dan kewajiban memberi nafkah.“Jika MK memaknai hubungan keperdataan sebatas tanggung jawab keperdataan, rumusan keperdataan yang dimaksud harus diubah,” tandasnya.

Sejauh ini, kata Ma’ruf, pihaknya sedang mencari jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut, termasuk mendesak MK mengubah rumusan keperdataan yang dianggap mengandung pengertian yang luas agar tidak bertentangan dengan Islam.

Namun, dia mengaku belum mengetahui seperti apa mekanisme yang harus ditempuh, sebab putusan MK bersifat mengikat dan final. “MUI terus berusaha menyelesaikan masalah itu, tapi MUI tidak tahu seperti apa mekanismenya. Itu yang sedang dicari MUI,”ucapnya.

Dia menambahkan, pada prinsipnya MUI hanya menginginkan agar apa yang dimaksud MK dalam putusannya tidak menyimpang. Kalaupun mungkin dapat ditempuh dengan cara menginterpretasi ulang hasil putusan guna meminimalisasi adanya potensi penyimpangan, pihaknya juga mengaku belum menemukan mekanisme yang tepat untuk melakukannya.

“Kalau solusinya adalah dengan melakukan terjemah ulang ya silakan MK melakukannya, tapi MUI tidak tahu mekanismenya seperti apa,” imbuhnya.

Sekjen Kementerian Agama (Kemenag) Bahrul Hayat melihat putusan MK sebagai hukum positif sehingga sifatnya mengikat. Sementara fatwa MUI tidak mengikat, namun dapat dijadikan rujukan bagi umat Islam.

Oleh sebab itu, dia menilai persoalan ini butuh dicermati khususnya dampak yang dimaksud MUI, karena ada dampak positif dan negatif. “Tafsir atas putusan MK dipahami bahwa anak di luar nikah dan bapak biologisnya punya hubungan perdata. Ini mungkin yang dipersoalkan MUI,” kata Bahrul.

Menurut dia, dampak positifnya anak hasil hubungan perkawinan bisa diproteksi tanpa harus melihat status perkawinan orang tuanya. Di sisi lain, putusan itu dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Namun mengingat putusan MK bersifat final,selama undang- undangnya tidak diubah, selama itu pula putusan itu berlaku. “Persoalan MUI menentang itu tidak masalah, karena dia memang harus menghimbau umatnya. Tapi ketika dibawa ke ranah hukum positif, tetap harus berpegang pada putusan MK,” terangnya.(lin)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8216 seconds (0.1#10.140)