Tata kelola haji perlu dibenahi
A
A
A
Sindonews.com - Sejumlah kalangan meminta pemerintah untuk menata penyelenggaraan ibadah haji yang saat ini dinilai belum transparan. Pembenahan tersebut bisa dilakukan dengan mengajak pihak independen.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan, sudah saatnya sistem pengelolaan ibadah haji menerapkan tata kelola yang lebih baik dengan memisahkan antara kewenangan pengawasan, pelaksana, dan evaluasi.
"Selama ini pengelolaan ibadah haji masih dimonopoli oleh Kementerian Agama (Kemenag), baik pengawasan, regulator, pelaksana, maupun kewenangan evaluasinya," ungkap Firdaus saat dihubungi kemarin.
Menurut dia, pengelolaan haji dan dana setoran awal calon jamaah harus punya standar dan mekanisme pengelolaan yang jelas sebab jumlah daftar tunggu yang ada jauh lebih besar dari kuota yang tersedia dalam setiap tahun sehingga dana setoran awal yang ditempatkan dalam sistem pengelolaan keuangan menghasilkan jasa bunga.
"Harusnya bunga hasil pengelolaan dana yang disimpan di sukuk, deposito, atau giro itu dikembalikan ke jamaah untuk mengurangi beban ongkos jamaah," katanya.
Namun, Firdaus menyayangkan itu karena sebagian jasa bunga tabungan calon jamaah digunakan untuk operasional penyelenggara, tunjangan, dan gaji insentif pegawai Kemenag. Padahal dalam UU dikatakan bahwa biaya operasional penyelenggara ibadah haji ditanggung negara melalui alokasi Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD).
Sistem seperti itu dianggap memberi celah terjadi duplikasi dan triple budget karena selain dianggarkan di APBD dan APBN, biaya operasional juga diambil dari hasil bunga tabungan jamaah. Dia mengusulkan sejumlah langkah perlu dilakukan guna memperbaiki tata kelola ibadah haji.
Pertama, memisahkan pengelolaan haji dari Kemenag atau pemisahan antara regulator,operator,dan evaluator dengan cara membentuk badan khusus yang fokus pada pengelolaan ibadah haji. Selain harus mendesain ulang sistem pengelolaan ibadah haji, juga diperlukan mendesain ulang tata kelola dana haji sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara kewenangan pengawasan, pelaksana, dan evaluasi.
Anggota Komisi VIII DPR Ali Maschan Moesa mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih proaktif menelusuri dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana haji.
Menurut dia, KPK seharusnya lebih proaktif menelusuri dugaan penyalahgunaan dalam pengelolaan dana haji yang jumlahnya mencapai Rp38 triliun sebab masalah ini terkait kepercayaan masyarakat. "Selama ini KPK hanya menyampaikan titik-titik rawan dan rekomendasi soal pengelolaan dana setoran awal calon jamaah haji kepada DPR dan Kementerian Agama (Kemenag)," ungkap dia.
Dia menjelaskan, KPK sudah berkali-kali menyampaikan setidaknya ada 41 titik rawan dalam pengelolaan dana haji.Hasil temuan itu semestinya ditindaklanjuti untuk memastikan apakah benar terjadi tindakan menyimpang atau tidak.
Dia bahkan menyarankan agar temuan tersebut langsung ditindaklanjuti tanpa harus terlebih dahulu menyampaikannya ke publik. "Jangan sebatas mengungkap titik rawan," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menambahkan, sudah waktunya pengelolaan ibadah haji dipisahkan dari Kemenag. Selama ini penyelenggara dianggap tidak mampu memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah. Karena itu, pihaknya mendukung gagasan membentuk badan khusus haji yang diusulkan DPR melalui revisi UU Haji.
"Monopoli kewenangan tidak memberikan pelayanan yang baik sehingga pengelolaan haji perlu dikelola badan khusus yang bertanggung jawab kepada presiden," imbuhnya. (san)
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan, sudah saatnya sistem pengelolaan ibadah haji menerapkan tata kelola yang lebih baik dengan memisahkan antara kewenangan pengawasan, pelaksana, dan evaluasi.
"Selama ini pengelolaan ibadah haji masih dimonopoli oleh Kementerian Agama (Kemenag), baik pengawasan, regulator, pelaksana, maupun kewenangan evaluasinya," ungkap Firdaus saat dihubungi kemarin.
Menurut dia, pengelolaan haji dan dana setoran awal calon jamaah harus punya standar dan mekanisme pengelolaan yang jelas sebab jumlah daftar tunggu yang ada jauh lebih besar dari kuota yang tersedia dalam setiap tahun sehingga dana setoran awal yang ditempatkan dalam sistem pengelolaan keuangan menghasilkan jasa bunga.
"Harusnya bunga hasil pengelolaan dana yang disimpan di sukuk, deposito, atau giro itu dikembalikan ke jamaah untuk mengurangi beban ongkos jamaah," katanya.
Namun, Firdaus menyayangkan itu karena sebagian jasa bunga tabungan calon jamaah digunakan untuk operasional penyelenggara, tunjangan, dan gaji insentif pegawai Kemenag. Padahal dalam UU dikatakan bahwa biaya operasional penyelenggara ibadah haji ditanggung negara melalui alokasi Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD).
Sistem seperti itu dianggap memberi celah terjadi duplikasi dan triple budget karena selain dianggarkan di APBD dan APBN, biaya operasional juga diambil dari hasil bunga tabungan jamaah. Dia mengusulkan sejumlah langkah perlu dilakukan guna memperbaiki tata kelola ibadah haji.
Pertama, memisahkan pengelolaan haji dari Kemenag atau pemisahan antara regulator,operator,dan evaluator dengan cara membentuk badan khusus yang fokus pada pengelolaan ibadah haji. Selain harus mendesain ulang sistem pengelolaan ibadah haji, juga diperlukan mendesain ulang tata kelola dana haji sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara kewenangan pengawasan, pelaksana, dan evaluasi.
Anggota Komisi VIII DPR Ali Maschan Moesa mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih proaktif menelusuri dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana haji.
Menurut dia, KPK seharusnya lebih proaktif menelusuri dugaan penyalahgunaan dalam pengelolaan dana haji yang jumlahnya mencapai Rp38 triliun sebab masalah ini terkait kepercayaan masyarakat. "Selama ini KPK hanya menyampaikan titik-titik rawan dan rekomendasi soal pengelolaan dana setoran awal calon jamaah haji kepada DPR dan Kementerian Agama (Kemenag)," ungkap dia.
Dia menjelaskan, KPK sudah berkali-kali menyampaikan setidaknya ada 41 titik rawan dalam pengelolaan dana haji.Hasil temuan itu semestinya ditindaklanjuti untuk memastikan apakah benar terjadi tindakan menyimpang atau tidak.
Dia bahkan menyarankan agar temuan tersebut langsung ditindaklanjuti tanpa harus terlebih dahulu menyampaikannya ke publik. "Jangan sebatas mengungkap titik rawan," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menambahkan, sudah waktunya pengelolaan ibadah haji dipisahkan dari Kemenag. Selama ini penyelenggara dianggap tidak mampu memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah. Karena itu, pihaknya mendukung gagasan membentuk badan khusus haji yang diusulkan DPR melalui revisi UU Haji.
"Monopoli kewenangan tidak memberikan pelayanan yang baik sehingga pengelolaan haji perlu dikelola badan khusus yang bertanggung jawab kepada presiden," imbuhnya. (san)
()