Usaha mikro sulit bebas dari pajak

Selasa, 24 Januari 2012 - 09:15 WIB
Usaha mikro sulit bebas dari pajak
Usaha mikro sulit bebas dari pajak
A A A
Peluang usaha mikro untuk mendapatkan dispensasi bebas dari kewajiban membayar pajak sulit untuk direalisasikan. Langkah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Syarif Hasan yang getol memintakan insentif pajak bagi pelaku usaha kecil tersebut sudah dipatahkan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany.

Nilai pajak sebuah usaha mikro memang kecil, tetapi jumlahnya cukup banyak sehingga sumbangsih nilai pajaknya tidak bisa dibilang kecil. Di mata Dirjen Pajak, membebaskan usaha mikro dari pungutan pajak dinilai melanggar asas keadilan di antara wajib pajak lainnya,terutama terkait wajib pajak perorangan.Misalnya karyawan dengan gaji pas-pasan juga diwajibkan membayar pajak untuk pembangunan.

Selain itu,pembebasan pajak usaha mikro juga kontradiktif dengan upaya pemerintah dalam mendongkrak pemasukan pajak yang kini tembus di atas seribu triliun tahun ini.

Dirjen Pajak tak ingin kecolongan lagi di mana tahun lalu penarikan pajak tidak memenuhi target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2011.Realisasi pajak hanya mencapai 99,3% atau sebesar Rp872,6 triliun dari target sebesar Rp878,7 triliun.

Penyebab target pajak yang tidak terealisasi,menurut Dirjen Pajak, adalah kepatuhan perusahaan dalam membayar pajak terutama pajak pertambahan nilai (PPN) masih rendah.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Keuangan awal Januari ini, dari 700.000 perusahaan kena pajak, tak sampai separuh atau baru 200.000 yang telah menyerahkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh).Kondisi tersebut tentu tidak bisa dibiarkan. Ini sebuah tantangan tersendiri bagi aparat pajak yang kini dibebani target pemasukan pajak semakin besar. Kalau Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memiliki data lengkap terhadap perusahaan tersebut, rasanya tidak akan terlalu berat untuk menarik perusahaan tersebut.

Tantangan lain dari Ditjen Pajak adalah bagaimana memaksimalkan penarikan pajak dari perusahaan pertambangan dan perkebunan sawit. Kedua sektor usaha tersebut tercatat memberi kontribusi pajak yang tidak kecil.

Sayangnya, pemerintah masih menghadapi berbagai kendala dalam memaksa mereka menunaikan kewajibannya. Tahun lalu sejumlah perusahaan tambang papan atas terlibat perselisihan dengan lembaga penarik pajak untuk negara tersebut. Kita berharap tahun ini tidak terulang lagi.

Kabar terbaru, Ditjen Pajak bersedia mengeluarkan anggaran khusus untuk menyewa perusahaan surveyor guna mengejar pajak perusahaan tambang dan perkebunan sawit. Jadi perusahaan surveyor tersebut akan menelisik potensi pajak pada sekitar 9.000 perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan dan perkebunan sawit.

Ditjen Pajak memang harus mengeluarkan berbagai jurus sakti agar para wajib pajak tidak minggat dan lalai melaksanakan kewajibannya. Mengingat kenaikan target pemungutan pajak tahun ini naik cukup signifikan dari Rp878,7 triliun pada tahun lalu menjadi Rp1.032,57 triliun dengan kenaikan sekitar Rp150 triliun.Target tersebut berkontribusi sekitar 78,74% dari total penerimaan negara sebesar Rp1.311,38 triliun pada tahun ini.

Setelah membenahi para wajib pajak tentu tugas terpenting lainnya adalah bagaimana mendisiplinkan para aparatur pajak yang langsung berinteraksi dengan wajib pajak.

Seperti diakui Dirjen Pajak Fuad Rahmany, hampir tiap minggu menandatangani surat hukuman disiplin untuk pegawai pajak. Sepanjang aparat pajak masih bisa bermain mata dengan wajib pajak, jangan berharap target pajak bisa direalisasikan. Jurus sakti apa pun yang diterapkan tak akan membawa hasil.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4848 seconds (0.1#10.140)