MUI: Putusan MK melanggar syariat Islam
A
A
A
Sindonews.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa anak di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah kandungnya.
Ketua MUI Bidang Fatwa Maruf Amin menilai, putusan MK tersebut menuai kontroversi dan kegelisahan karena dinilai melanggar syariat Islam. Putusan MK itu bahkan dianggap berpotensi mengubah tatanan kehidupan umat Islam yang selama ini berlaku.
"MUI menilai putusan MK sangat berlebihan serta bertentangan dengan ajaran Islam dan Pasal 29 UUD 1945," kata Maruf dalam jumpa pers di Jakarta kemarin.
Menurut dia, putusan MK memiliki konsekuensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali,serta mewajibkan seorang laki-laki memberi nafkah anak dari hubungan di luar nikah.
Akibat putusan tersebut, kini kedudukan anak yang lahir di luar nikah sama dengan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah. Dengan putusan MK itu, anak di luar nikah berhak atas waris. Maruf menjelaskan, MK telah keliru menilai anak hasil hubungan di luar nikah tidak mendapat perlindungan hukum.
Menurutnya, anak tersebut memiliki perlindungan hukum meski berbeda dengan anak hasil ikatan perkawinan yang sah. Hilangnya perbedaan perlindungan hukum terhadap kedua kondisi tersebut dinilai menjadikan lembaga perkawinan tidak relevan. "Ini tidak bisa diterima dalam ajaran Islam," tandasnya.
MUI, lanjut Maruf, hanya sepakat jika anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah menurut agama (perkawinan di bawah tangan), tapi belum tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil disamakan statusnya dengan anak hasil ikatan perkawinan yang telah dicatat.
Karena itu, MUI meminta MK melakukan peninjauan kembali terhadap putusannya demi kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal MUI Ichwan Syam mengatakan, pihaknya memahami bahwa sistem hukum nasional tidak mengenal upaya hukum lagi bagi putusan MK sehingga apa yang telah diputuskan MK tidak bisa dianulir.
Namun, mengingat dampak yang ditimbulkan dari putusan tersebut sangat besar, MUI tetap meminta MK melakukan peninjauan kembali terhadap putusannya tersebut dengan alasan demi kemaslahatan.
Dia menilai pemikiran yang melandasi putusan MK telah melanggar ajaran Islam dan UUD 1945. Atas dasar per-timbangan serta dampak ekstrem yang diakibatkannya ke depan, MUI tetap menolak apa yang telah menjadi putusan MK.
MK menegaskan putusan soal hubungan perdata anak di luarnikah dengan ayah biologisnya merupakan perlindungan hukum terbaik untuk anak yang tidak ada sangkut pautnya dengan dosa kedua orang tuanya. Putusan ini bahkan menerobos kebuntuan hukum soal anak di luar nikah yang selama ini tidak jelas status hukumnya.
"Bagi anak yang lahir tidak berdosa, putusan MK ini adalah yang terbaik," ujar juru bicara MK Akil Mochtar.
Fokus putusan MK adalah memberikan perlindungan anak. Selama ini anak di luar nikah tidak berkedudukan hukum sama dengan anak yang dilahirkan secara normatif melalui pernikahan yang sah. Putusan ini menegaskan bahwa anak hasil hubungan di luar pernikahan tetap mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. (san)
Ketua MUI Bidang Fatwa Maruf Amin menilai, putusan MK tersebut menuai kontroversi dan kegelisahan karena dinilai melanggar syariat Islam. Putusan MK itu bahkan dianggap berpotensi mengubah tatanan kehidupan umat Islam yang selama ini berlaku.
"MUI menilai putusan MK sangat berlebihan serta bertentangan dengan ajaran Islam dan Pasal 29 UUD 1945," kata Maruf dalam jumpa pers di Jakarta kemarin.
Menurut dia, putusan MK memiliki konsekuensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali,serta mewajibkan seorang laki-laki memberi nafkah anak dari hubungan di luar nikah.
Akibat putusan tersebut, kini kedudukan anak yang lahir di luar nikah sama dengan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah. Dengan putusan MK itu, anak di luar nikah berhak atas waris. Maruf menjelaskan, MK telah keliru menilai anak hasil hubungan di luar nikah tidak mendapat perlindungan hukum.
Menurutnya, anak tersebut memiliki perlindungan hukum meski berbeda dengan anak hasil ikatan perkawinan yang sah. Hilangnya perbedaan perlindungan hukum terhadap kedua kondisi tersebut dinilai menjadikan lembaga perkawinan tidak relevan. "Ini tidak bisa diterima dalam ajaran Islam," tandasnya.
MUI, lanjut Maruf, hanya sepakat jika anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah menurut agama (perkawinan di bawah tangan), tapi belum tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil disamakan statusnya dengan anak hasil ikatan perkawinan yang telah dicatat.
Karena itu, MUI meminta MK melakukan peninjauan kembali terhadap putusannya demi kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal MUI Ichwan Syam mengatakan, pihaknya memahami bahwa sistem hukum nasional tidak mengenal upaya hukum lagi bagi putusan MK sehingga apa yang telah diputuskan MK tidak bisa dianulir.
Namun, mengingat dampak yang ditimbulkan dari putusan tersebut sangat besar, MUI tetap meminta MK melakukan peninjauan kembali terhadap putusannya tersebut dengan alasan demi kemaslahatan.
Dia menilai pemikiran yang melandasi putusan MK telah melanggar ajaran Islam dan UUD 1945. Atas dasar per-timbangan serta dampak ekstrem yang diakibatkannya ke depan, MUI tetap menolak apa yang telah menjadi putusan MK.
MK menegaskan putusan soal hubungan perdata anak di luarnikah dengan ayah biologisnya merupakan perlindungan hukum terbaik untuk anak yang tidak ada sangkut pautnya dengan dosa kedua orang tuanya. Putusan ini bahkan menerobos kebuntuan hukum soal anak di luar nikah yang selama ini tidak jelas status hukumnya.
"Bagi anak yang lahir tidak berdosa, putusan MK ini adalah yang terbaik," ujar juru bicara MK Akil Mochtar.
Fokus putusan MK adalah memberikan perlindungan anak. Selama ini anak di luar nikah tidak berkedudukan hukum sama dengan anak yang dilahirkan secara normatif melalui pernikahan yang sah. Putusan ini menegaskan bahwa anak hasil hubungan di luar pernikahan tetap mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. (san)
()