Kerugian pemilukada diinventarisasi
A
A
A
Sindonews.com - Kementerian Dalam Negeri tengah menginventarisasi kerugian dari pelaksanaan pemilukada, baik dari segi harta benda, korban jiwa, maupun kerugian uang penyelenggaraan. Bersama pertimbangan-pertimbangan lain, hasil inventarisasi dijadikan acuan dalam membuat sistem penyelenggaraan pemilukada ke depan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan, selama ini biaya penyelenggaraan pemilukada cukup besar, baik untuk tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Ia mencontohkan, di Kota Palembang menelan dana Rp26 miliar, di provinsi Sulawesi Selatan butuh lebih dari Rp200 miliar, bahkan di Jawa Timur mencapai Rp800 miliar. Itu belum termasuk biaya dari para calon yang angkanya juga miliaran rupiah. “Bayangkan jika itu 33 provinsi,” katanya di Jakarta kemarin.
Tidak saja anggaran yang terkuras, pelaksanaan pemilukada di beberapa daerah juga menimbulkan kerugian benda dan korban jiwa karena adanya kerusuhan, maupun kecelakaan ketika kampanye.
“Sekarang saya baru mengumpulkan data-datanya. Pengalaman selama ini menjadi masukan kita dalam rangka mengatur pelaksanaan ke depan,” ujar dia. Berdasarkan data yang ada sementara dan dengan pertimbangan lainnya, menurut Gamawan, perlu perubahan dalam sistem pemilihan gubernur dari semula dipilih langsung menjadi dipilih DPRD. Sehingga biaya pemilihan bisa lebih dihemat.
Mantan Gubernur Sumatera Barat ini menuturkan, kewenangan gubernur tidak sebanyak bupati/wali kota. Gubernur juga tidak memberikan pelayanan langsung kepada rakyat, tapi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
“Gubernur lebih banyak membina dan mengawasi,” sebutnya. Supaya tidak terjadi pelanggaran seperti lobi-lobi politik untuk memenangkan calon tertentu, maka perlu dibuat sistem yang bisa mengeliminir kemungkinan itu.
Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay menuturkan, sistem pemilukada yang ada sekarang ini sulit untuk membuat pemilihan berjalan efektif. Sebab, ada terlalu banyak partai politik yang bisa mengajukan calon.
“Harusnya diterapkan PT (parliamentary threshold/ ambang batas parlemen) di tingkat daerah yang berbeda dengan PT di pusat,” ujarnya.
Adapun Didik Supriyanto dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, banyaknya calon dalam pemilukada tidak terlepas dari metode pencalonan yang berlaku sekarang.
Metode itu memungkinkan adanya calon dalam jumlah yang banyak. Padahal, terlalu banyak calon membuat anggaran membengkak dan menyulitkan pemilih menentukan pilihan secara rasional.
“Terlalu banyak calon membuat pemerintahan pasca pemilukada tidak efektif karena membuat fragmentasi politik di DPRD sangat tinggi. Dari sisi politik uang, banyaknya pasangan calon sama berarti aktivitas politik uang juga semakin banyak,” tuturnya.(*)
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan, selama ini biaya penyelenggaraan pemilukada cukup besar, baik untuk tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Ia mencontohkan, di Kota Palembang menelan dana Rp26 miliar, di provinsi Sulawesi Selatan butuh lebih dari Rp200 miliar, bahkan di Jawa Timur mencapai Rp800 miliar. Itu belum termasuk biaya dari para calon yang angkanya juga miliaran rupiah. “Bayangkan jika itu 33 provinsi,” katanya di Jakarta kemarin.
Tidak saja anggaran yang terkuras, pelaksanaan pemilukada di beberapa daerah juga menimbulkan kerugian benda dan korban jiwa karena adanya kerusuhan, maupun kecelakaan ketika kampanye.
“Sekarang saya baru mengumpulkan data-datanya. Pengalaman selama ini menjadi masukan kita dalam rangka mengatur pelaksanaan ke depan,” ujar dia. Berdasarkan data yang ada sementara dan dengan pertimbangan lainnya, menurut Gamawan, perlu perubahan dalam sistem pemilihan gubernur dari semula dipilih langsung menjadi dipilih DPRD. Sehingga biaya pemilihan bisa lebih dihemat.
Mantan Gubernur Sumatera Barat ini menuturkan, kewenangan gubernur tidak sebanyak bupati/wali kota. Gubernur juga tidak memberikan pelayanan langsung kepada rakyat, tapi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
“Gubernur lebih banyak membina dan mengawasi,” sebutnya. Supaya tidak terjadi pelanggaran seperti lobi-lobi politik untuk memenangkan calon tertentu, maka perlu dibuat sistem yang bisa mengeliminir kemungkinan itu.
Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay menuturkan, sistem pemilukada yang ada sekarang ini sulit untuk membuat pemilihan berjalan efektif. Sebab, ada terlalu banyak partai politik yang bisa mengajukan calon.
“Harusnya diterapkan PT (parliamentary threshold/ ambang batas parlemen) di tingkat daerah yang berbeda dengan PT di pusat,” ujarnya.
Adapun Didik Supriyanto dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, banyaknya calon dalam pemilukada tidak terlepas dari metode pencalonan yang berlaku sekarang.
Metode itu memungkinkan adanya calon dalam jumlah yang banyak. Padahal, terlalu banyak calon membuat anggaran membengkak dan menyulitkan pemilih menentukan pilihan secara rasional.
“Terlalu banyak calon membuat pemerintahan pasca pemilukada tidak efektif karena membuat fragmentasi politik di DPRD sangat tinggi. Dari sisi politik uang, banyaknya pasangan calon sama berarti aktivitas politik uang juga semakin banyak,” tuturnya.(*)
()