Pengetatan remisi koruptor tak langgar HAM
A
A
A
Sindonews.com - Sejumlah kalangan menyayangkan pengajuan hak interpelasi oleh fraksi-fraksi di DPR atas kebijakan pengetatan remisi bagi para narapidana korupsi. Pengajuan interpelasi ini justru dinilai tidak sesuai dengan tindakan pemberantasan korupsi yang didengungkan pemerintah.
Alasan pengetatan remisi yang menyalahi hak asasi manusia (HAM) bahkan dianggap terlalu mengada-ada.
Ketua DPP PAN Bima Arya mengatakan, terpidana korupsi sudah seharusnya diberi efek jera agar tidak lagi mengulangi perbuatan. Salah satu bentuk efek jera itu melalui pengetatan remisi terhadap koruptor yang dipandangnya sebagai kejahatan berat.
Bima mengatakan, perlu ada pembenahan aturan bagi koruptor mulai dari hulu hingga hilir. Dari tahap pengadilan sampai lembaga pemasyarakatan (LP) perlu disiapkan aturan khusus untuk pelaku korupsi.
Bima juga menolak argumen yang menyatakan bahwa pengetatan remisi koruptor sebagai pelanggaran HAM. “Sebab perbuatan koruptor secara tidak langsung juga memberangus hak-hak orang lain. Kami menempatkan koruptor sebagai kejahatan terhadap negara,” ungkap Bima di Jakarta kemarin.
Atas dasar itulah, katanya, Fraksi PAN di Komisi III DPR secara tegas menolak usulan interpelasi atas kebijakan yang diterbitkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tersebut. Selain itu, PAN juga sudah berkomitmen menjadi pihak yang akan berperang terhadap koruptor.
Ketua Fraksi PAN DPR Tjatur Sapto Edi menyatakan, hak interpelasi merupakan hak individu, bukan Komisi III DPR. Karena itu, usulan interpelasi tersebut masih belum final sebab masih harus menunggu keputusan paripurna DPR. Karena itu, sikap Fraksi PAN terhadap hak interpelasi terhadap pengetatan remisi bagi koruptor akan diputuskan saat rapat paripurna.
“Itu (hak interpelasi) bukan domain Komisi III, tapi DPR. Ini masih jauh. Nanti diputuskan dalam rapat paripurna,” kata Tjatur. Menurut dia, PAN pro terhadap pemberantasan korupsi. Namun, mekanismenya harus jelas dan tidak sembarangan. “SK Menkumham itu kan dibatalkan secara lisan. Kalau hak interpelasi hanya mempertanyakan,” ungkapnya.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK Ronald Rofiandri mengatakan, usulan penggunaan hak interpelasi merupakan bagian dari implementasi fungsi pengawasan DPR. Hak tersebut bahkan dijamin konstitusi dan dilindungi dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Namun, terlalu kecil persoalannya jika rapat kerja antara Komisi III DPR dan Kemenkumham harus ditindaklanjuti dengan penggunaan hak interpelasi.
Sebaliknya, dia mempertanyakan apakah permasalahan atau penggunaan hak interpelasi tersebut sudah layak dan proporsional.
Ronald menilai, sesungguhnya Komisi III DPR sudah mengetahui di mana letak kekeliruan prosedur administrasi surat keputusan (SK) yang dikeluarkan Menkumham terkait moratorium atau dengan bahasa yang sudah diralat yakni pengetatan remisi tersebut. “Karena itu, sebenarnya interpelasi ini tidak diperlukan,”ucapnya.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan, sikap DPR yang menolak kebijakan pengetatan pemberian remisi bagi koruptor memperlihatkan bahwa para wakil rakyat itu tidak senang dengan upaya terus-menerus dalam pemberantasan korupsi.
“Sebab moratorium pengetatan remisi itu satu kebijakan yang tepat, pas, dan memang sudah waktunya,”ungkapnya.
Dia mengatakan tidak dapat memahami maksud DPR dengan mengajukan hak interpelasi tersebut.
“Apakah kebijakan Menkumham yang mereka protes atau cara Wamenkumham Denny Indrayana ketika menerapkan prinsip moratorium ini? Tapi, apa pun keduanya tidak pas,” ucapnya.
Menurut dia, jika memang DPR memandang cara Denny tidak tepat menerapkan kebijakan tersebut, mestinya cukup ditegur oleh Menkumham Amir Syamsuddin saja.
Bagi Ray, tindakan Denny tidak dapat diinterpelasi. Kecuali mereka beranggapan bahwa tindakan Wamenkumham itu merupakan tindakan Menkumham. “Karena itu, memang menterinya harus menegur Wamenkumham soal cara penerapan itu,”paparnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR yang juga salah satu pengusul hak interpelasi, Syarifuddin Sudding, mengatakan, pihaknya hanya mempersoalkan pembatalan pemberian remisi terhadap 102 narapidana korupsi, bukan koruptor secara keseluruhan.
Menurut dia, mantan Menkumham Patrialis Akbar telah menerbitkan SK pemberian remisi terhadap mereka. Namun, secara mendadak dibatalkan begitu saja oleh Menkumham Amir Syamsuddin.
