Lagi, Indonesia naik peringkat
A
A
A
Sindonews.com-Lagi, Indonesia naik peringkat berdasarkan versi Moody’s Rating. Lembaga pemeringkat internasional itu menaikkan peringkat utang luar negeri Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3.
Berkat kenaikan peringkat tersebut perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada sesi pertama yang hanya bergerak tipis karena memasuki area jenuh beli kembali bergairah. Nilai tukar rupiah pun menguat pada level Rp9.130 per USD dibandingkan pada penutupan perdagangan kemarin yang tercatat Rp9.180 per USD.
Sebelum Moody’s memublikasikan peringkat terbaru Indonesia itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat masuk ke zona merah, tetapi posisi tersebut tak berlangsung lama setelah Moody’s menyampaikan kabar positif kenaikan peringkat Indonesia.
Para investor kembali bergairah memburu saham-saham yang berpeluang memberikan keuntungan, indeks pun melaju mengulang kenaikan pada perdagangan sehari sebelumnya.
Pada penutupan perdagangan kemarin, IHSG melonjak 0,59% atau 23,373 poin ke level 3.978,128. Kenaikan peringkat Indonesia yang memicu kembali keperkasaan IHSG tersebut seolah menutupi berita akrobat anggaran yang terus berembus dari markas wakil rakyat di Senayan yang sungguh membuat miris mendengarnya.Bayangkan untuk urusan renovasi ruang rapat sama menghabiskan dana Rp20 miliar.
Para wakil rakyat, berhentilah membuat berita miring soal anggaran yang justru menghamburkan uang rakyat,mari menyikapi secara positif dan merumuskan langkah terbaik dalam merespons kenaikan peringkat negeri ini sehingga bisa dilirik investor. Selain Moody’s,pada pertengahan Desember tahun lalu Fitch’s Rating sudah menaikkan peringkat Indonesia dari BB menjadi BBB.
Dengan kenaikan peringkat tersebut, Indonesia masuk dalam kategori investment grade (negeri yang dinyatakan layak untuk investasi). Dengan status tersebut, kita berharap radar investasi global segera mengarah ke negeri ini untuk menanamkan modal. Jadi, para wakil rakyat berhentilah mempertontonkan tindakan kontraproduktif dengan status investment grade.
Ingat tantangan Indonesia dengan predikat sebagai investment gradeada di depan mata.Dari sisi eksternal,perekonomian global, terutama terpuruknya sejumlah negara maju di Eropa akibat krisis utang dan perekonomian Amerika Serikat,bisa mengulang krisis finansial pada 2008 lalu.
Bank Dunia pada publikasi terbarunya telah memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi global ke level 2,5% dari prakiraan sebelumnya yang mencapai 3,6% pada tahun ini.
Lebih seram lagi, laporan Bank Dunia yang bertajuk “Prospek Ekonomi Global” mengingatkan bahwa dunia bisa jatuh ke masa resesi yang lebih parah dari krisis ekonomi 2008.
Sekadar tambahan informasi, China meraih predikat sebagai investment grade pada akhir 1997,sedangkan Rusia mencapai level negeri layak investasi pada akhir 2005.
Kedua negara tersebut dapat memanfaatkan secara maksimal predikat tersebut sehingga berbondong-bondonglah investor asing menanamkan modal. Beda dengan Indonesia di saat mendapat tiket untuk menarik investor justru dihadang krisis global.
Ini sebuah tantangan yang tidak ringan. Lalu, persoalan internal menyangkut masalah keterbatasan infrastruktur beserta sejumlah regulasi yang belum tuntas.
Di bidang regulasi di antaranya menyangkut payung hukum soal pembebasan lahan sebagai dambaan investor yang akan berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur masih terkatungkatung entah masalahnya di mana.
Yang pasti DPR sudah berkalikali menjadwalkan untuk segera mengetuk palu bagi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembebasan Lahan, tetapi belum ada realisasi.
Berkat kenaikan peringkat tersebut perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada sesi pertama yang hanya bergerak tipis karena memasuki area jenuh beli kembali bergairah. Nilai tukar rupiah pun menguat pada level Rp9.130 per USD dibandingkan pada penutupan perdagangan kemarin yang tercatat Rp9.180 per USD.
Sebelum Moody’s memublikasikan peringkat terbaru Indonesia itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat masuk ke zona merah, tetapi posisi tersebut tak berlangsung lama setelah Moody’s menyampaikan kabar positif kenaikan peringkat Indonesia.
Para investor kembali bergairah memburu saham-saham yang berpeluang memberikan keuntungan, indeks pun melaju mengulang kenaikan pada perdagangan sehari sebelumnya.
Pada penutupan perdagangan kemarin, IHSG melonjak 0,59% atau 23,373 poin ke level 3.978,128. Kenaikan peringkat Indonesia yang memicu kembali keperkasaan IHSG tersebut seolah menutupi berita akrobat anggaran yang terus berembus dari markas wakil rakyat di Senayan yang sungguh membuat miris mendengarnya.Bayangkan untuk urusan renovasi ruang rapat sama menghabiskan dana Rp20 miliar.
Para wakil rakyat, berhentilah membuat berita miring soal anggaran yang justru menghamburkan uang rakyat,mari menyikapi secara positif dan merumuskan langkah terbaik dalam merespons kenaikan peringkat negeri ini sehingga bisa dilirik investor. Selain Moody’s,pada pertengahan Desember tahun lalu Fitch’s Rating sudah menaikkan peringkat Indonesia dari BB menjadi BBB.
Dengan kenaikan peringkat tersebut, Indonesia masuk dalam kategori investment grade (negeri yang dinyatakan layak untuk investasi). Dengan status tersebut, kita berharap radar investasi global segera mengarah ke negeri ini untuk menanamkan modal. Jadi, para wakil rakyat berhentilah mempertontonkan tindakan kontraproduktif dengan status investment grade.
Ingat tantangan Indonesia dengan predikat sebagai investment gradeada di depan mata.Dari sisi eksternal,perekonomian global, terutama terpuruknya sejumlah negara maju di Eropa akibat krisis utang dan perekonomian Amerika Serikat,bisa mengulang krisis finansial pada 2008 lalu.
Bank Dunia pada publikasi terbarunya telah memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi global ke level 2,5% dari prakiraan sebelumnya yang mencapai 3,6% pada tahun ini.
Lebih seram lagi, laporan Bank Dunia yang bertajuk “Prospek Ekonomi Global” mengingatkan bahwa dunia bisa jatuh ke masa resesi yang lebih parah dari krisis ekonomi 2008.
Sekadar tambahan informasi, China meraih predikat sebagai investment grade pada akhir 1997,sedangkan Rusia mencapai level negeri layak investasi pada akhir 2005.
Kedua negara tersebut dapat memanfaatkan secara maksimal predikat tersebut sehingga berbondong-bondonglah investor asing menanamkan modal. Beda dengan Indonesia di saat mendapat tiket untuk menarik investor justru dihadang krisis global.
Ini sebuah tantangan yang tidak ringan. Lalu, persoalan internal menyangkut masalah keterbatasan infrastruktur beserta sejumlah regulasi yang belum tuntas.
Di bidang regulasi di antaranya menyangkut payung hukum soal pembebasan lahan sebagai dambaan investor yang akan berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur masih terkatungkatung entah masalahnya di mana.
Yang pasti DPR sudah berkalikali menjadwalkan untuk segera mengetuk palu bagi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembebasan Lahan, tetapi belum ada realisasi.
()