IPW desak KPK bongkar korupsi TNI
A
A
A
Sindonews.com - Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus korupsi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri. Hal itu disampaikan Ketua Presidium IPW yang juga Deklarator Komite Pengawas KPK Neta S Pane.
"Usia kepemimpinan Abraham Samad di KPK sudah satu bulan. Tapi belum ada tanda-tanda akan membongkar kasus-kasus korupsi baru, selain melanjutkan kasus lama. Padahal, Abraham berjanji, jika dalam setahun tidak mampu, dia akan mundur," ujarnya dalam krilisnya kepada Sindonews, Minggu (15/1/2012).
Ditambahkan dia, berkaitan dengan itu, IPW mendesak KPK mengusut dugaan korupsi di tubuh TNI/Polri yang selama ini tidak tersentuh KPK. Di Polri, KPK bisa mengusut proyek Pusat Latihan Polri di Cikeas yang kini terlantar, kasus rekening gendut, pengadaan mobil patroli, alkom jarkom, proyek-proyek fasilitas di lalu lintas, dan aksi tembak Kartu Tanda Penduduk (KPK) dalam perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang diduga merugikan pemasukan negara ratusan miliar.
"Di TNI, KPK bisa mengusut proyek-proyek alutsista yang mangkrak, seperti 39 unit kapal perang eks Jerman Timur yang jadi besi tua, tiga dari 10 pesawat Sukhoy yang tidak bisa terbang," terangnya.
Selain itu, 10 pesawat M17 yang tidak punya GPS, lima pesawat M35 yang tidak punya rudal dan sudah rusak, 200 unit Jeep eks RRC yang pernah ditolak Kostrad, puluhan mortir buatan RRC yang tidak bisa dipakai, belasan rudal Rapier yang tidak ada radar, belasan kendaraan tempur Panhard yang tidak ada radio, senjata dan kunci roda.
"Sudah saatnya KPK turun tangan untuk mengawasi proyek-proyek alutsista di Polri maupun TNI. Sebab, proyek-proyek ini menghabiskan dana puluhan triliun yang hasilnya terkadang tidak tepat guna dan mubazir," tegasnya.
Ditambahkan Neta, ada kebiasaan buruk di TNI dan Polri. Dalam pembelian alutsista tidak pernah lengkap yang mengakibatkan setelah dibeli dan saat dioperasionalkan, alutsista itu tidak bisa apa-apa, tidak tepat guna, bahkan tidak berguna sama sekali, akhirnya ditelantarkan menjadi besi tua. Hal itu dikarenakan proses pembeliannya diduga sarat KKN dan kebanyakan menjadi korban uang komisi.
"Dalam pengadaan alusista, KPK perlu mencermati, sejauhmana proyek itu sesuai dengan Renstra, sejauhmana alutsista itu terukur, secara teknologi lebih tinggi atau minimal sama dengan negara tetangga. Dalam pembelian alutsista ukurannya bukanlah kuantitas tapi kualitas," jelasnya.
Pihak TNI/Polri, menurut IPW, tidak perlu terlalu banyak membeli alutsista. Sedikit tapi bermanfaat digunakan, dan gampang dipindah-pindah mengingat RI sebagai negara kepulauan, sehingga alutsista tersebut efektif dan efisien, jauh lebih tepat guna ketimbang beli banyak tapi hanya menjadi sampah.
"Jumlah yang banyak buat apa kalau kemudian mangkrak dan menjadi besi tua, seperti kapal perang eks Jerman Timur dan 200 Jeep eks RRC yang tidak diketahui nasibnya saat ini. Sebab itu, kebijakan Komisi I DPR yang menolak pembelian 100 tank Leopard dari Belanda patut didukung semua pihak," ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menegaskan, Kementerian Pertahanan (Kemhan) belum mengklarifikasi rencana pembelian 100 tank Leopard untuk TNI. Hasanuddin mengatakan, komisinya mendengar informasi itu dari media massa.
"Bahwa sampai hari ini pihak Kemenhan belum secara resmi memaparkan rencana pembelian tank Leopard bekas dari Belanda, kami Komisi I baru mendapat informasi tentang rencana itu dari media," terangnya.
Ditambahkan Hasanuddin, dirinya bersama rekannya di komisi bidang pertahanan DPR tidak memberikan keputusan apapun terkait rencana tersebut. Sebelumnya, Komisi I memang mendapat undangan untuk meninjau kondisi 100 tank yang rencananya akan dibeli itu. Namun, mereka sepakat tak ikut bergabung meninjau ke Belanda.