Politikus Partai Hanura itu menolak bila dituding pro terhadap koruptor hanya karena mengajukan hak interpelasi mengenai pengetatan remisi bagi terpidana korupsi.(lin)
Alasan pengetatan remisi yang menyalahi hak asasi manusia (HAM) bahkan dianggap terlalu mengada-ada.
Ketua DPP PAN Bima Arya mengatakan, terpidana korupsi sudah seharusnya diberi efek jera agar tidak lagi mengulangi perbuatan. Salah satu bentuk efek jera itu melalui pengetatan remisi terhadap koruptor yang dipandangnya sebagai kejahatan berat.
Bima mengatakan, perlu ada pembenahan aturan bagi koruptor mulai dari hulu hingga hilir. Dari tahap pengadilan sampai lembaga pemasyarakatan (LP) perlu disiapkan aturan khusus untuk pelaku korupsi.
Bima juga menolak argumen yang menyatakan bahwa pengetatan remisi koruptor sebagai pelanggaran HAM. “Sebab perbuatan koruptor secara tidak langsung juga memberangus hak-hak orang lain. Kami menempatkan koruptor sebagai kejahatan terhadap negara,” ungkap Bima di Jakarta kemarin.
Atas dasar itulah, katanya, Fraksi PAN di Komisi III DPR secara tegas menolak usulan interpelasi atas kebijakan yang diterbitkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tersebut. Selain itu, PAN juga sudah berkomitmen menjadi pihak yang akan berperang terhadap koruptor.
Ketua Fraksi PAN DPR Tjatur Sapto Edi menyatakan, hak interpelasi merupakan hak individu, bukan Komisi III DPR. Karena itu, usulan interpelasi tersebut masih belum final sebab masih harus menunggu keputusan paripurna DPR. Karena itu, sikap Fraksi PAN terhadap hak interpelasi terhadap pengetatan remisi bagi koruptor akan diputuskan saat rapat paripurna.
“Itu (hak interpelasi) bukan domain Komisi III, tapi DPR. Ini masih jauh. Nanti diputuskan dalam rapat paripurna,” kata Tjatur. Menurut dia, PAN pro terhadap pemberantasan korupsi. Namun, mekanismenya harus jelas dan tidak sembarangan. “SK Menkumham itu kan dibatalkan secara lisan. Kalau hak interpelasi hanya mempertanyakan,” ungkapnya.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK Ronald Rofiandri mengatakan, usulan penggunaan hak interpelasi merupakan bagian dari implementasi fungsi pengawasan DPR. Hak tersebut bahkan dijamin konstitusi dan dilindungi dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Namun, terlalu kecil persoalannya jika rapat kerja antara Komisi III DPR dan Kemenkumham harus ditindaklanjuti dengan penggunaan hak interpelasi.
Sebaliknya, dia mempertanyakan apakah permasalahan atau penggunaan hak interpelasi tersebut sudah layak dan proporsional.
Ronald menilai, sesungguhnya Komisi III DPR sudah mengetahui di mana letak kekeliruan prosedur administrasi surat keputusan (SK) yang dikeluarkan Menkumham terkait moratorium atau dengan bahasa yang sudah diralat yakni pengetatan remisi tersebut. “Karena itu, sebenarnya interpelasi ini tidak diperlukan,”ucapnya.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan, sikap DPR yang menolak kebijakan pengetatan pemberian remisi bagi koruptor memperlihatkan bahwa para wakil rakyat itu tidak senang dengan upaya terus-menerus dalam pemberantasan korupsi.
“Sebab moratorium pengetatan remisi itu satu kebijakan yang tepat, pas, dan memang sudah waktunya,”ungkapnya.
Dia mengatakan tidak dapat memahami maksud DPR dengan mengajukan hak interpelasi tersebut.
“Apakah kebijakan Menkumham yang mereka protes atau cara Wamenkumham Denny Indrayana ketika menerapkan prinsip moratorium ini? Tapi, apa pun keduanya tidak pas,” ucapnya.
Menurut dia, jika memang DPR memandang cara Denny tidak tepat menerapkan kebijakan tersebut, mestinya cukup ditegur oleh Menkumham Amir Syamsuddin saja.
Bagi Ray, tindakan Denny tidak dapat diinterpelasi. Kecuali mereka beranggapan bahwa tindakan Wamenkumham itu merupakan tindakan Menkumham. “Karena itu, memang menterinya harus menegur Wamenkumham soal cara penerapan itu,”paparnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR yang juga salah satu pengusul hak interpelasi, Syarifuddin Sudding, mengatakan, pihaknya hanya mempersoalkan pembatalan pemberian remisi terhadap 102 narapidana korupsi, bukan koruptor secara keseluruhan.
Menurut dia, mantan Menkumham Patrialis Akbar telah menerbitkan SK pemberian remisi terhadap mereka. Namun, secara mendadak dibatalkan begitu saja oleh Menkumham Amir Syamsuddin.
Politikus Partai Hanura itu menolak bila dituding pro terhadap koruptor hanya karena mengajukan hak interpelasi mengenai pengetatan remisi bagi terpidana korupsi.(lin)
()