"Memang benar Kemenhan telah mengundang komisi I bergabung meninjau ke Belanda, tapi kami sepakat tidak ikut bergabung dengan rombongan Kemenhan. Andaikan harus meninjau, kami sepakat akan meninjau dengan biaya sendiri dan titik berat kami adalah mempelajari aspek-aspek politisnya dan bukan aspek tehnis karena bukan ranah kami," pungkasnya. (san)
"Usia kepemimpinan Abraham Samad di KPK sudah satu bulan. Tapi belum ada tanda-tanda akan membongkar kasus-kasus korupsi baru, selain melanjutkan kasus lama. Padahal, Abraham berjanji, jika dalam setahun tidak mampu, dia akan mundur," ujarnya dalam krilisnya kepada Sindonews, Minggu (15/1/2012).
Ditambahkan dia, berkaitan dengan itu, IPW mendesak KPK mengusut dugaan korupsi di tubuh TNI/Polri yang selama ini tidak tersentuh KPK. Di Polri, KPK bisa mengusut proyek Pusat Latihan Polri di Cikeas yang kini terlantar, kasus rekening gendut, pengadaan mobil patroli, alkom jarkom, proyek-proyek fasilitas di lalu lintas, dan aksi tembak Kartu Tanda Penduduk (KPK) dalam perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang diduga merugikan pemasukan negara ratusan miliar.
"Di TNI, KPK bisa mengusut proyek-proyek alutsista yang mangkrak, seperti 39 unit kapal perang eks Jerman Timur yang jadi besi tua, tiga dari 10 pesawat Sukhoy yang tidak bisa terbang," terangnya.
Selain itu, 10 pesawat M17 yang tidak punya GPS, lima pesawat M35 yang tidak punya rudal dan sudah rusak, 200 unit Jeep eks RRC yang pernah ditolak Kostrad, puluhan mortir buatan RRC yang tidak bisa dipakai, belasan rudal Rapier yang tidak ada radar, belasan kendaraan tempur Panhard yang tidak ada radio, senjata dan kunci roda.
"Sudah saatnya KPK turun tangan untuk mengawasi proyek-proyek alutsista di Polri maupun TNI. Sebab, proyek-proyek ini menghabiskan dana puluhan triliun yang hasilnya terkadang tidak tepat guna dan mubazir," tegasnya.
Ditambahkan Neta, ada kebiasaan buruk di TNI dan Polri. Dalam pembelian alutsista tidak pernah lengkap yang mengakibatkan setelah dibeli dan saat dioperasionalkan, alutsista itu tidak bisa apa-apa, tidak tepat guna, bahkan tidak berguna sama sekali, akhirnya ditelantarkan menjadi besi tua. Hal itu dikarenakan proses pembeliannya diduga sarat KKN dan kebanyakan menjadi korban uang komisi.
"Dalam pengadaan alusista, KPK perlu mencermati, sejauhmana proyek itu sesuai dengan Renstra, sejauhmana alutsista itu terukur, secara teknologi lebih tinggi atau minimal sama dengan negara tetangga. Dalam pembelian alutsista ukurannya bukanlah kuantitas tapi kualitas," jelasnya.
Pihak TNI/Polri, menurut IPW, tidak perlu terlalu banyak membeli alutsista. Sedikit tapi bermanfaat digunakan, dan gampang dipindah-pindah mengingat RI sebagai negara kepulauan, sehingga alutsista tersebut efektif dan efisien, jauh lebih tepat guna ketimbang beli banyak tapi hanya menjadi sampah.
"Jumlah yang banyak buat apa kalau kemudian mangkrak dan menjadi besi tua, seperti kapal perang eks Jerman Timur dan 200 Jeep eks RRC yang tidak diketahui nasibnya saat ini. Sebab itu, kebijakan Komisi I DPR yang menolak pembelian 100 tank Leopard dari Belanda patut didukung semua pihak," ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menegaskan, Kementerian Pertahanan (Kemhan) belum mengklarifikasi rencana pembelian 100 tank Leopard untuk TNI. Hasanuddin mengatakan, komisinya mendengar informasi itu dari media massa.
"Bahwa sampai hari ini pihak Kemenhan belum secara resmi memaparkan rencana pembelian tank Leopard bekas dari Belanda, kami Komisi I baru mendapat informasi tentang rencana itu dari media," terangnya.
Ditambahkan Hasanuddin, dirinya bersama rekannya di komisi bidang pertahanan DPR tidak memberikan keputusan apapun terkait rencana tersebut. Sebelumnya, Komisi I memang mendapat undangan untuk meninjau kondisi 100 tank yang rencananya akan dibeli itu. Namun, mereka sepakat tak ikut bergabung meninjau ke Belanda.
"Memang benar Kemenhan telah mengundang komisi I bergabung meninjau ke Belanda, tapi kami sepakat tidak ikut bergabung dengan rombongan Kemenhan. Andaikan harus meninjau, kami sepakat akan meninjau dengan biaya sendiri dan titik berat kami adalah mempelajari aspek-aspek politisnya dan bukan aspek tehnis karena bukan ranah kami," pungkasnya. (san)
()